LAPORAN TAHUNAN ALDP: 2010
English Bahasa Indonesia

16 April 2009

Pemilu dan Aksi Teror: Skenario Siapa dan Untuk Apa?


Oleh : Andawat

Situasi saat menjelang pemilu dan pasca pemilu di Papua, khususnya Jayapura ditandai dengan berbagai aksi teror. Setidaknya, di mulai pada rabu 8 April 2009, sekitar pukul 14.00, saat terjadi ledakan bom rakitan di Jembatan Muara Tami. Setelah itu menyusul ditemukanya 2 bom rakitan di sekitar tempat yang sama. Pukul 21.00 WIT, terjadi penganiayaan terhadap 5 warga pendatang yang berprofesi tukang ojek di Wamena. Tiga diantaranya meninggal dunia sedangkan dua masih dalam perawatan. Aksi ini kembali terjadi tanggal 12 April 2009, yang menyebabkan kematian terhadap seorang tukang ojek akibat luka bacok di sekitar wajah dan kepala korban. Di Biak, sekitar pukul 22.00 terjadi kebakaran pada Depot Pertamina, tangki nomor 11, disertai ledakan yang berlangsung sekitar 1 jam dan menelan belasan rumah dan seorang anak berusia 4 tahun meninggal dunia. Sekitar pukul 24.00 dikabarkan terjadi kontak senjata di pos polisi Wutung, PNG dengan kelompok tak dikenal.

Pada hari kamis tanggal 9 april 2009, dinihari Polsek Abepura diserang oleh sekelompok orang tak dikenal. Tim ALDP yang melakukan investigasi di polsek Abepura, menginformasikan malam itu polisi berpakaian lengkap dan preman sibuk berjaga-jaga dan memeriksa dengan ketat setiap orang yang lalu lalang di sekitar jalan raya Abepura. Pada saat melakukan pengejaran, penyerang yang melarikan diri terbagi dalam 2 kelompok dan seorang yang berada di barisan terakhir terkena peluru panas dan meninggal tepatnya di samping Toko Sumber Makmur. Jenazah hingga dimakamkan tak ada keluarganya yang datang untuk mengurus.Polisi juga menahan 4(empat)orang yang diduga sebagai pelaku penyerangan,keempatnya dalam perawatan intensif di RS Bayangkara akibat luka tembak.Pada pukul 03.00, Gedung rektorat Uncen (Lt 1) di Waena terbakar, saat warga dan mahasiswa berniat naik untuk membantu memadamkan api, mereka dilarang oleh aparat keamanan. Selain itu, terjadi juga kontak senjata dengan TPN/OPM di pos Tingginambut di Puncak Jaya sekitar pukul 24.00 wit. Menjelang malam hari di tanggal 9 April 2009, nampak aparat berjaga-jaga di sekitar Abepura, Waena dan didepan Asrama Mahasiswa, dengan mengenakan senjata lengkap. Di Skyline, sore hari satu truk garnizun naik ke arah pemukiman masyarakat pegunungan.

Tanggal 12 april 2009, di lingkaran Abepura, tak jauh dari Polsek Abepura pukul 7.30 ditemukan 3 bom rakitan oleh 3 orang petugas kebersihan kota saat membersihkan tempat sampah. Bom rakitan tersebut terdiri dari pipa paralon dengan panjang sekitar 25 cm dan diameter 11 cm, juga ditemukan sarung pisau dari kayu yang bergambar Bintang kejora. Malam sebelumnya dikabarkan ada suara ledakan di jalan Ayapo belakang Toko Sumber Makmur, tak jelas bom rakitan atau bukan? Ada informasi, bahwa ledakan berasal dari botol parfum yang terbakar.

