LAPORAN TAHUNAN ALDP: 2010
English Bahasa Indonesia

08 Desember 2010

MRP : MASIHKAH ADA HARAPAN?


Oleh: Andawat

Akhirnya masa keanggotaan MRP yang berakhir pada tanggal 31 Oktober 2010 diperpanjang hingga tanggal 31 Januari 2011 melalui Surat Keputusan Mendagri. Bersamaan dengan itu, pihak MRP juga mendatangi Kementrian Dalam Negeri untuk mengurus SK Perpanjangan pimpinan MRP. Permohonan perpanjangan masa keanggotaan itu sendiri oleh sebagian kalangan dianggap inkonstitusional. Sebab baik di dalam PP Nomor 54 tahun 2004 maupun dalam PP Nomor 64 tahun 2008 tidak mencantumkan klasula mengenai perpanjangan keanggotaan MRP apabila periode keanggotaannya telah berakhir. Selain itu kondisi ini menunjukkan tidak berjalannya sistem pemerintahan di daerah antara Eksekutif, Legislatif dan MRP sendiri untuk sejak awal menyusun RAPERDASUS mengenai Pemilihan Anggota MRP.

MRP dibentuk setelah UU OTSUS berjalan sekitar 3 tahun. Pada tanggal 26 Desember 2006 saat perayaan natal di Jayapura, Presiden SBY menyerahkan langsung PP Nomor 54 tahun 2004 tentang MRP."..Ini merupakan komitmen pemerintah terhadap otonomi khusus Papua. Draft RPP yang sudah terbengkalai dua tahun, dituntaskan dalam dua bulan.." kata Jubir Kepresidenan, saat itu, Andi Malaranggeng. Memang pembahasan draft PP sempat berlangsung alot sebab disaat yang sama konflik pemekaran provinsi Papua dan Papua Barat mencuat. Bagi orang Papua sendiri PP 54 tahun 2004 mendapat tantangan luar biasa melalui berbagai demonstrasi baik di Papua maupun di luar Papua.

MRP di dalam UU OTSUS, bukan sekedar lembaga untuk menunjukkan representase kultural orang asli Papua tetapi MRP diharapkan mampu memperjuangkan hak-hak dasar orang asli Papua secara substansi. Namun sejak awal kelahirannya MRP seolah tak dianggap oleh pemerintah daerah apalagi oleh pemerintah pusat. Pada beberapa pertemuan MRP tidak dilibatkan atau dilibatkan hanya sebagai ‘tamu’ atau alat justifikasi OTSUS. Kewenangan dan pokok - pokok pikiran yang digagas oleh MRP tidak pernah digubris oleh pemerintah baik di daerah apalagi di pusat. MRP bahkan seolah menjadi potret untuk menunjukkan ‘mudahnya’ melemahkan orang asli Papua dan mendefenisikan orang Papua sebagai separatis, buktinya semua yang dikerjakan MRP selalu dicurigai dan ditolak.

Pada perjalanannya berulang kali MRP mengalami kegagalan, keberadaan dan kekuatannya sebagai lembaga kultural dilemahkan. Pertama kali, ketika MRP memprotes kehadiran Provinsi Papua Barat tahun 2005.Hasil penjaringan pendapat di berbagai tempat yang sudah dilakukan oleh MRP yang intinya menolak pemekaran provinsi Papua Barat dengan gampang diabaikan oleh pemerintah pusat. Maka sejak itu juga, berbagai upaya pemekaran Provinsi Papua tidak merasa penting harus mendapatkan persetujuan dari MRP (Pasal 76 UU OTSUS), MRP hanya didatangi sebagai bentuk justifikasi saja akan tetapi ada atau tidaknya rekomendasi MRP, tidak diperdulikan.
Kemudian tahun 2006 ketika MRP meminta pemerintah dan parlemen untuk mengakui bendera bintang kejora dan lagu "Hai Tanahku Papua", sebagai lambang dan lagu resmi daerah Papua. Menurut MRP, penggunaan bendera bintang kejora dan lagu daerah itu sejalan dengan Pasal 2 Ayat(2) UU OTSUS, dijawab pemerintah dengan mengeluarkan PP Nomor 77 Tahun 2007 yang intinya menolak rekomendasi MRP.

MRP juga diguncang masalah keuangan, tahun 2007 Papua Corruption Watch(PCW) membuat keterangan pers dengan merujuk data BPK Perwakilan Jayapura bahwa ada dugaan penyalahgunaan anggaran untuk tunjangan anggota dan pimpinan MRP sejumlah Rp 12 miliar lebih. Disebutkan juga bahwa semua anggaran ini dipakai untuk 39 orang anggota MRP, termasuk tunjangan jabatan anggota MRP yang tidak menjabat sebagai pimpinan MRP dan Pimpinan Kelompok Kerja. Pihak MRP sangat memprotes pernyataan dari PCW.

Berkaitan dengan masalah keuangan yang tidak terselesaikan di MRP, maka MRP membentuk tim untuk memperjelas persoalan keuangan di lembaga tersebut. Anggota MRP membandingkan hak – hak keuangan mereka dengan hak – hak keuangan anggota DPRP. Kemudian melalui perjuangan yang panjang, akhirnya pemerintah mengeluarkan PP Nomor 64 tahun 2008 tentang urusan administrasi keuangan, terutama menyangkut pendapatan dan tunjangan bagi para anggota MRP. Setelah itu masih sempat terjadi aksi demo di lingkungan MRP antara anggota MRP terhadap BURT dan pimpinan MRP. Menurut sumber di MRP, beberapa anggota MRP protes karena tidak ada transparansi soal keuangan..”..Padahal gaji anggota MRP puluhan juta, tapi merasa belum cukup karena sebagian besar terpakai untuk bayar angsuran mobil, ada juga yang bayar angsuran rumah...”.ujar seorang teman.

Tahun 2009, MRP turut memperjuangan 11 kursi anggota DPRP yang diangkat berdasarkan Pasal 6 UU OTSUS, bertemu dengan berbagai pihak termasuk KPU pusat di Jakarta tanggal 27 Agustus 2009. MRP juga menambahkan ide pengangkatan 9 kursi untuk DPRP Papua Barat namun suara MRP tetap tidak digubris. Baru setelah Barisan Merah Putih(BMP) melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi(MK) maka tuntutan 11 kursi tersebut dikabulkan dalam bentuk PERDASUS.

Perjuangan besar lainnya adalah dengan dikeluarkannya 3 keputusan kultural MRP yang menginventarisir berbagai hak – hak dasar orang asli Papua termasuk dalam hal penerimaan CPNS. Salah satunya menyangkut Surat Keputusan MRP Nomor 14 Tahun 2009 mengenai Penetapan bakal calon Walikota/Wakil Walikota dan Bupati dan Wakil Bupati dari orang asli Papua. Kementerian Dalam Negeri menyatakan rekomendasi MRP tersebut tak bisa digunakan dalam pemilihan kepala daerah di kota dan kabupaten di Papua. Menurut kementrian dalam negeri perlu ada revisi UU OTSUS sebab UU OTSUS hanya memberikan peran pada MRP dalam menentukan calon gubernur.

