LAPORAN TAHUNAN ALDP: 2010
English Bahasa Indonesia

29 April 2009

Perdebatan Diantara UU No.9/1998 dan Pasal-pasal Makar di KUHP ( Analisa Yuridis Terhadap Dakwaan Buktar Tabuni).


Oleh : Faisal Tura, SH

“Lebih baik melepaskan seratus orang yang bersalah, daripada memidanakan satu orang tidak bersalah” (Analisa Yuridis dakwaan terhadap Buchtar Tabuni).

Adagium diatas sangat berkaitan dengan keharusan perbuatan yang harus terbukti secara sah dan meyakinkan untuk dapat dipidana. Dalam praktek penegakan hukum di Indonesia, tidak jarang aparat penegak hukum (Polisi, Jaksa dan hakim) seringkali mengesampingkan hukum pidana dan mengedepankan presumption of guilt (praduga bersalah) dengan lebih mengandalkan interpretasinya.

Di Papua sendiri beberapa kasus yang terjadi sering kali disalahtafsirkan untuk menjebak pelaku dengan pidana tanpa memperhatikan unsur ketelitian dan kehati-hatian oleh aparat penegak hukum, entah karena factor tingginya tendensi politik atau memang minimya sumber daya manusia dari aparat penegak hukum itu sendiri.

Kasus Buchtar Tabuni yang ditangkap karena peristiwa demonstrasi tanggal 16 Oktober 2008, sangat melukai citra hukum dan demokrasi di tanah air. Buchtar di tangkap oleh tim opsnal POLDA Papua pada tanggal 3 Desember 2008, di rumahnya dengan alasan telah melakukan perbuatan makar dan penghasutan terhadap aparat pada aksi demo tersebut. Tanggal 4 Februari 2009 persidangan pertamanya dengan agenda pembacaan dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum, Bukhtar didakwa melanggar pasal 106, 110 dan 160 KUHPidana.

Bagaimana sebenarnya proses hukum Buchtar Tabuni, apakah memang benar ia melakukan perbuatan makar sebagaimana yang didakwakan oleh jaksa penuntut umum? Ataukah yang lebih tepat Buchtar telah melakukan pelanggaran terhadap UU Nomor 9 Tahun 1998 tetapi seperti apa sebenarnya maksud dari UU Nomor 9 tahun 1998?. Mari kita kaji persoalan ini dari aspek yuridis.

Pada tanggal 13 oktober 2008, Buchtar selaku ketua panitia Komite Nasional untuk Papua Barat (KNPB) memberikan surat pemberitahuan aksi kepada POLDA Papua dengan nomor surat 01/PNPB/P.P/IX/08, dalam surat tersebut diberitahukan tentang maksud dari Unjuk Rasa (unras), waktu pelaksanaan, tempat, nama organisasi, alat peraga dan juga jumlah massa yang akan terlibat pada demo tersebut, (hal ini telah sesuai dengan ketentuan pasal 11 UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Dimuka Umum).

Hingga tanggal 16 Oktober 2008 Polda Papua belum memberikan Surat Tanda Terima Pemberitahuan (STTP) sebagaimana bunyi pasal 13 ayat 1 UU NO 9/1998 “setelah menerima surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud pasal 11 polri wajib segera memberikan surat tanda terima pemberitahuan”. Akhirnya tetap dilakukan demonstrasi dan orasi oleh beberapa orang bertempat di depan Uncen Waena dan di depan Expo Waena,pembacaan pernyataan sikap dilakukan oleh Buktar Tabuni sekitar pukul 17.00 WPB. Aparat keamanan yang saat itu jumlahnya sangat banyak dari berbagai angkatan dengan perlengkapan perang mengawal demo dari permulaan hingga selesai, dengan kata lain demo tetap dibiarkan berjalan.

Secara yuridis, apabila pihak POLDA tidak mengeluarkan STTP maka seharusnya aparat membubarkan demo tersebut sebagaimana ketentuan dalam pasal 15 “pelaksanaan penyampaian pendapat dimuka umum dapat dibubarkan apabila tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6, pasal 9 ayat 2 dan 3, pasal 10 dan 11” .

Secara yuridis pula, Buchtar Tabuni tidak dapat dikategorikan sebagai penanggungjawab aksi sebagaimana yang disebutkan dalam surat penangkapan, penahanan dan penuntutan. Segala perbuatan yang dilakukan oleh demonstran baik oleh seseorang, sekelompok orang atau massa yang menyelenggarakan aksi atau penanggungjawab tidak boleh dianggap sebagai perbuatan melawan hukum. Atau jika aparat mau menangkap maka haruslah seluruh peserta demonstrasi pada saat itu dapat ditangkap dan dipidanakan. Dengan kata lain bahwa perbuatan Buchtar Tabuni pribadi tidak bisa di kategorikan sebagai seseorang dengan klasifikasi perbuatan tertentu karena tidak adanya STTP tersebut.Apalagi kemudian Buchtar Tabuni didakwa melakukan perbuatan makar adalah keliru,.Oleh karena itu perbuatan yang dilakukan oleh Buchtar Tabuni seharusnya tidak dapat dipidana karena 2 hal yaitu pertama, tidak adanya STTP dari polda dan, kedua karena proses pembiaran yang dilakukan oleh pihak aparat keamanan.

