LAPORAN TAHUNAN ALDP: 2010
English Bahasa Indonesia

12 September 2009

Hasil Komisi Kebenaran dan Persahabatan Indonesia dan Timor Leste : Dipertanyakan

Oleh: Andawat

Pada tanggal 2 september 2009, digelar acara Sosialisasi hasil Laporan akhir dari Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) Indonesia dan Timor Leste (TL). Dalam undangan disebutkan bahwa tujuannya untuk meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai isi laporan KKP demi terciptanya rekonsiliasi yang berksinambungan antara pemerintah Indonesia dan TL. Mengawalinya setiap peserta dibagikan buku yang berjudul Per Memoriam Ad Spem, berisi Laporan akhir dari KKP setebal 379 halaman selain itu ada juga sambutan presiden RI dan Republik Demokratik TL pada Penyampaian laproan Akhir KKP. Acara dipandu oleh pihak Direktorat HAM dan Kemanusiaan Deplu, khusus untuk menyampaikan hasil komisi dilakukan oleh salah seorang Komisioner KKP yakni Letnan Jenderal (Purn) Agus Widjojo. Pembicara lainnya berasal dari Mabes TNI dan Perwakilan KOMNAS HAM di Papua.

Agus Widjojo mempresentasekan ringkasan laporan berkaitan dengan unsur penting dari laporan KKP tersebut. Seperti cara kerja KKP yang menggunakan pendekatan yang berorientasi ke masa depan dan rekonsiliatif, menarik keuntungan dari pengalaman kita dan didorong oleh keinginan kuat untuk menutup masa silam melalui upaya bersama, tidak akan mengarah ke penuntutan dan menekankan tanggungjawab kelembagaan serta tidak merekomendasikan pembentukan badan pengadilan apapun.

Agus Widjojo juga menjelaskan tentang apa yang sebaiknya dilakukan dalam hal refromasi di sector keamanan serta posisi TNI. Menurutnya untuk itu posisi TNI dibaratkan supir yang harus mengikuti keinginan majikannya. Majikan yang dimaksud adalah mereka yang memiliki otoritas politik karena dipilih oleh kekuatan politik rakyat. Beliau juga menyinggung perlu disahkan RUU Komponen Cadangan Negara untuk menghindari kekuatan milisi. Diakhir pemaparannya, Agus Widjojo menyampaikan pendapatnya mengenai papua, diawali dengan menjelaskan bahwa proses dekolonisasi telah selesai dan ini berbeda dengan TL. Kehidupan masyarakat dan social yang dibangun semestinya didasarkan kepada prinsip-prinsip demokrasi dalam penyelesaian damai dan berdasarkan hukum atas perbedaan. Berkaitan dengan keamanan di Papua, menurutnya Papua tertinggal dengan daerah lain di papua hal ini dikarenakan kesadaran masyarakat yang masih kurang sehingga menimbulkan konflik keamanan.

Frits ramandey menyinggung langsung beberapa peristiwa politik yang terjadi termasuk pembunuhan Theys dan berharap agar ada perhatian serius dari pemerintah pusat mengenai persoalan sipol dan ekosob di Papua. Menurutnya tampilan TNI di Papua masih seolah-olah kebal hukum. Lain lagi yang disampaikan oleh Wakil dari Mabes TNI, beliau hanya menandaskan bahwa sikap TNI jelas harus patuh pada majikan, dia meminjam istilah dari Agus Widjojo, namun katanya tak dapat dipungkiri kadang TNI ‘kebablasan”. Pemaparannya terus menerus menggunakan kata kebablasan setiap kali ingin menggambarkan perilaku TNI yang tidak sesuai dalam menjalankan amanatnya. Kemudian mengajak semua pihak untuk berdiskusi dan berjanji akan menyampaikan hasil diskusi tersebut kepada pimpinannya di Jakarta.