Pertengahan tahun 2010 tepatnya tanggal 9 dan 10 juni 2010 MRP menggelar Musyawarah Besar (MUBES) dengan tujuan untuk melakukan evaluasi terhadap kinerja MRP menjelang akhir masa tugasnya selama 5 tahun tanggal 31 Oktober 2010. Meski begitu MUBES terasa dibuat secara tiba-tiba sehingga ada dugaan bahwa MUBES lahir karena kegelisahan MRP terhadap penolakan Surat Keputusan MRP nomor 14 tahun 2009.

Hasil MUBES diplenokan secara terbuka tanggal 16 Juni 2010 dan tanggal 18 Juni 2010 MRP bersama rakyat melakukan long march ke DPRP untuk mengantar hasil MUBES. Ada 11 tuntutan yang dibawa antara lain mengembalikan OTSUS dan menuntut dialog internasional menuju referendum. Pendemo meminta agar DPRP melakukan Paripurna untuk menerima 11 tuntutan mereka. Ironisnya hingga kini DPRP tidak mengeluarkan keputusan apapun.
Sikap MRP yang ‘sangat keras dan melawan’ ini menimbulkan pertanyaan sebab baru dilakukan diakhir masa jabatannya, seolah MRP ingin membuat cerita ‘happy ending’. Mengapa pada tahun – tahun sebelumnya MRP tidak menunjukkan sikap tegas dan protesnya mengingat berulang kali telah dianiaya. Ada pandangan yang mengatakan bahwa jika MRP mengembalikan OTSUS maka saat itu juga anggota MRP seharusnya menanggalkan atribut mereka,sampai dititik ini sikap MRP tidak jelas...”...jangan sampai yang ikut kembalikan OTSUS di MRP nanti saat pemilihan anggota MRP malah mencalonkan diri dan terpilih, dimana konsistensinya?..”tanya seorang teman.

Reaksi setelah demo menyebabkan MRP mengeluarkan satu surat klarifikasi yang intinya menegaskan posisi MRP baik di saat MUBES berlangsung maupun saat demo, ada tuduhan MRP mencoba cuci tangan apalagi ketika itu tidak ada respon positif dari DPRP maupun Eksekutif. Seolah MRP tak ingin dilibatkan terlalu jauh meskipun MRP dengan sengaja telah memberikan ruang yang terbuka besar bagi berkembangnya argumentasi dan tuntutan di saat MUBES.

Pada HUT ke 3 MRP tahun 2008, Ketua MRP Agus Alua mengatakan, sudah banyak usulan dan saran termasuk berbagai draft Perdasus ke DPRP maupun pemerintah tetapi sampai saat ini belum direspon. Menurut Agus Alua, MRP ibarat berjalan di tengah hutan rimba tanpa ada pegangan. Pernyataan ini diperkuat dengan pemaparan Wakil ketua MRP saat pembukaan MUBES MRP tanggal 9 juni 2010 bahwa kewenangan MRP dibatasi oleh Undang-Undang.Penjelasannya bahwa MRP hanya diminta untuk memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap RAPERDASUS akan tetapi tidak diberikan kewenangan untuk menginisiasi PERDASUS.

Keputusan MRP pun tidak sertamerta mengandung perintah eksekusi, keputusan MRP tidak bersifat mengikat keluar. Bahkan untuk kewenangan MRP yang sudah dicantumkan dalam UU OTSUS yakni memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap RAPERDASUS sering diabaikan setidaknya terjadi pada saat pembahasan RAPERDASUS di tahun 2008. Salah satu keputusan MRP yang dipatuhi adalah ketika membahas kriteria orang asli Papua terhadap bakal calon gubernur dan wakil gubernur provinsi Papua pada pilgub tahun 2006. Keputusan itupun bagi sebagian orang dinilai kontroversi sebab diputuskan dalam bentuk vooting.

Dalam rangka pemilihan anggota MRP periode 2010-2015, sejak September 2010 telah dilakukan pembahasan RAPERDASUS Pemilihan Anggota MRP. Semula diharapkan bisa diparipurnakan pada tanggal 18 November 2010 akan tetapi setelah mengalami pembahasan yang panjang di tingkat Provinsi Papua dan Papua barat serta menunggu pertimbangan dan persetujuan dari MRP maka baru diparipurnakan pada tanggal 2-3 desember 2010.

Sebenarnya pembahasan RAPERDASUS di tingkat legislatif DPRP dan DPRPB bisa dipercepat akan tetapi terus terhambat karena tidak maksimalnya koordinasi diantara pimpinan Legislatif..”..Tidak ada koordinasi satu sama lain, pertemuan yang direncanakan selalu gagal karena pimpinan tidak ada...”Ujar Wakil Ketua Komisi A DPRP, Ir.Weynand Watori. Ada juga suara yang mengatakan bahwa keterlambatan disebabkan tidak ada dukungan dari pihak eksekutif Provinsi Papua Barat.

Konon kabarnya untuk mengantisipasi itu maka semua pendanaan mengenai proses RAPERDASUS dan seleksi keanggotaan MRP melalui Panitia Seleksi, disediakan oleh provinsi Papua yang dikoordinir oleh Kesbangpol Papua....”Lantas bagaimana pertanggungjawaban keuangannya? Apakah dibolehkan untuk membiayai kegiatan di provinsi yang berbeda?..” tanya seorang anggota DPRP saat rapat koordinasi dengan pihak eksekutif Provinsi Papua...”itu juga masalah..” pengakuan dari pihak Kesbangpol Papua..”..tapi kalau kita tunggu eksekutif Papua Barat maka pemilihan keanggotaan MRP bisa molor atau bahkan tidak jadi...”lanjutnya.

Ada beberapa catatan krusial yang muncul pada saat pembahasan RAPERDASUS MRP terutama karena isinya tidak sejalan dengan PP nomor 54 tahun 2004. Misalnya mengenai apakah MRP ada satu atau dua di provinsi Papua dan Papua Barat. Sebelumnya muncul bisik-bisik untuk menolaknya MRP yang satu terutama dari provinsi Papua Barat. Namun akhirnya dicapai kesepakatan bahwa hanya ada satu MRP, demikian keputusan paripurna DPR Papua Barat di Manokwari pada tanggal 16 September 2010.

Kehendak untuk membuat MRP hanya satu berkaitan kepentingan sebagai kesatuan kultural yang ada di provinsi Papua dan Papua Barat. Jika mengacu pada PP Nomor 54 tahun 2004 pada bagian keempat khusus mengenai Pembentukan MRP di wilayah Pemekaran nampaknya agak berbeda sebab pasal 74 Ayat(1) menyebutkan :..”Dalam hal pemekaran provinsi papua menjadi provinsi-provinsi baru dibentuk MRP yang berkedudukan di masing-masing ibukota provinsi..”.
Defenisi orang asli papua yang tercantum dalam Pasal 2 PERDASUS tersebut juga menjadi point krusial. Awalnya ada usulan untuk memasukan defenisi orang asli Papua adalah orang yang ayah dan ibunya asli Papua ada juga yang mengusulkan hanya ayahnya yang papua. Jika diperhatikan tawaran defenisi yang kedua ini mengacu kepada SK MRP Nomor 14 tahun 2009, dimana hanya mengakui paham patrilineal alias hanya yang ayahnya asli papua yang diakui sebagai orang asli Papua. Aneh juga karena SK itu diputuskan juga oleh 1/3 anggota MRP yang perempuan tetapi mengabaikan eksistensinya sebagai perempuan Papua.