Inilah sebenarnya yang menjadi titik krusial dan menjadi akar permasalahan sehingga munculah multi interpertasi dari aparat penegak hukum (polisi, jaksa dan hakim) untuk menjebak Buchtar Tabuni dengan perbuatan melawan hukum khususnya perbuatan pidana makar dan penghasutan.

Berkaitan dengan dakwaan makar pada pasal 106 dan 160 KUHPidana, mari kita kaji secara yuridis pasal-pasal subversi tersebut yang sebagian roh dari pasal tersebut telah dipangkas oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusan Nomor 6/PUU-V/2007

Secara historis, ide untuk memunculkan pasal-pasal makar dalam KUHP pada abad ke 19, ketika itu menteri kehakiman Belanda secara terang-terangan menyatakan penolakan terhadap usul penggunaan makar sebagai peraturan untuk masyarakat seluruhnya. Dia menyatakan, “de ondergeteekende zou deze bepalingen, welke op zichzelf te verklaren zijn door de behoefte van een koloniale samenleving, zeker niet voor het rijk in europa willen overnemen” yang artinya : peraturan dibawah ini, dengan sendirinya dinyatakan hanya berlaku bagi kebutuhan masyarakat colonial, jelas tidak diperuntukkan bagi Negara-negara eropa (Prof MR. J.M.J. schepper,het gevaar voor de vrijheid van godsdienstige belijdenis te duchten van het in artikel 156 No. 1 SW. omschreven haatzaaidelict”, T. 143, halaman 581-582).

Dalam sejarahnya, KUHP tentang pasal-pasal makar telah teradopsi oleh pemerintah Kolonial Hindia Belanda dari pasal 124a British Indian penal code tahun 1915 yang di India sendiri sudah dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Indian supreme court dan East Punjab High Court karena dinilai bertentangan dengan pasal 19 konstitusi India tentang kebebasan untuk memiliki dan menyatakan pendapat. Sementara di Belanda sendiri ketentuan demikian dipandang tidak lagi demokratis karena bertentangan dengan gagasan freedom of expression and opinion, sehingga hanya dapat diberikan toleransi untuk diberlakukan di daerah jajahan, in casu Hindia Belanda.Setelah puluhan tahun Indonesia merdeka dari Belanda maka tentulah pasal tersebut tidak tepat digunakan bagi warga Negara Indonesia termasuk di Papua karena Papua bukanlah koloni Indonesia.

Mari kita kaji secara yuridis apa itu sebenarnya makar (aanslag)?

Pengertian Makar (aanslag) adalah suatu tindakan penyerangan secara sepihak terhadap penguasa umum dengan maksud supaya sebagian wilayah negara jatuh ke tangan musuh atau memisahkan sebahagian wilayah dari negara lain. Makar diatur dalam pasal 104 hingga pasal 129 KUHPidana.Dalam Pengertian lain dari makar juga bisa diklasifikasikan sebagai : kejahatan terhadap presiden dan wakil presiden (Kejahatan terhadap negara atau dan wakil kepala negara sahabat), kejahatan terhadap pemerintahan yang sah atau badan-badan pemerintah, menjadi mata-mata musuh, perlawanan terhadap pegawai pemerintah, pemberontakan, dan perbuatan lain yang ‘merugikan’ kepentingan negara.

Makar juga kerap kali dimaknai sebagai penyerangan dan subjek penyerangan ditujukan kepada pemerintah dalam hal ini kepala negara dan wakilnya dan motif utamanya adalah membuat subjek tidak cakap memerintah, merampas kemerdekaan, menggulingkan pemerintah, mengubah system pemerintahan dengan cara yang tidak sah, merusak kedaulatan negara dengan menaklukan atau memisahkan sebagian negara untuk diserahkan kepada pemerintahan lain atau dijadikan negara yang berdiri sendiri.

Pada penjelasan pasal 106 KUHP, Pertama, yang dimaksud dengan tindakan penyerangan sepihak disini adalah tindakan secara sendiri atau kelompok (satu pihak) dengan membawa senjata untuk menyerang penguasa umum atau pemerintah dengan maksud ingin memisahkan sebahagian wilayah. Demo yang dilakukan oleh Buchtar Tabuni cs tersebut tidak terbukti adanya ancaman dan kekerasan yang disertai dengan penyerangan dengan menggunakan senjata. Unsure tindakan atau perbuatan menyerang di sini haruslah berarti disertai dengan ancaman dan kekerasan dengan menggunakan senjata, dengan demikian maka unsure penyerangan dalam pasal tersebut tidak terpenuhi.