Tanggal 13 april 2009 malam hari sekitar pukul 19.30, terjadi penganiayaan terhadap 3 warga sipil di sekitar Perumnas III Waena. Pelakunya datang tiba-tiba, melakukan penikaman dari belakang kemudian menghilang, jarak kejadian antara satu korban dengan korban yang lain tak begitu lama, sehingga polisi menduga pelakunya adalah orang yang sama. Menurut korban, bahwa pelaku mengecat tubuh dan mukanya dengan warna gelap. Kejadian tersebut diawali dengan isu pembakaran kampus Uncen (lagi), saat itu 2 unit mobil pemadam kebakaran berlari cepat dari arah Jayapura, tidak lama kemudian disusul 4 mobil pick up Polisi yang sebelumnya digunakan untuk pengamanan Pemilu. Sesampai di lokasi ternyata informasi kebakaran hanya isu.Teror terkini adalah berita mengenai terbakarnya kantor KPU Provinsi Papua pada malam tanggal 14 April 2009, dugaan sementara akibat arus pendek setelah terjadi pemadam lampu yang merata dari Abepura hingga ke kota Jayapura.

Jaringan telepon sejak malam tanggal 8 April 2009 sangat sulit untuk digunakan. Sementara berbagai pesan teror berterbaran, entah untuk menanyakan kepada keluarga, teman atau memang ada yang sengaja mengirimnya untuk menimbulkan ketakutan massal. Seperti isu bahwa pasar Youtefa dan Multi Grosir di sekitar Abepantai akan dibakar atau diledakan atau akan terjadi penyerangan ke rumah-rumah penduduk. Akibatnya hampir di setiap pemukiman warga membunyikan tanda bahaya, berjaga-jaga di malam hari sambil lalu lalang membawa pentungan, parang atau golok. Di beberapa asrama tentara, polisi dan komandan kompleks memerintahkan setiap RT untuk menghubungi warganya agar ‘jangan tidur terlalu nyenyak dan berjaga-jaga..’. Bayangkan saja kalau setiap warga mendengar komando tersebut sekitar pukul 22.00 malam hari, maka intensitas ketakutan dan kepanikan meningkat.

Mahasiswa yang berada di asrama sekitar Abe dan Waena mengungsi ke rumah keluarga masing-masing. Beberapa tempat kost di sekitar Abepura dan Waena nampak sepi, seorang warga Waena yang mengungsi ke keluarganya di asrama Brimob Kotaraja mengatakan, bahwa di markas Brimob saja warganya panic, bahkan ada yang mengatakan..’buka saja gudang senjata..’ sekitar pukul 21.00 malam pada tanggal 9 April 2009, lampu di sekitar markas Brimob dipadamkan. Demikian juga warga sekitar perumahan Cigombong, saat itu sekitar pukul 19.30 warga yang masih serius mengikuti penghitungan suara tiba-tiba dikejutkan dengan isu bahwa kompleks Cigombong akan diserang, semua berlari ketakutan, lampu-lampu dipadamkan, lampu dinyalakan kembali setelah para laki-laki dewasa berjaga-jaga di depan rumah dengan bersenjata golok dan pentungan.Tak lama kemudian satu truk Brimob datang menempati sekitar lapangan, membuat suasana tambah mencekam.

Rangkaian aksi yang saling susul menyusul tersebut, ternyata sangat mempengaruhi kondisi psikologi masyarakat. Teror menyebar dan rasa takut dikalangan penduduk di Papua, khusus di Jayapura meningkat. Akibat dari kejadian-kejadian tersebut, terutama yang dimulai pada tanggal 9 April 2009, hampir di semua TPS tidak dilakukan penghitungan suara. Kotak suara langsung diamankan di kantor distrik. Akses saksi dari berbagai parpolpun jadi sangat terbatas, sebab tidak dilakukan verifikasi data apalagi pembuatan Berita Acara. Ketegangan diantara merekapun tidak dapat dihindari, bahkan terjadi adu mulut dan perkelahian. Di Bumi Perkemahan (Buper), Waena ada dugaan pencurian kotak suara oleh ketua KPPS dan mencoba mengisi sendiri surat suara saat gelap sambil menggunakan lilin, belum lagi kasus-kasus lainnya.
Ada yang mencurigai, bahwa kekacauan ini sebagai bagian dari skenario pemenangan Pemilu oleh partai tertentu. Jika dulu terjadi mobilisasi massa bisu langsung ke TPS, maka sekarang prakteknya dengan memprovokasi kerusuhan di TPS. Caranya ada yang datang dengan menggunakan motor kemudian mobil, ada juga sekelompok orang berlarian sambil meneriakkan atau menginformasikan telah terjadi penyerangan di satu lokasi tertentu sehingga warga di TPS panic, berlarian, kemudian kotak suara diamankan di lokasi tertentu, jika tidak dibawa langsung ke PPD.