Tawaran defenisi tersebut dengan pertimbangan bahwa karena MRP adalah lembaga kultural maka anggotanya harus ‘benar-benar asli’. Akan tetapi setelah mengalami perdebatan panjang, defenisi orang asli Papua yang tertuang di dalam Pasal 1 huruf t UU OTSUS yang digunakan namun tidak secara lengkap sehingga hanya berbunyi “..Orang Asli Papua adalah orang yang berasal dari rumpun ras Melanesia yang terdiri dari suku–suku asli di Provinsi Papua ...”.

Mengenai pembiayaan mulai dari tahap sosialisasi RAPERDASUS hingga pembiayaan kelembagaan ke depan juga menjadi catatan penting karena hingga kini belum ada penyesuaian pada APBD masing-masing provinsi. Hal lain yang juga ramai diperdebatkan mengenai pimpinan dan kedudukan MRP. Ada pemintaan jatah dari provinsi Papua Barat mengenai pimpinan dan juga kedudukan yang dapat disharing bersama sehingga yang semula dari 3 orang pimpinan menjadi 5 orang pimpinan,(Cepos/12/11/2010).

Hal lain yang menjadi krusial adalah jumlah keanggotaan yang berorientasi pada pemilihan untuk calon legislatif yakni berdasarkan daerah pemilihan (DAPIL) bukan berdasarkan wilayah kesatuan masyarakat adat. Jumlah anggota MRP pun berubah dari yang semula 43 orang menjadi 75 orang. Mungkin proses seleksinya tidaklah terlalu sulit untuk wilayah Papua Barat yang terdiri dari 11 kabupaten dengan jatah anggota 33 orang sehingga kalau mau mudahnya, dibagi setiap daerah mendapat jatah 3 orang dengan perincian masing-masing 1 untuk wakil adat, agama dan perempuan.

Untuk wilayah Papua dengan jumlah kota atau kabupaten sebanyak 29 dan jatah 42 orang maka jika dibagi sederhana semua akan dapat dengan kelebihan 13 kursi akan tetapi dengan mekanisme kerja panitia seleksi seperti yang tercantum dalam PERDASUS maka ada peluang wilayah kota atau kabupaten yang tidak kebagian, ironis sekali jadinya. Konsekwensi lainnya apabila ada pemekaran kabupaten dan provinsi maka tentu PERDASUS tersebut harus diubah kembali.

Diperkirakan bahwa proses seleksi keanggoataan MRP yang dimotori oleh Kesbangpol provinsi Papua akan memakan waktu relatif lama apalagi memasuki bulan desember, aktifitas di dua provinsi ini banyak difokuskan untuk menjelang dan mengisi hari natal 25 desember 2010. Bisa jadi waktu yang disediakan hingga 31 januari 2011 tidaklah cukup maka proses seleksinya kurang lebih akan berlangsung seperti yang lalu, berjalan tidak demokratis dan main tunjuk saja.
Kenyataannya PERDASUS untuk Pemilihan Anggota MRP 2010-2015 yang sudah disahkan masih sarat dengan perdebatan di tingkat yuridis maupun sosialogis. Masih ada pasal yang perlu diperjelas sehubungan dengan isi UU OTSUS maupun PP nomor 54 tahun 2004. Wakil Ketua DP Papua Barat, Jimmy Ijie mengakui itu,namun beliau optimis pemerintah pusat akan bijaksana ..”..terutama untuk mewujudkan Papua zona damai dan yang terpenting untuk mempertahankan papua bagian integral dari NKRI..”ujarnya (Cepos/3/12/2010). Pihak Badan Legislatif (BALEG) DPRP juga menjamin bahwa perubahan itu akan disetujui oleh pemerintah pusat dengan alasan sudah dikomunikasikan sebelumnya pada pertengahan Oktober 2010 dengan pihak Jakarta.

Secara sosiologis belum mencerminkan aspirasi yang maksimal dari kehendak rakyat Papua, niat sebagai alat perjuangan hak-hak dasar orang asli Papua seolah hanya simbol. Mungkin saja pihak pemerintah pusat akan memangkas pasal-pasal yang dinilai bertentangan secara yuridis dengan peraturan di atasnya. Atau bisa juga membiarkan pertentangan-pertentangan tersebut baik yang sifatnya yuridis apalagi sosilogis. Demi memelihara konflik diantara orang papua sendiri dan secara sistemik melemahkan MRP dari waktu ke waktu. Jika demikian bisakah orang asli Papua berharap dan mendapatkan hal yang lebih bermanfaat dengan kehadiran MRP?. Sekjend PDP, Thaha Moh Alhamid mengatakan ..”bagaimana MRP dapat memperjuangkan kepentingan rakyat, memperjuangkan kepentingannya sendiri saja, setengah mati...”.

Artinya rakyat papua masih sangat berharap agar MRP bukan saja jadi alat justifikasi pemerintah pusat tapi MRP harus menjadi alat perjuangan orang asli Papua untuk memperjuangkan haknya. MRP harus dilibatkan dan didengar pada persoalan strategis menyangkut Papua. MRP harus mendapatkan kewenangan yang lebih konkrit serta harus diisi oleh orang-orang yang kuat dan siap berjuangan dari awal hingga akhir masa keanggotaannya.
Keterangan foto :Kantor Majelis Rakyat Papua (MRP) di Kotaraja, Jayapura,andawat

Selengkapnya...

26 Oktober 2010

OTSUS : MAU DIAPAKAN?

Oleh: Andawat

Mencuatnya pernyataan kegagalan OTSUS dan mengembalikan OTSUS ke DPRP terjadi dengan gelombang massa yang besar pada tanggal 18 Juni 2010 dan dilanjutkan pada tanggal 8 Juli 2010. Demo penolakan OTSUS ini merupakan demo jilid dua sebab sebelumnya tanggal 12 Agustus 2005, masyarakat adat melalui Dewan Adat Papua (DAP) telah mengembalikan OTSUS.

Wacana ‘mendekonstruksi’ OTSUS (melalui penolakan dan alternatif) ke dalam berbagai bentuk sesuai dengan kehendak masing-masing pihak hingga kini terus menjadi perdebatan yang hangat walaupun belum juga ada langkah konkrit dari semua pihak untuk menindaklanjuti argumentasi mereka. Acap kali dorongan untuk menemukan ‘bentuk baru’ dari OTSUS yang disampaikan hampir tidak menunjukkan kualitas negosiasi yang maksimal meski dalam satu perjalanan bersama, spektrum disparitas per kelompok masih terjadi cukup meluas, mencuat dalam berbagai dimensi. Selain itu respon yang diberikan oleh pihak lain seperti DPRP, pemerintah lokal dan pemerintah pusat tidak juga menunjukkan perhatian dan dukungan yang serius. Sehingga hasil akhir yang diperjuangkan berikut pilihan – pilihan yang disediakan kurang mencerminkan gambaran konsolidasi yang sudah kuat terbangun.

