LAPORAN TAHUNAN ALDP: 2010
English Bahasa Indonesia

03 Februari 2008

Pemekaran Papua Positif bagi Rakyat Papua


Polemik tentang pembagian wilayah Provinsi Papua menjadi tiga wilayah dan pembentukan kabupaten-kabupaten baru dimulai sejak tahun 1983 ketika dilakukan seminar ”Pembangunan Pemerintahan Daerah” dalam rangka Dies Natalis Institut Ilmu Pemerintahan (IIP) ke-16 di Kampus NP Pasar Minggu, Jakarta Selatan, pada tanggal 3 Mei 1983.
Pada waktu itu muncul dua pendapat tentang pemekaran wilayah, yaitu pendapat dari penulis bahwa pemekaran dilakukan mulai dari kabupaten (bawah ke atas) dan pendapat anggota DPR-RI Papua (Irian Jaya) antara lain MC Da Lopez dan Izaac Hindom bahwa harus dimulai dari provinsi (atas ke bawah). Hal ini dapat dibaca di Harian Sinar Harapan tanggal 3 Mei 1983 dan berbagai harian ibu kota lainnya pada waktu itu.


Sehubungan dengan itu, Gubernur Papua (Irian Jaya) almarhum Busyiri Suryowinoto memanggil penulis beserta 3 mahasiswa IIP lainnya (Michael Menufandu, Obednego Rumkorem dan Martinus Howay) ke rumahnya Jalan Kertanegara No. 19. Di sana telah hadir 6 dari 9 anggota DPR/MPR-RI antara lain MC Da Lopez, lzaac Hindom, lzaac Saujay, Mochammad Wasaraka, dan Sudarko; untuk membicarakan tentang rencana pemekaran wilayah Provinsi Papua. Untuk itu penulis dan kawan-kawan diwajibkan memberikan masukan tertulis kepada Gubernur sebagai hasil pertemuan waktu itu, dan telah dipenuhi.
Isu dan polemik tentang pemekaran provinsi ini pun kemudian diangkat oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pusat yang disponsori oleh Jacob Utama, pemimpin umum Harian Kompas, pada waktu itu dalam satu Seminar Nasional tentang ”Percepatan Pembangunan di Irian Jaya” di Jakarta 12-14 Februari 1984. Di dalam seminar ini juga dibicarakan tentang pemekaran wilayah Provinsi Irian Jaya.
Hasil seminar tersebut direkomendasikan kepada pemerintah. Menteri Dalam Negeri Supardjo Rustam memerintahkan Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Dalam Negeri melakukan penelitian di Irian Jaya selama enam bulan tentang kemungkinan pemekaran wilayah provinsi Irian Jaya.
Hasil penelitian setelah dilaporkan kepada Presiden Soeharto untuk merekomendasikan bahwa apabila kondisi ekonomi negara memungkinkan dan proses kaderisasi aparat pemerintah asal putra daerah telah mencukupi untuk struktur minimal birokrasi pemerintahan tingkat provinsi, pemekaran wilayah dapat dilaksanakan. Pemekaran dapat dimulai dengan tiga dan kemudian menjadi enam provinsi sesuai enam karesidenan sewaktu pemerintah Belanda di Irian Jaya.
Lima belas tahun kemudian, yaitu pada tahun 1999, Gubernur provinsi Irian Jaya Freddy Numberi mengusulkan pemekaran provinsi menjadi tiga provinsi dengan melakukan pemutahiran data hasil penelitian Tim Departemen Dalam Negeri tahun 1984. Namun setelah dikeluarkan UU no. 45 tahun 1999, DPRD Provinsi Papua dengan SK No. 11/DPRD/1999 tertanggal 16 Oktober 1999 menolak pemekaran tersebut atas desakan rakyat Papua.
Karena pertimbangan situasi sosial politik pada saat itu, pemerintah pusat menunda pemekaran tersebut hingga saat yang kondusif bagi pelaksanaannya yang disampaikan melalui Surat Menteri Dalam Negeri Surjadi Sudirdja.
Ada pun tujuan utama dari pemekaran wilayah adalah untuk percepatan dan pemerataan pembangunan di wilayah Irian Jaya yang rentang kendali pemerintahannya jauh sehingga dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat yang bebas dari kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan dan kesehatan yang buruk (4K).
Kemudian di akhir tahun 2001 lahirlah UU nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. UU ini merupakan perwujudan dari Ketetapan MPR nomor IV Tahun 2000. UU itu juga merupakan hasil konsep Tim khusus yang dibentuk oleh pemerintah provinsi Papua yang juga bertujuan untuk percepatan dan pemerataan pembangunan di Irian Jaya sehingga dapat meningkatkan taraf hidup masyarakatnya.
Setelah situasi di Papua kondusif, Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2003 dikeluarkan pada 27 Februari untuk melaksanakan UU No. 45 Tahun 1999. Instruksi tersebut masih juga ditolak oleh berbagai pihak, terutama dimulai dengan mereka yang bukan orang Papua dan kurang memahami masalah di Papua dengan baik dan benar; selanjutnya ditolak juga oleh orang Papua. Selanjutnya ditolak juga oleh orang Papua yang kurang memahami dengan baik makna dari pembagian Papua dalam tiga provinsi.
Pertanyaan kemudiaan adalah apakah keuntungan dan kerugian dan pembagian wilayah provinsi Papua? Untuk memperoleh gambaran yang rasional dan komprehensif, kajian ditinjau dari aspek-aspek pemerintahan, politik, hukum, ekonomi, sosial-budaya, dan pertahanan dan keamanan.