Dari acara sosialisasi tersebut tergambarkan bahwa TNI menggunakan pihak Deplu untuk melakukan kampanye hasil KPP dan dengan pesan bahwa TNI tidak bersalah. Peserta diskusi yang hadir cukup banyak, sekitar 50 orang terutama dari kalangan mahasiswa. Selain itu nampak Dandim Jayapura dan para intelejen yang bergerak seputar ruangan untuk memotret. Banyak pihak yang nampaknya tak sabar memberikan respon, teman-teman aktifispun demikian, nampak di barisan paling depan Pdt.(Emiritus)Herman Awom dan Zadrak Taime yang lebih dulu minta kesempatan untuk bicara..”biar pace berdua di depan, sapu bersih..”begitu kata seorang teman.

Pembicara pertama, seorang dosen dari Univ. Cenderawasih, intinya mengoreksi kekejaman pemerintah Indonesia di TL, kredibilitas dari para komisioner dan hasil kerja KKP, menurutnya rakyat TL juga menolak hasil KKP, sedangkan pembicara kedua Elias seorang aktifis kampus merespon hasil KKP yang mengatakan bahwa kejahatan di Timor Leste dilakukan oleh para milisi, pertanyaannya setelah Timor Leste merdeka dan para milisi dibubarkan lantas kepada siapa pertanggungjawaban akan diminta?.Dia juga mempertanyakan keengganan pemerintah pusat untuk berdialog dengan Papua , sedangkan rakyat Aceh diajak berdialog oleh Jakarta. Menurutnya wajah Indonesia di Papua adalah wajah militer yang penuh dengan kekejaman.

Pdt.Herman Awom, mengawali pembicaraan dengan tenang. Dia mengingatkan peserta mengenai pidato SBY pada tanggal 14 agustus 2005 dan pidato SBY pada tanggal 14 Agustus 2009, meski intinya menegaskan bahwa penyelesaian Papua harus dilakukan tanpa kekerasan namun pidato SBY tak ada hasilnya sesuai dengan keinginan rakyat Papua. Pdt Herman Awom mengomentari pihak Deplu dan Mabes TNI yang sangat sibuk mensosialisasikan hasil KKP…”ngapain urus negara lain, sok banget..’katanya sambil meminjam istilah Jakarta. Menurutnya apa yang ada di dalam KKP tidak akan sama dengan keinginan rakyat Papua dalam bentuk KKR sebab pertanggungjawaban kejahatan masa silam harus dilakukan. Olehnya itu dia pesimis jika pemerintah akan bersedia membentuk KKR sebagai salah satu mekanisme penyelesaian konflik di Papua yang sesuai dengan keinginan rakyat Papua.

Dia menceritakan perjalanannya selama 2 bulan di TL setelah TL merdeka atas undangan ketua Sinode Protestan TL, saat itu Pdt. Herman Awom adalah Wakil Ketua Sinode Protestan di tanah Papua. Mereka mengunjungi kantor - kantor dan pemukiman penduduk yang habis dibakar, tak ada yang tersisa. Juga mengunjungi penjara dan bertemu dengan seorang anak remaja yang dituduh membunuh beberapa keluarga…”bagaimana mungkin dia bisa melakukan itu?”..tanya Pdt. Herman Awom…”Saya dilatih oleh tentara…”jawab anak itu polos. Ketua Sinode Protestan TL mengatakan bahwa, Papua harus hati-hati..”.. karena suatu saat Indonesia akan perlakukan Papua seperti itu..”

Pdt. Heman Awom mempertanyakan maksud Deplu bersama Mabes TNI mensosialisasikan hasil KKP disaat lembaga negara lainnya yakni LIPI tengah mengkampanyekan Papua Road Map. Hal yang sama terjadi ketika MRP sedang sibuk membahas simbol dan lambang daerah sebagai salah satu amanat OTSUS, pemerintah Jakarta malah turunkan PP.77/2007 dan disosialisasikan oleh pihak TNI melalui Koramil dan Korem dengan mengundang berbagai pihak mengikuti pertemuan di kantor-kantor Koramil dan Korem. Juga memunculkan scenario lucu dengan mengundang kelompok orang dari Nafri untuk mengakui bahwa bendera bintang kejora adalah bendera sepak bola dari Nafri. Hal ini menandakan Jakarta tak mau serius urus Papua. Contoh lain soal jaringan teroris yang berhasil diungkapkan pada saat terjadi peledakan bom di hotel Marriot dan Ritz Carlton Jakarta dalam waktu singkat lantas mengapa kasus di areal penambangan PT Freeport sejak bulan juli hingga agustus tidak terungkap?.”jangan ada dusta diantara kita..”katanya mengakhiri tangapannya.