Ketika membahas OTSUS, satu pihak menawarkan rekonstruksi atau juga revisi OTSUS guna implementasi secara sungguh-sungguh dan bertangungjawab. Pihak ini masih melihat ada manfaat dari kehadiran OTSUS di Papua, entah dari segi kewenangan ataupun karena banyaknya uang yang mengalir. Sedangkan pihak lain menyebut gagal dan dikembalikan. Statement ini senantiasa disampaikan oleh pihak yang menilai OTSUS tidak memberikan manfaat maksimal bagi orang Papua bahkan makin menyengsarakan dan melecehkan.

Perkembangan terakhir ada yang menggunakan istilah ‘merubah atau menaikkan status OTSUS’. Hal ini terungkap setidaknya pada pembukaan Musyawarah MRP yang disampaikan oleh ketua MRP, Agus A Alua. Ketua MRP Agus A Alua mengatakan bahwa akibat dari kegagalan OTSUS maka salah satu opsinya adalah dengan peningkatan status UU OTSUS. Menurutnya akibat kegagalan OTSUS maka ada beberapa opsi seperti mengembalikan OTSUS, merevisi secara menyeluruh ataupun meningkatkan status OTSUS. ”...Selain revisi OTSUS kita bisa minta peningkatan UU OTSUS menjadi UU Federal dengan sistem one nation two systems..”tegasnya. Menurutnya OTSUS hanyalah bargaining politik yang ditawarkan oleh pemerintah pusat agar rakyat Papua tidak minta merdeka...”Kita harus pahami bahwa OTSUS bukan kemauan murni namun hanya solusi untuk menjawab aspirasi politik rakyat papua...”tuturnya (Bintang Papua/10/06/2010).

Ketua DAP saat berorasi di halaman gedung DPRP tanggal 8 Juli 2010 juga menyebutkan hal yang sama ‘meningkatkan status OTSUS’ dengan menyebutkan refendum sebagai alternatifnya. DAP jelas menolak OTSUS namun masih sempat memberikan solusi untuk mengimplementasikan OTSUS sebagaimana dimuat harian Cepos/4/8/2010, Ketua DAP mengatakan OTSUS bukan uang tapi seberapa besar wewenang dan kekuasaan yang diberikan oleh Jakarta kepada orang Papua untuk mengatur dirinya sendiri. Pada acara Conggresional Hearing mengenai Papua di Washington DC tanggal 22 September 2010, Eny Faleomavaenga, anggota Conggres yang merupakan ketua Sub Committe untuk Asia Pasific mengatakan hal yang kurang lebih sama yakni mengenai peningkatan status OTSUS, meski bentuknya bisa berbeda.
Ada juga ‘langkah antara’ yakni dengan menawarkan evaluasi, sebelum memutuskan apakah OTSUS ada hasilnya ataukah benar – benar gagal. Pandangan ini belum mau buru-buru mengatakan OTSUS gagal atau mungkin tidak ingin mengatakan OTSUS gagal sebagai suatu kebijakan meski OTSUS diyakini telah gagal. Nampaknya pihak DPRP mengambil posisi ini setelah dipaksa oleh peserta demo tanggal 18 Juni 2010 untuk melaksanakan paripurna guna mengeluarkan keputusan DPRP yang isinya mendukung 11 tuntutan dari aksi demo tersebut. Paripurna tidak pernah terwujudkan bahkan tidak pernah ada suara bulat untuk sampai di Badan Musyawarah (BAMUS). Hingga kini DPRP tidak juga secara eksplisit membawa ,menyalurkan atau menindaklanjutinya ke pemerintah daerah apalagi pemerintah pusat. DPRP dinilai lambat dan tidak jelas ketika merespon 11 tuntutan tersebut meskipun pertemuan dengan utusan pendemo telah dilakukan berulang kali.

Sejujurnya secara internal di DPRP sendiri masih ada kendala. Mendukung atau tidak, setuju atau tidak?. Apakah berpengaruh atau tidak apabila mendukung dan bagaimana dampaknya bagi posisi para legislator?. Mengingat sejarah buruk diakhir tahun 2005 ketika DPRP memutuskan akan melakukan referendum apabila pemerintah menyetujui pembentukan Provinsi Papua Barat. Toh, Provinsi Papua Barat tetap hadir dengan adanya pertemuan Biak dan Mansinam kemudian menghasilkan PERPU Nomor 1 tahun 2008. Pembentukan PANSUS justru dijadikan alternatif dengan 2 tugas yakni PANSUS untuk merencanakan agenda Evaluasi OTSUS dan dipisahkan dengan PANSUS untuk agenda Judicial Review OTSUS.”...tidak perlu buat PANSUS, hanya bikin habis biaya..’,Ujar salah satu tokoh DAP, Dominggus Serabut,memprotes rencana DPRP tersebut. Mengapa PANSUS? sebab hingga saat ini hanya PANSUS yang bisa jadi alat negosiasi tertinggi di tingkat internal DPRP sendiri. Untuk sampai menjadi keputusan BANMUS apalagi di Paripurnakan tentu membutuhkan pertarungan panjang di tingkat pimpinan DPRP dan Fraksi-Fraksi di DPRP juga Partai Politik yang ada.

Judicial Revieuw adalah langkah pertama yang akan diambil oleh DPRP, sayangnya fokus Judicial review DPRP adalah hanya pada pasal 7 ayat (a) UU OTSUS menyangkut Pemilihan gubernur melalui DPRP yang telah dihapus dengan lahirnya PERPU nomor 1 tahun 2008 dan digantikan dengan UU Nomor 35 tahun 2008. DPRP bersikeras untuk mengembalikan pemilihan gubernur melalui DPRP dan bentuk pertanggungjawaban gubernur dari LKPJ (Laporan Keterangan Pertanggungjawaban) menjadi LPJ (Laporan Pertanggungjawaban) seusai Pasal 18 ayat (1) yang memang tidak dihapus. Menurut DPRP itulah pintu masuk pengawasan dan kontrol terhadap pelaksanaan OTSUS dan APBD...” selama ini eksekutif seolah - olah menganggap kami seperti satu SKPD dan mereka bisa mengontrol kami, sebenarnya itu terbalik..” Ujar ketua Komisi A DPRP, Ruben Magai. Hingga kini rencana Judicial review belum juga dilakukan.

Di sisi lain juga berkembang informasi bahwa gubernur Provinsi Papua telah melakukan revisi UU OTSUS secara diam-diam. Hal ini terkait dengan pemberitaan Cepos tanggal 23 Agustus 2010, gubernur mengatakan....”Kita sudah lakukan revisi UU OTSUS, banyak yang sudah kita perbaiki kalau mereka masih terus minta revisi OTSUS berati mereka tidak tahu ..”jelas Suebu. Mendengar pemberitaan tersebut, ketua DPRP mengatakan tidak mengetahui dan merasa DPRP dilecehkan. DR. Agus Sumule, staf Ahli gubernur menegaskan bahwa tidak pernah ada revisi OTSUS secara diam – diam yang ada hanya dilakukan pada tahun 2008(UU Nomor 35 tahun 2005). Gubernur ke Jakarta untuk membicarakan mengenai pembagian dana bagi hasil antara PT. Freeprot dengan pemerintah pusat. Menurutnya andaikata bisa dimasukan ke dalam UU OTSUS mengenai eksploitasi SDA, akan sangat baik untuk Papua. ..”Jadi tidak ada tendensi politik soal 2011 mendatang. Selama ini gubernur bekerja dengan hati demi masyarakatnya..”demikian disampaikan ujarnya,(Cepos/28/8/2010).