Tinjauan Aspek Pemerintahan
Suka atau tidak suka kita harus secara jujur mengakui bahwa rentang kendali pemerintahan di Papua sangat jauh atau panjang sehingga seorang gubernur tidak mampu mengendalikan wilayah administratif pemerintahannya.
Ada 14 wilayah setingkat kabupaten yang memang sulit dikoordinasi oleh seorang gubernur apalagi ditambah dengan wilayah yang seluas 4 kali pulau Jawa. Hal ini akan lebih bertambah sulit dan berat lagi dengan diberikan tambahan 14 Kabupaten baru pada tahun 2003 ini.
Kenyataan menunjukkan bahwa konflik antara provinsi (gubernur) dan kabupaten (bupati), kotamadya dan kota administratif (wali kota) di Irian Jaya pada tahun 2002 perlu dicermati dengan baik.

Konflik itu terjadi atas pembagian dana 1,8 triliun rupiah bagian dana Otonomi Khusus yang hanya 20% sampai ke 14 wilayah kabupaten (termasuk dua kota) sedangkan 80 % berada dan dikendalikan di provinsi.
Banyak proyek di provinsi (600 proyek) yang terbengkalai atau tidak terlaksana dengan baik, tapi dananya sudali habis. Bantuan bagi para pejuang atau veteran tidak sampai pada mereka yang berhak menerimanya.
Ada juga kabar dari Jayapura bahwa rencana anggaran pendapatan dan belanja (RAPBD) Provinsi Papua yang diajukan ke DPR provinsi tidak adil dan seimbang, di mana alokasi dana pembangunan untuk Kabupaten Sorong dan Jayapura terlalu besar sekali dari ke-12 wilayah lainnya, sehingga disebut-sebut ada indikasi kolusi dan nepotisme di dalamnya.
Dampak dari kebijakan alokasi dana tersebut menyebabkan pembangunan tidak menyentuh rakyat banyak di Kabupaten, Kecamatan dan desa/kampung akan tetapi memberikan kenikmatan kepada elit birokrasi pemerintahan, kroni-kroni pengusaha dan wakil rakyatnya ditingkat provinsi. Kesemuanya ini menunjukkan bahwa kepemimpinan pemerintahan itu lemah dan administrasi pemerintahan tidak dapat berjalan dengan baik sehingga membutuhkan pembagian wilayah administratif pemerintahan di provinsi Papua menjadi tiga wilayah provinsi.

Aspek Politik
Dari segi politik, pembagian Provinsi Papua menjadi 3 wilayah provinsi memberikan kesempatan kepada tiga putra Papua yang terbaik untuk menjadi gubernur setelah melalui proses pemilihan oleh rakyatnya. Bila diamati selama ini, pada masa penggantian jabatan gubernur di Papua, dimunculkan berpuluh-puluh calon, terbanyak adalah pada periode tahun 2000 - 2005 yaitu sebanyak 150 pasangan calon untuk merebut satu kursi.
Namun sekarang ini terbuka kemungkinan untuk merebut tiga kursi. Dari segi pendidikan dan komunikasi politik, wilayah semakin kecil jadi baik pemerintah maupun partai politik sudah dengan mudah dapat sampai ke desa/kampung untuk melakukan kewajibannya, karena isolasi sudah menjadi prioritas utama untuk dibuka demi pembangunan,

Aspek Hukum
Dilihat dari tata urutan dan kebiasaan perundang-undangan, maka keputusan DPRD provinsi Irian Jaya nomor 11 tahun 1999 tersebut di atas tidak bisa membatalkan UU Nomor 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Provinsi Baru di Indonesia termasuk pembagian provinsi Irian Jaya dalam 3 wilayah provinsi, yaitu Timur, Tengah, dan Barat.
UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua juga tidak mencabut pasal-pasal yang berkaitan dengan pemekaran wilayah Papua berdasarkan UU Nomor 45 Tahun 1999.
Dengan demikian, Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2003 tanggal 27 Januari 2003 secara hukum adalah benar dan tepat untuk itu. Instruksi Presiden tersebut tidak membatalkan, dan tidak mungkin untuk membatalkan UU Otonomi khusus; tetapi sebaliknya UU Otonomi Khusus itu akan berlaku untuk 3 provinsi di Papua. Hal ini dapat dilakukan dengan merevisi UU Otsus atau membuat Penetapan Presiden Pengganti UU.