Kemudian dilanjutkan dengan komentar dari Zadrak Taime, mengapa dilakukan sosialisasi hasil KKP?. Menurutnya hal ini dilakukan karena Indonesia kalah di TL, jika menang, tentu Indonesia tak akan mau bentuk KKP, Pemerintah Indonesia dan TNI berpura-pura. Hasil KKP sangat lemah karena hanya memberikan rekomendasi mengenai perbaikan dalam system padahal telah ada begitu banyak korban lantas bagaimana dengan perilaku para jenderal yang telah melakukan pelanggaran HAM. Selama ini TNI masih menggunakan pendekatan kekerasan dengan senjata terhadap rakyat Papua padahal senjata tak bisa menyelesaikan masalah. Kejahatan TNI dengan membunuh Theys telah mempermalukan Indonesia di mata dunia.

Keinginan orang Papua sudah jelas, orang papua dimana saja berada minta merdeka seperti halnya pada pelaksanaan Konggres II tahun 2000 yang dihadiri sekitar 5000 peserta dan ada sekitar 25 ribu orang diluar arena Konggres dan cuma membicarakan satu hal yakni minta merdeka. Tanggal 1 desember 1961, diyakini oleh orang Papua sebagai hari kemerdekaan yang dianulir oleh pemerintah Indonesia melalui Trikora. Demikian juga Pepera juga yang telah menghianati nilai universal dalam berdemokrasi. Jangan pikir bahwa persoalan di Papua adalah persoalan kesejahteraan, sebab persoalan di Papua adalah persoalan status politik dan menurut orang Papua masih harus dibicarakan.

Meski masih ada beberapa komentar lainnya namun yang disampaikan oleh Pdt Herman Awom dan Zadrak Taime memberikan respon paling keras dan diperhatikan dengan seksama oleh para pembicara. Baik Agus Widjojo maupun wakil dari Mabes TNI hanya menanggapi sesaat dan menjelaskan bahwa mereka akan membantu menyampaikan persoalan tersebut kepada pihak yang berwenang. Reaksi yang dilakukan oleh Pdt Herman Awom maupun Zadrak Taime bukanlah reaksi yang baru saat merespon pandangan Jakarta terhadap masalah di Papua akan tetapi interaksi saat itu menjadi penting juga agar lebih banyak orang Jakarta yang diajak mendengar pandangan orang Papua.

Memang beberapa waktu belakang ini, pihak Deplu cenderung intensif mengunjungi Papua, termasuk mengirim orang secara khusus untuk memantau persidangan beberapa kasus makar sambil berdiskusi dengan beberapa aktifis. Ada juga aktifis yang diundang ke Deplu untuk mendiskusikan isu-isu tertentu. Bisa saja langkah ini diambil karena respon mengenai masalah Papua makin beragam dari berbagai sumber yang memerlukan konfirmasi dan klarifikasi berdasarkan kewenangan yang dimiliki guna membuat analisis dan rekomendasi yang lebih strategis(untuk kepentingan NKRI). Kita berharap dari model pendekatan yang dilakukan oleh Deplu , Deplu mendapat banyak informasi yang akurat sambil membuka diri juga membangun relasi yang lebih sehat dengan orang Papua sehingga ruang-ruang dialogis tanpa kekerasan semakin terbuka untuk menyelesaikan konflik di Papua.

Keterangan foto : Bentuk kemarahan masyarakat Timor Leste,andawat