Tokoh pro Papua merdeka yang kemudian menjadi pro NKRI, Nicholas Jouwe mengatakan ”…bagi saya OTSUS adalah satu kebijakan yang harus saya puji dari pemerintah Indonesia sebab ini sangat penting buat negeri ini dan orang Papua dan kita harus pertahankan OTSUS...”. Baginya jangan lagi selalu menyalahkan OTSUS.”...ini adalah salah satu sikap yang keliru. Misalnya kalau saya tidak dapat ini saya mau minta referendum. Kalau saya tidak dapat itu saya mau minta merdeka. Ini suatu keadaan yang tidak begitu baik. Seakan-akan mereka melihat OTSUS sebagai satu bahaya yang membahayakan kesempurnaan rakyat Papua dan saya sama sekali tidak setuju...”paparnya prihatin,(Cepos/28/6/2010).

Semakin keras protes terhadap OTSUS maka dana OTSUS pun terus ditambah oleh pemerintah dengan argumentasi untuk meningkatkan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat...”itu bukti komitmen pemerintah sehingga kalau masih ada orang yang mempersoalkan,mempertanyakan, saya kira itu tidak adil. Dana sudah demikian besar ,lalu ditambah lagi,apa yang kurang..?”Ujar Menteri Dalam Negeri.(Cepos/19/8/2010). Presiden SBY kemudian memberikan pernyataan akan melakukan audit OTSUS setelah lebaran. SBY juga akan segera melakukan evaluasi yang menyeluruh atas kebijakan Otonomi Khusus termasuk mengevaluasi kebijakan baru bagi Papua (new deal for Papua) yang telah diamanatkan dalam INPRES Nomor 5 tahun 2007 tentang Percepatan Pembangunan Provinsi Papua, demikian dijelaskan oleh Staff Khusus SBY, Velix Wanggai(Cepos/27/9/2010)

Mengenai rencana Audit OTSUS adalah langkah yang positif dan jika dilakukan sebaiknya dilakukan oleh satu badan yang independen, demikian tanggapan dari Ketua A Komisi DPRP. Ide lainnya mengenai pelaksanaan OTSUS di Papua dan Papua Barat datang dari Koordinator Divisi Eksternal Komisi Pemantauan Otonomi Daerah. Menurutnya pelaksanaan OTSUS membutuhkan badan Khusus untuk mengawasinya alasannya adalah karena dana yang dikeluarkan cukup besar (Cepos/3/8/2010). Perkembangan terakhir beredar informasi bahwa beberapa menteri telah merekomendasikan dibentuknya badan khusus untuk mengelola dana OTSUS.

Perbincangan mengenai Evaluasi OTSUS meluas dan seolah para pihak lupa untuk merujuk pada acuan legalitas yang tertuang dalam Pasal 77 UU OTSUS : Usul perubahan atas Undang – Undang ini dapat diajukan oleh rakyat Provinsi Papua melalui MRP dan DPRP kepada DPR atau Pemerintah sesuai dengan peraturan Perundang – Undangan .

Dan Pasal 78 UU OTSUS : Pelaksanaan Undang – Undang ini dievaluasi setiap tahun dan untuk pertama kalinya dilakukan pada akhir tahun ketiga sesudah Undang – Undang ini berlaku.
Pasal 77 memuat mekanisme usulan perubahan UU OTSUS. Sedangkan pasal 78 menjelaskan kewajiban untuk melakukan evaluasi UU OTSUS, setiap tahun dan untuk pertama kalinya dilakukan pada akhir tahun ketiga. Mandat dari kedua pasal tersebut sangat jelas tapi justru tidak dilakukan. Perubahan atau evaluasi OTSUS itu bukanlah hal yang tabu karena dibolehkan oleh UU sehingga tidak tepat juga kalau dikatakan OTSUS is final solution. Perubahan atau evaluasi dapat menghasilkan apa saja.

Jika yang dimaksud adalah mengaudit dana OTSUS tentu sulit untuk dilakukan sebab selama ini alokasi dana OTSUS digabungan dengan sumber dana lainnya di dalam APBD seperti Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) ataupun Dana Bagi Hasil(DBH). Setiap tahunannya BPK juga sudah melakukan audit terhadap APBD secara keseluruhan, sayangnya tidak pernah diketahui tindak lanjut laporan audit tersebut.

Bila masalah kewenangan menjadi bagian dari yang diaudit di dalam OTSUS, maka harus juga dijelaskan bagian yang mana?. Apakah merujuk pada kewenangan yang dimiliki oleh lembaga-lembaga seperti MRP, DPRP, Pemerintah provinsi atau pemerintah pusat. Kewenangan yang memiliki kekuatan eksekutorial ataukah kewenangan sebatas untuk mengakomodir tetapi tidak untuk membuat keputusan final?. Kewenangan dengan pertanggungjawaban yang jelas ataukah kewenangan yang dualisme bersembunyi di balik aturan yang tumpang tindih?.

Persoalan OTSUS bukan hanya persoalan implementasi. Sejak awal norma dan substansinya saling bertentangan. OTSUS disusun tanpa pertimbangan yang rasional dan realistis hanya karena emosi takut kehilangan Papua. Sehingga tidak mampu mengkalkulasi dampak yang akan muncul dikemudian hari akibat pertentangan dengan norma dan substansi lainnya baik secara hukum, politik maupun sosial. OTSUS sebagai rahmat atau bencana, OTSUS menyelesaikan masalah atau bagian dari masalah. Pemerintah pusat memberikan OTSUS secara terpaksa karena rakyat Papua minta merdeka. OTSUS bukan juga kehendak murni rakyat Papua. OTSUS disusun mengatasnamakan rakyat tetapi sebenarnya tidak pernah disetujui oleh rakyat Papua. Sosialisasinya ditolak dimana-mana bahkan menimbulkan korban jiwa.

Tidak ada satu lembaga yang merasa harus mengambil tanggungjawab dengan sungguh-sungguh. Coba tanyakan kepada pemerintah pusat apakah mereka mengerti bagaimana melaksanakan OTSUS di Papua?. OTSUS diadu dengan begitu banyak peraturan atau kebijakan lainnya seperti UU sejenisnya secara umum (contoh UU Parpol, UU Pendidikan) , UU sektoral (contoh Peraturan Menteri Kehutanan) ,Peraturan Pemerintah (contoh PP 77 tahun 2007) termasuk berbagai INPRES (contoh INPRES nomor 1 tahun 2003 dan Nomor 5 tahun 2007) bahkan PERMENDAGRI dan OTSUS selalu dipaksa kalah. Simak juga situasi pemerintahan di daerah apakah mereka juga mengimplementasikan OTSUS. Lihat saja nasib berbagai PERDASI dan PERDASUS yang sudah dihasilkan. Kemudian perseteruan yang terus berjalan diantara eksekutif dan DPRP serta kegagalan MRP ketika membuktikan dirinya sebagai wadah bagi perjuangan hak-hak dasar rakyat Papua.