Dari hasil investigasi Tim ALDP ternyata ada juga yang disebabkan oleh ketakutan masyarakat di TPS saat melihat kedatangan mobil yang ditumpangi sekelompok orang yang sebenarnya bagian dari tim sukses Caleg tertentu untuk memantau suara caleg tersebut. Setelah mereka pulang, warga mulai menebak-nebak, jangan-jangan mobil tersebut memantau situasi TPS dan akan datang dengan massa yang lebih banyak, lantas semua orang terprovokasi ketakutan sehingga berlarian meninggalkan TPS, seperti yang terjadi di sekitar Cigombong Kotaraja dan Entrop.

Pemilu kali ini menjadi Pemilu yang terburuk selama pesta demokrasi tersebut dilaksanakan di Indonesia, termasuk di Papua. Terkait dengan penyelenggaraan Pemilu, setidaknya ada 2 Institusi yang semestinya diminta pertanggungjawabannya. Pertama Komisi Pemilihan Umum (KPU) di semua tingkatan. Menjelang pemilu sudah terlihat, bahwa peraturan atau kebijakan yang dikeluarkan KPU makin tidak jelas dan sama sekali tidak mempertimbangkan faktor resiko dan kemungkinan-kemungkinan perubahan di tingkat pelaksanaan termasuk solusi-solusi saat menghadapi mekanisme-mekanisme yang deadlock. Misalnya soal penghitungan surat suara yang diperbolehkan dilakukan di PPD dengan alasan keterbatasan waktu di TPS. Anehnya mengapa juga KPU membatasi waktu pemungutan suara padahal melalui berbagai simulasi sebelumnya dipastikan waktu pemungutan suara tidak cukup dari jam 07.00-12.00 atau bahkan sampai pukul 24.00 sebab sangat banyak Parpol, caleg dan saksi yang memerlukan alokasi waktu. Sikap KPU menyebabkan proses kontrol Parpol di tingkat TPS menjadi lemah. Apalagi untuk caleg DPR RI yang surat suaranya langsung dari KPU kabupaten ke KPU pusat.

Juga, soal tuntutan warga yang memenuhi syarat sebagai pemilih akan tetapi tidak terdaftar dalam DPT. Di Jogja, mahasiswa dan warga Papua yang menuntut dapat menggunakan hak pilih, tetap tidak diberikan tanpa mempertimbangkan alasan mengapa nama mereka tidak tercantum dalam DPT. Di TPS 1 Perumnas I Waena (lokasi di SMA Yapis), seorang petugas KPPS mengatakan ..”nanti saja ikut pada saat Pilpres…”kepada seorang ibu yang melaporkan namanya tidak termasuk dalam DPT. Sang ibu balik menjawab..”..kalau pemilihan presiden Papua, saya mau, kalau presiden Indonesia, kamu pilih sendiri saja…”. Fakta lain di kabupaten Boven Digul dibuatkan 2 TPS khusus di distrik Mandobo Tanah Merah, Bupati, wakil bupati dan sebagian kepala SKPD ikut memilih meski jam 12 siang sudah harus ditutup akan tetapi tetap dilakukan pencontrengan. Semula sebanyak 600 surat suara, kemudian masih kurang dan ditambah lagi sebanyak 250 sehingga total berjumlah 850 surat suara, saat penghitungan, partai Demokrat menang mutlak di TPS –TPS tersebut.