Pada demo 16 Oktober 2009,para pengunjuk rasa melakukan orasi dan meminta kepada pemerintah agar segera mereview PEPERA 1969. Kata ‘meminta’ tersebut berarti terjadi proses yang menitikberatkan pada 2 pihak yaitu pihak yang meminta (pendemo)dan pihak yang diminta yakni pemerintah Indonesia,dan juga dalam konteks ini termasuk PBB dan negara asing lainnya, berarti unsure secara sepihak pun tidak terbukti.

Jika dianalogikan dalam kehidupan rumah tangga, bahwa ketika istri ingin meminta cerai kepada suaminya maka itu berarti ada permintaan dilanjutkan dengan tindakan bersama suami untuk melakukan perceraian, maka tidak bisa dikatakan sebagai unsure sepihak karena secara hukum sangatlah tidak mungkin jika seorang istri mengatakan dirinya berstatus janda tanpa ada proses perceraian.

Selanjutnya, pada demonstrasi tersebut Buchtar Tabuni cs menggunakan slogan dalam spanduk the west Papuan want to free yang artinya bangsa Papua barat ingin bebas/merdeka. Dalam dakwaannya JPU mengatakan bahwa kata free disini menurut pandangan masyarakat umum dapat saja diartikan sebagai ingin memisahkan diri. Secara etimologi, kata free tidak bisa ditafsirkan secara sendiri-sendiri dan juga tidak boleh dipisahkan dari kata sebelumnya sebab akan merubah makna dari sebuah kalimat itu sendiri. Maka secara yuridis dakwaan JPU sangatlah dangkal karena menerjemahkan kata free dengan tidak secara sah dan meyakinkan pada perbuatan atau delik pidana yang dilakukan melainkan atas dasar pandangan masyarakat umum.

Kemudian pasal 160 KUHP “Barangsiapa dengan lisan atau tulisan menghasut di muka umum supaya orang melakukan perbuatan pidana, melakukan kekerasan terhadap penguasa umum atau tidak menuruti baik ketentuan undang-undang maupun perintah jabatan yang diberikan berdasarkan ketentuan undang-undang”. Bahwa rumusan norma dalam pasal 160 tersebut sangat tidak terukur dan memiliki multitafsir karena sifatnya subjektif dan berpotensi terjadinya kesewenang-wenangan oleh penguasa sehingga secara substansi sangatlah bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi dan cita negara hukum (rechstaat).

Seharusnya apabila seseorang melakukan penghasutan dimuka umum dipandang sebagai tindak pidana, maka cukup orang itu dijerat dengan pasal pidana yang dilakukan,kemudian di juncto kan dengan ketentuan pasal 55 KUHP ayat 1 atau 2 KUHP yaitu menyuruh melakukan tindak pidana dan atau menganjurkan melakukan tindak pidana. Selain itu, materi muatan pasal 106 ini juga sangatlah diskriminatif karena memberikan previlege (keistimewaan) berlebihan untuk melindungi kepentingan kekuasaan pemerintah hal ini melanggar prinsip equality befor the law (persamaan di depan hukum).

Berkaitan dengan kasus Buchtar Tabuni, dakwaan menyatakan dimuka umum perasaan permusuhan kebencian atau penghinaan dapat dikatakan sebagai delik “genus” dan perbuatan yang dilarang sebagai tindak pidana (crime) dengan objeknya adalah pemerintah republik indonesia. Oleh karena itu lebih tepatnya Buchtar didakwakan dengan pasal 155 KUHP. Jika menggunakan pasal 160 KUHP maka unsur menghasut dari pasal 160 KUHP telah mereduksi sebagian besar pasal 155 KUHP, dengan kata lain pasal 155 KUHP lebih tepat digunakan oleh jika JPU untuk menyusun dakwaannya.

Landasan berpikir yang dimiliki oleh pihak penyidik saat menangkap dan menahan Buktar Tabuni juga dakwaan JPU pada persidangannya membuktikan stagnasi perkembangan pidana masih berlaku dan tidak dapat mengikuti norma atau nilai yang tumbuh dari masyarakat itu sendiri, aparat masih cenderung positifistik dengan ketentuan pidana yang berlaku. Dengan demikian maka 3 tujuan dari hukum yaitu keadilan, kepastian dan kemanfaatan hukum masih jauh dari yang diharapkan.

Keterangan : Aksi saat digelarnya sidang Buktar Tabuni di depan Pengadilan Negeri Jayapra, andawat.