Kemudian OTSUS diubah melalui PERPU nomor 1 tahun 2008 dilanjutkan dengan UU Nomor 35 tahun 2008 untuk mengakomodir masuknya dana OTSUS ke Provinsi Papua Barat bukan untuk menciptakan dan sharing otoritas dan pertanggungjawaban diantara 2 provinsi tersebut. Misalnya dalam hal pengesahan PERDASUS juga pembuatan PERDASI. Lantas mengenai MRP, bagaimana peran dan posisinya di kedua provinsi tersebut? Bagaimana juga pembiayaanya?. Hingga kini provinsi Papua Barat masih terus merumuskan dirinya untuk masuk ke dalam UU OTSUS, misalnya dengan menyiapkan nomenklatur berbagai aturan dan lembaga termasuk penyebutan DPRD Provinsi Papua Barat ke DPR Papua Barat.

Jadi mana mungkin OTSUS dapat meningkatkan penghormatan terhadap hak asasi manusia secara khusus hak- hak dasar rakyat Papua dalam bentuk memberikan otoritas yang lebih kuat buat daerah untuk mengatur diri dan rakyatnya sesuai dengan kapasitas yang dimiliki. Lantas mengapa OTSUS masih dipertahankan ketika tidak ada pihak yang mau bertanggungjawab secara serius untuk melaksanakannya?. Ketika norma dan susbtansinya saling berbenturan?. Perdebatan mengenai OTSUS harus diakhiri dengan mencapai satu tahapan lebih maju, mencabutnya atau merevisinya dengan lebih aspiratif terhadap kewenangan dan konteks lokal untuk mengimplementasikannya secara maksimal. Bisa saja namanya bukan OTSUS lagi. Perjuangan hak- hak rakyat dan pembangunan tidak harus dengan OTSUS. Ruang untuk mendiskusikan dan menentukan pilihan harus selalu terbuka dan secara sadar mampu memberikan pendidikan demokrasi bagi kita semua.

Keterangan foto : Demo tanggal 18 Juni 2010 di Gedung DPRP,andawat

Selengkapnya...

27 Juni 2010

Seruan IRCT Dalam Rangka 26 Juni (Hari Anti Penyiksaan)


Pernyataan IRCT dibacakan di seluruh dunia dalam memperingati Hari Internasional Dukungan terhadap Korban Kekerasan tanggal 26 Juni 2010


Hadirin sekalian,
Hari ini kita menandai Hari Internasional Dukungan terhadap Korban Kekerasan. Hari ini merupakan saat dimana kita mengenang kembali masa lalu, menghormati para korban dan mereka yang terbebas dari kekerasan dan menatap ke masa depan yang lebih baik: kepada suatu Dunia Tanpa Kekerasan.

Praktek penindasan yang kejam terus saja mengorbankan orang-orang di seluruh dunia. Tetapi suatu Dunia Tanpa Kekerasan dapat saja hadir. Ini merupakan sesuatu yang kita harus selalu bertumpu. Ini merupakan hutang kita kepada para korban atau mereka yang terbebas dari kejahatan keji ini di seluruh dunia.

Dunia tanpa penyiksaan tidak akan menjadi kenyataan sampai kita membawa pemulihan kepada mereka yang terlilit dengan praktek-praktek menjijikan ini. Tanpa pemulihan, akibat dari kekerasan-kekerasan akan sepenuhnya berlanjut terhadap mereka yang selamat.
Setiap tahun lebih dari 100,000 orang yang selamat dari kekerasan menerima perawatan dari pusat-pusat anggota IRCT. Tetapi masih banyak lagi yang ada di sana. Bersama-sama, kita harus berjuang untuk meningkatkan pencapaian kita dalam rangka membawa pemulihan yang lebih banyak kepada mereka yang menderita.

Untuk mewujudkan suatu Dunia Tanpa Kekerasan kita harus menjamin bahwa mekanisme-mekanisme kearah itu sudah ada untuk mencegah kekerasan itu terjadi lagi di masa mendatang. Kita akan mengambil langkah-langkah yang berarti ke arah tersebut apabila pemerintah, para pekerja kesehatan dan hukum dan para actor terkait lainnya berkomitmen untuk menjamin bahwa semua yang selamat dari penyiksaan mendapat kesempatan yang layak di mata hukum.
Hal ini harus juga meliputi anak-anak, korban kekerasan yang kadang terlupakan. Sementara siapa saja dapat menjadi korban kekerasan, anak-anaklah yang paling rentan memperolehnya, terlebih sejumlah besar anak-anak laki-laki dan perempuan yang lahir dan tumbuh dalam kemiskinan dan konflik.

Dalam konteks perang dan kebrutalan polisi, anak-anak terlalu sering menjadi sasaran kekerasan dari tangan-tangan keji penyiksa. Saat ini kami menekankan bahwa setiap negara memiliki satu tugas tambahan untuk menjamin bahwa ada seseorang yang mau berbicara lantang untuk dirinya sendiri dan melindungi mereka dari kejahatan menyesakkan ini.

Hadirin sekalian,
Di tahun yang lalu kita telah melihat beberapa langkah positif yang kita ambil di jalan panjang menuju Dunia Tanpa Kekerasan. Langkah-langkah ini harus dihormati. Beberapa contoh adalah:
Di Asia, baru bulan ini Pakistan meratifikasi Konvensi PBB melawan Kekerasan. Dan kita telah melihat India, negara dengan penduduk terbesar kedua dan demokrasi terbesarnya, mengambil langkah-langkah untuk meratifikasi Konvensi tersebut.

Di Eropa, kita telah menyaksikan pemerintah Inggris meminta penelusuran terhadap terkaitnya penyiksaan dalam apa yang lasim dikenal dengan “Perang terhadap Terror” (War on Terror).
Di Afrika, setelah kekerasan dahsyat yang terjadi setelah pemilihan di Kenya, Pengadilan Kejahatan Internasional telah mengumumkan bahwa pengadilan akan memulai investigasi dan melindungi para saksi.

Di Benua Amerika kita telah menyaksikan juga Argentina telah berhasil mengadili para pelaku kekerasan dari resim lalim tahun 1970an, dan menyebarluaskan pesan yang keras bahwa tidak ada tempat bagi para pelaku kekerasan untuk bersembunyi.
Dan yang terakhir, pada tingkat lokal pusat-pusat anggota IRCT tetap terus bekerja tanpa henti untuk membantu mereka yang selamat dari penyiksaan demi memulihkan hidup mereka kembali, demikian pula membangun kesadaran dan mencari keadilan.

Hadirin sekalian,
Ancaman terbesar terhadap perjuangan melawan kekerasan adalah kelesuan yaitu kita dengan diam menerima bahwa kekerasan itu suatu kenyataan. Hari ini, sementara kita menghormati mereka para korban dan yang selamat dari penyiksaan di seluruh dunia, marilah kita berjanji bahwa kita tidak akan diam menerima bahwa kejahatan kekerasan akan terus berlangsung. Mari kita berjanji untuk bekerja sungguh-sungguh demi mencegah hal ini dalam jumlah yang lebih besar.

Sekarang ini, kita – semua pusat dan program rehabilitasi yang merupakan anggota IRCT – bersama-sama mengumandangkan suara ke seluruh dunia, membacakan pernyataan ini di hari yang khusus ini. Bersama-sama, kita katakan bahwa kita tidak akan tinggal diam, dan bahwa kita akan terus bekerja sama demi mewujudkan Dunia Tanpa Kekerasan.
Tertanda:

Mohamud Sheikh Nurein Said Brita Sydhoff
Presiden Sekretaris Jenderal

Selengkapnya...