Kedua, Institusi keamanan, secara khusus pihak kepolisian. Kepanikan disertai kekacauan yang terjadi di TPS karena di TPS dijaga oleh pihak keamanan. Sebelum Pemilu pihak keamanan berkali-kali melakukan simulasi penanganan kerusuhan Pemilu dengan cara yang sangat luar biasa, namun pada peristiwa yang sebenarnya malah polisi yang bubar duluan. Seharusnya aparat kepolisian yang berada di TPS melakukan komunikasi untuk saling mengecek dan memberikan informasi mengenai isu yang berkembang. Sehingga mengurangi kepanikan warga di TPS. Anehnya untuk peristiwa yang benar-benar terjadi polisi lambat bergerak akan tetapi disisi lain, begitu ada isu yang berkembang polisi sudah berada di tempat kejadian. Siapa sebenarnya yang memainkan isu ini? Apakah polisi juga menjadi ‘korban’ kejadian-kejadian tersebut?.

Polisi berhasil menjinakkan bom, berhasil mengetahui sumber terbakarnya Uncen, berhasil menemukan 2 pucuk pistol pada saat penggeledahan di kantor DAP, akan tetapi tidak bisa mengideintifikasikan secara jelas siapa pelaku, motifnya apalagi aktor intelektualnya. Di sisi lain, teror yang terjadi belakangan ini baik di Wamena dan Jayapura seolah-olah dialamatkan ke kelompok tertentu, sasarannya orang pegunungan. Hal ini ditandai dengan menjaga titik asrama mahasiswa asal pengunungan, bahkan juga menyisir dan menangkap mahasiswa di asrama Ninmin pasca penyerangan polsek Abepura. Penjagaan extra ketat di sekitar pemukiman orang-orang pegunungan seperti di Expo dan Skyline. Di Wamena, masyarakat pendatang mengungsi ke Kodim dan Polres.

Peristiwa ini menyebabkan rakyat sipil telah menjadi korban teror, kasus penikaman menunjukkan teror bisa dialamatkan kepada siapa saja. Berita di koran dan radio lokal menyebabkan ketakutan makin menjadi dan aktifitas masyarakat pun terganggu. Sayangnya baru hari ini masyarakat dapat mendengar pendapat dari otoritas sipil di tingkat provinsi…”saya prihatin dan kecewa dengan peristiwa ini…”kata Gubernur, Barnabas Suebu, SH di Cepos tanggal 15 April 2009.”..saya berangkat dulu bertemu presiden untuk melaporkan kondisi terakhir di Papua..”katanya. Melaporkan ke presiden ternyata jauh lebih penting ketimbang mengambil langkah –langkh konkrit, misalnya dengan melakukan pertemuan dengan berbagai komponen keamanan khususnya pihak Polda. Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) Drs. Agus Alue Alua, M.Th mengatakan, bahwa upaya aparat dalam mengungkap pelaku teror perorangan maupun kelompok sebaiknya dilakukan secara persuasive. Jika dilakukan dengan cara militer bisa saja masyarakat yang tidak bersalah akan menjadi korban. Jangan cepat disimpulkan bahwa pelaku teror adalah seorang dari kelompok Organisasi Papua Merdeka (OPM), karena untuk menyatakan hal itu perlu bukti yang kuat, (cepos 15 april 2009).

Apa sebenarnya yang terjadi, apa dan siapa yang menjadi target di Pemilu 2009 ini? Apa hubungannya dengan penyerangan DAP, penangkapan tanpa prosedur terhadap Markus Haluk, stigmatisasi terhadap orang gunung dan juga separatis atau OPM terhadap pelaku-pelaku berbagai peristiwa tanpa investigasi dan data yang akurat?. Ataukah ada juga kelompok lain yang turut memainkan skenarionya?. Bukankah isu boikot pemilu – yang dikampanyekan oleh KNPB – menarik juga untuk dijadikan pintu masuk bagi skenario-skenario lainnya di luar KNPB?. Berbagai kejadian seolah saling menunggu dan memainkan skenario yang mungkin saja dilakukan lebih dari satu kelompok untuk lebih dari satu kepentingan. Sejauh inipun pihak kepolisian belum mampu mengungkapkan para pelaku dan memberikan jaminan keamanan terhadap warga sipil. Teror masih terus berlanjut...

Keterangan foto: Keindahan dan Kedamaian di Tarfia, Kab. Jayapura, Andawat