Aspek Ekonomi
Dari segi ekonomi, ketiga wilayah mempunyai potensi sumber alam yang sama, yaitu pertambangan. Kalau wilayah Tengah ada PT Freeport; di wilayah Barat ada Pertamina dan Proyek Tangguh-BP; di wilayah Timur ada juga tambang Tembaga/Emas di Okisibil (PT Inggold) dan minyak bumi (PT Connoco) di Kouh Tanah Merah.
Di wilayah Timur belum dieksploitasi karena alasan gangguan keamanan. Diperkirakan kebijakan yang bakal diambil pemerintah hingga ketiga wilayah tersebut masih sesuai dengan UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus, jadi tak ada wilayah yang dirugikan.
Jadi dana Otonomi Khusus yang diperkirakan lebih dan 6 triliun rupiah akan dibagi tiga sehingga akan lebih efektif bagi pembangunan wilayah Papua bila dibandingkan dengan sekarang ini. Tiga wilayah itu akan membuka peluang besar bagi investasi modal baik dari dalam dan luar negeri.
Dari segi strategi pembangunan tiga wilayah provinsi Papua yang dibagi secara vertikal itu bertujuan untuk menerobos isolasi wilayah yang sulit dilakukan selama ini. Sebab wilayah pedalaman tidak mungkin dibiarkan seperti sekarang ini dan terus menjadi wilayah yang marjinal.
Sebagai pembanding lihat saja Pulau Jawa dan Pulau Sumatera. Pulau Sumatera itu pembangunannya lamban bila dibanding dengan Pulau Jawa. Sumatera menjadi cepat terbangun setelah jalan trans Sumatera selesai dibangun.
Kalau di Pulau Jawa ada jalan dari Utara ke Selatan (Semarang ke Yogyakarta) dan dari Timur ke Barat (Banyuwangi ke Merak), maka di Papua akan ada jalan darat dari Jayapura ke Merauke dan Nabire ke Timika serta dari Wamena ke Sorong dan lain sebagainya. Jadi kalau jalan darat trans Papua itu selesai dibangun, maka dengan sendirinya akan memacu percepatan dan pemerataan pembangunan.

Aspek Sosial-Budaya
Dengan tiga wilayah provinsi baru, maka pembinaan dan pengembangan budaya serta adat-istiadat akan lebih efektif dilakukan sebab kemampuan untuk itu ada ditunjang dengan jangkuanan pelayanan pemerintah yang pendek serta prioritas yang jelas bila dibandingkan dengan kenyataan sekarang ini.
Pelayanan-pelayanan sosial seperti pendidikan dan agama, sarana dan prasarananya dapat diperbaiki. Bantuan kepada lembaga-lembaga sosial, swadaya masyarakat dan keagamaan dan pendidikan (swasta) akan lebih efektif, bila dibandingkan dengan sekarang ini.
Dari segi penduduk, tidak ada satu aturan pun yang mengatur tentang besarnya jumlah penduduk untuk suatu wilayah pelayanan administratif pemerintahan. Pembagian wilayah itu, terutama ditentukan oleh kemampuan pelayanan yang diberikan kepada masyarakat.
Jadi adalah pantas Papua yang luasnya 4 kali Pulau Jawa dibagi ke dalam tiga wilayah provinsi. Sekali lagi ditandaskan bahwa pembagian wilayah pelayanan administrasi pemerintahan tidak memecah belah atau membagi manusia Papua dan budaya serta adat-istiadat yang dianutnya masing-masing.
Pembagian ini semata-mata untuk mempercepat proses pencapaian kesejahteraan masyarakat Papua melalui pelayanan pemerintahan yang transparan, cepat dan tepat sasaran.

Aspek Pertahanan dan Keamanan
Dari segi pertahanan, keamanan, dan ketertiban wilayah, tidak ada alasan yang kuat untuk melakukan penambahan aparatnya melalui pembentukan Komando Wilayah Daerah Militer dan Polisi Daerah Provinsi yang baru, karena yang ada sekarang ini telah mencukupi untuk menangani persoalan yang ada selama ini.
Ketertiban dan keamanan di provinsi Papua semakin terus membaik, apalagi telah terjadi saling pengertian yang mendalam antara pemerintah Indonesia dan Papua New Guinea bahwa keamanan dan ketertiban di sepanjang perbalasan kedua negara merupakan prioritas utama bagi kepentingan hubungan kedua negara, agar masyarakatnya dapat berkunjung dengan berbagai tujuan apakah itu kunjungan-kunjungan sosial, dagang, wisata, budaya, adat-istiadat dan sebagainya dengan aman dan nyaman sebagai layaknya kehidupan bertetangga yang baik.
Kalau ada yang mengembuskan dan mengkhawatirkan bahwa pembagian atau pemekaran wilayah dalam tiga wilayah provinsi itu akan berdampak pada konflik horizontal antarmasyarakat Papua, adalah tidak demikian atau tidak mungkin terjadi kalau kita mau jujur menjelaskan kepada masyarakat nilai-nilai positif dari kebijakan pemekaran itu.
Jangan konflik horizontal dijadikan sebagai dalih untuk memperoleh keuntungan sesaat bagi segelintir orang dengan mengorbankan mayoritas rakyat Papua.

Penulis adalah Duta Besar Indonesia untuk Papua New Guinea, mantan Wakil Gubernur Papua.