23 Juni 2010

Keputusan MRP Nomor 14 tahun 2009 : Bola Panas Yang Diskriminatif? ( Bagian Kedua)

Oleh: Andawat

Nasib keputusan MRP nomor 14 tahun 2009 terus dipantau oleh berbagai pihak terutama melalui pemberitaan pers. Pers berganti mengutip pandangan Jakarta dan sikap Tim PANSUS DPRP. Masyarakatpun kadang dibuat bingung dengan judul berita yang selalu silih berganti antara “keputusan MRP nomor 14 tahun 2009 ditolak Jakarta” dengan “PANSUS belum bertemu mendagri..”..Ada juga yang berpikir bahwa Keputusan tersebut telah ditolak melalui surat resmi. Sehingga ada yang mengatakan bahwa sebaiknya Tim PANSUS DPRP mengatakan dengan sejujurnya bahwa Mendagri menolak agar tidak membohongi rakyat.

Reaksi dari Masyarakat
Reaksi pertama kali dari masyarakat mengenai keputusan MRP muncul dari Masyarakat Adat Nusantara (MAN) Kab Keerom, ketika tanggal 6 Maret 2010 menyampaikan dukungan mereka terhadap keputusan MRP Nomor 14 Tahun 2009 kepada ketua KPU kabupaten Keerom dan KPU provinsi. Sikap mereka langsung mendapat reaksi dari tokoh intelektual kabupaten Kerom yang menyatakan bahwa keputusan tersebut belum memiliki dasar hukum serta menyangsikan bentuk dukungan MAN Kab Keerom (Bintang Papua/8/3/2010).

Demonstrasi yang diprakarsai oleh FORDEM (Forum Demokrasi Rakyat Papua Bersatu) untuk mendukung pelaksanaan keputusan MRP Nomor 14 Tahun 2010 dilakukan selama 2 hari tanggal 18 dan 19 Mei 2010. Pada demo hari kedua di halaman kantor gubernur, Gubernur provinsi Papua, Bas Suebu menemui para pendemo. Bas Suebu mengatakan bahwa semua warga negara memiliki hak yang sama namun keputusan MRP merupakan perjuangan untuk mendapatkan hak –hak politik orang asli Papua oleh karena itu sangat didukung. Gubernur menyakinkan agar sama-sama menunggu keputusan pemerintah pusat dalam bentuk PP (Peraturan Pemerintah). Selain itu, dia juga meminta koordinator demo bersama gubernur membentuk tim perumus guna mendorong aspirasi masyarakat Papua ke pemerintah.
Kelompok orang Papua sendiri yang menolak keputusan tersebut cukup beragam dan dilakukan secara terbuka seperti FORDP (Forum Papua Damai). Kelompok ini melakukan konferensi pers untuk menolak keputusan tersebut dengan alasan MRP lembaga kultur dan mengurus masalah adat dan bukan mengurus masalah politik. Mereka juga mengatakan bahwa MRP melakukan hal yang bukan urusannya sedangkan beberapa kewenangan milik MRP tidak dilakukan. Mereka berpendapat perbedaan diantara orang papua sendiri telah mengakibatkan orang Papua telah tersingkir. Sesama orang Papua juga saling mengklaim wilayah dan tidak memperbolehkan saudara dari daerah lain hidup di dalamnya, demikian ungkap ketua FORPD , Simon P Ayomi.

KNPB pun menolak dengan alasan bahwa keputusan MRP hanya dijadikan ‘bemper’dan kepentingan segelintir elit politik untuk memecah belah persatuan rakyat Papua Barat. KNPB juga memprotes isi demo dari Tim PANSUS yang mengatakan bahwa jika pemerintah Indonesia tidak mau menerima keputusan MRP biarkan rakyat Papua menuntut kemerdekaannya dan akan mengurus diri mereka sendiri.”..jangan jadikan isu Papua merdeka sebagai komoditi politik..’ujar Mako Tabuni dari KNPB.

Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) menilai keputusan MRP Nomor 14 Tahun 2009 telah mereduksi semangat demokrasi dan membuat bibit konflik baru di tanah Papua. Keputusan tersebut bisa dinilai sebagai pemicu dan mengganggu keamanan karena sangat mengejutkan public dan waktunya tidak tepat sekali. Yan Matuan, ketua BEM juga menilai kinerja MRP selama 5 tahun ini sangat buruk sekali bahkan tidak pernah menunjukkan kinerja yang sangat signifikan bagi orang asli Papua,.’…tidak mampu menjalan tugas dan wewenang untuk memproteksi, memberdayakan dan bertindak affirmative action terhadap orang hak –hak orang asli Papua…’ tandasnya.(Cepos/8/6/2010).

Penolakan juga dilakukan oleh Barisan Merah Putih (BMP) melalui ketuanya Ramses Ohee. Menurutnya menerima keputusan MRP Nomor 14 tahun 2009 sama dengan memberikan bangsa Papua merdeka. Padahal semua suku di Indonesia adalah sama. Nico Mauri sebagai ketua BMP Kota juga menolak keberadaan keputusan tersebut selanjutnya mengatakan bahwa tim PANSUS DPRP jangan cuci tangan setelah kegagalan di Jakarta dengan seolah mengatakan akan ada kerusuhan apabila keputusan MRP ditolak oleh Jakarta (Bintang Papua 7/6/2010).

Ramses Wally tidak menolak isi dari keputusan tersebut akan tetapi menolak pemberlakuannya. Menurutnya isi keputusan MRP masih sepotong-sepotong jadi ditunda saja dulu paling tidak sampai tahun 2015, sampai disiapkan dengan lebih baik. Ramses Wally sangat mendukung perjuangan hak politik orang Papua dan menurutnya bukan saja pada kepala daerah tetapi juga harus menyeluruh seperti posisi orang asli Papua dalam keanggotaan DPRD, DPRP, serta DPR RI dan DPD. Jika sekarang pemerintah menolak maka seharusnya pemerintah memberikan solusi.

Tak dapat dipungkiri, Keputusan MRP juga mengundang respon di kalangan pendatang. Meskipun ada pemberlakukan UU OTSUS akan tetapi keputusan tersebut menimbulkan perasaan yang kurang nyaman dalam pergaulan dan kehidupan bermasyarakat. Padahal ‘..orang Papua sendiri yang tidak mau berpasangan dengan orang Papua..’ujar karo Hukum Provinsi Papua. “..ada perasaan tidak pede karena stereotype yang sudah lama diberikan kepada orang Papua…”demikian pandangan Yoram Wambrauw S.H.M.Hum dari FH Uncen. Ketidakmauan ini bisa disebabkan oleh banyak factor, bisa karena keterbatasan pada akses atau sumber daya atau modal tertentu.

Sekarang orang Papua setidaknya bakal calon sudah memiliki modal ekonomi yang sangat kuat hanya saja yang jadi perhitungan adalah populasi pendatang yang meningkat pesat. Sehingga berpasangan dengan pendatang bertujuan untuk mengumpulkan suara dari pendatang. Kenyataan lainnya adalah ”.. ada juga pendatang yang memiliki keberpihakan terhadap persoalan yang dihadapi oleh rakyat Papua dan mereka tidak terlibat sama sekali terhadap kebijakan pemerintah yang diterapkan untuk Papua yang merusak Papua, jika begitu lebih baik kami tidak ikut memilih..’ujar seorang pendatang.

Di sisi lain ada juga kenyataan bahwa setelah jadi bupati/wakil bupati atau walikota/ wakil walikota, tidak ada jaminan bahwa suara pemilih (pemilih papua atau pendatang) akan benar-benar didengar, siapapun yang naik jadi pemimpin mau papua dua-duanya ataukah ada yang pendatang. Sikap ketika pencalonan cenderung berbeda setelah jadi pemimpin sebab yang dipertimbangkan adalah kepentingan dirinya atau kelompoknya, kekuasaan selalu begitu, setelah diperoleh maka rakyat akan diabaikan, apapun suku yang mereka miliki. ..’..Pimpinan daerah yang merupakan orang asli Papua tidak sertamerta dapat membangun orang Papua justru merugikan rakyat Papua…’demikian pendapat Mako Tabuni dari KNPB. Dalam sejumlah diskusi interaktif di media televisi lokal di Tanah Papua, ada yang menyatakan bahwa keputusan tersebut sudah sangat ditunggu – tunggu tapi ada juga yang mengatakan hanya untuk kepentingan politik tertentu.

Kini setelah perdebatan panjang dan perjalanan panjang DPRP ke Jakarta yang ‘belum ada hasilnya’ dan bukan “gagal’ demikian ditegaskan oleh Ruben Magai selaku ketua harian PANSUS DPRP. Maka DPRP kembali mengambil alih fungsi legislasi dengan membuat rancangan PERDASUS. Tujuan utamanya adalah memberikan perlindungan bagi hak –hak politik orang Papua yang selama lebih banyak diabaikan dan dilemahkan dalam system bernegara republic Indonesia. Selama 3 hari berturut Tim PANSUS bersama Tim Ahli telah menyelesaikan RAPERDASUS, kemudian pada tanggal 15 Juni 2010 telah dipresentasekan dihadapan Wakil Gubernur Provinsi Papua di DPRP. ”Saya secara pribadi mendorong PERDASUS ini, kita tidak perlu kecil hati karena masih banyak jalan yang bisa kita tempuh..’ujarnya. Berkaitan dengan pelaksanaan pemilukada yang semakin dekat dan pertanyaan kapan PERDASUS ini disahkan, ketua tim PANSUS mengatakan bahwa PERDASUS bukan hanya untuk hari ini tetapi untuk kepentingan anak cucu kita maka sifatnya fleksibel..’yang jelas kita akan menempuh sesuai mekanisme yang ada di DPRP..”.

Dalam rancangannya DPRP tidak membuat PERDASUS yang baru (PERDASUS mengenai Kriteria Khusus Orang Asli Papua atau PERDASUS mengenai Hak-hak politik Orang Asli Papua) akan tetapi melakukan perubahan terhadap PERDASUS nomor 4 tahun 2008 mengenai Pelaksanaan Tugas dan Wewenang MRP. Sebab ternyata PERDASUS tersebut belum memuat tugas dan wewenang MRP yang diatur dalam pasal 20 ayat (1) f. Semula PERDASUS nomor 4 tahun 2008 tersebut terdiri dari 27 pasal dalam tiga BAB maka Konsep RAPERDASUS adalah dengan menambahkan 3 perubahan utama, (1). dalam BAB I Pasal 1 menyangkut pengakuan wilayah OTSUS yakni selain Provinsi Papua juga provinsi Papua barat. (2). Pada BAB II mengenai Tugas dan Wewenang MRP yang semula hanya terdiri dari Bagian Keenam, ditambah satu bagian menjadi bagian Ketujuh yang secara khusus mengatur Tata cara Pemberian Pertimbangan Kepada Kriteria Orang Alsi Papua kepada bakal calon Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota. Serta (3). Penambahan mengenai Peraturan Peralihan.
Apa Dasar Hukum Keputusan MRP nomor 14 tahun 2009?.

Hal ini dapat dilihat dari Tugas dan Wewenang MRP di dalam UU OTSUS Pasal 20 ayat (1) huruf f : Memberikan pertimbangan kepada DPRP, Gubernur, DPRD Kabupaten/Kota serta Bupati/Walikota mengenai hal-hal yang terkait dengan perlindungan hak-hak Orang Asli Papua. Penjelasan dari pasal 20 ayat (1) huruf f disebutkan : termasuk di dalamnya adalah petimbangan MRP kepada DPRD kabupaten/kota dalam hal penentuan bakal calon bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota.

Apakah penjelasan tersebut kuat ?.

Penjelasan Pasal 20 ayat (1) huruf f memiliki kekuatan yang sama dari Pasal itu sendiri. Hal ini dapat kita lihat di dalam suatu peraturan dengan memperhatikan konsideran ‘mengingat’, contohnya terhadap Undang - Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua ditulis : (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 135, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4151). Adapun yang dimaksud dengan Tambahan Lembaran Negara adalah untuk mengakomodir materi muatan dari Penjelasan. Konstruksi hukum seperti ini bahkan sudah digunakan sejak jaman Belanda dulu.

Meski judulnya Keputusan akan tetapi Keputusan MRP nomor 14 tahun 2009 tidak dapat diberlakukan langsung sebab MRP tidak memiliki hak legislasi jadi harus menggunakan mekanisme PERDASUS sesuai Pasal 20 ayat(2) UU OTSUS. Perkara nanti ditentang oleh Jakarta, sudah tersedia mekanismenya melalui Judicial Review jadi buat saja dan pertentangan yang ada akan dihadapi kemudian melalui mekanisme yang ada daripada berharap pada Jakarta dan hasilnya selalu mengecewakan. Apalagi ada pengalaman proses Judicial Review yang dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi mengenai pengangkatan 11 kursi anggota DPRP melalui PERDASUS berdasarkan putusan Nomor 116/PUU-7/2009. Tentu, putusan ini menjadi yurisprudensi bagi dibolehkannya ketentuan khusus melalui PERDASUS buat pelaksanaan OTSUS di tanah Papua.

Terlepas dari pro dan kontra secara politik maupun sampai ke ruang yuridis, yang jelas karena berlarut - larutnya keputusan (pemerintah) mengenai Keputusan MRP nomor 14 tahun 2009, menyebabkan rakyat makin terpecah belah pada klaim kebenaran masing – masing kelompok, ‘sesederhana’ apapun pandangan cultural maupun politiknya. Sehingga diberlakukan atau tidak diberlakukannya keputusan MRP nomor 14 tahun 2009 tersebut akan membawa rakyat pada suatu ruang primordialisme politik tertentu, bisa jadi akan ada penghakiman, saling menyalahkan dan upaya meminggirkan satu sama lain. Kondisi inilah yang harus dicegah dan menjadi tanggungjawab kita bersama, sebelum terjadi ‘saling melukai’ satu sama lain.

Keterangan foto : Rapat presentase RAPERDASUS antara DPRP dan Wagub Provinsi Papua,Ruang Badan Anggaran DPRP tanggal 15 Juni 2010

Selengkapnya...