Oleh: Andawat
Demta, adalah sebuah distrik yang terletak di bagian utara kabupaten Jayapura. Posisinya yang langsung berhadapan dengan lautan pasifik, sangat memungkinkan daerah ini memiliki sumber daya laut yang tidak akan pernah habis. Puluhan bahkan ribuan biota laut yang hidup di laut lepas ini, selain kekayaan alam di darat tentunya, telah menjamin kelangsungan hidup masyarakat yang mendiami daerah ini sejak ratusan tahun lalu.
Seperti masyarakat Papua pada umumnya, kehidupan sosial masyarakat Demta juga sangat tergantung dengan ‘kemurahan’ alam, dengan kearifan adat sebagai penjaga nilai-nilai kelangsungan hidup mereka. Dengan norma adat yang mereka miliki, alam tidak saja memiliki nilai ekonomis, tapi juga mempunyai nilai sosial yang begitu tinggi.
Salah satu kebiasaan yang bernilai sosial ekonomi tinggi adalah kebiasaan Bobatu. Pada waktu-waktu tertentu, para tetua adat telah menetapkan sebuah wilayah (khususnya laut) yang di dalamnya tidak boleh ada kegiatan penangkapan ikan dengan alasan apapun. Proses ini berlangsung sampai pada waktu yang telah ditentukan oleh para tetua adat. Bagi yang melanggar, diberikan hukuman sesuai dengan kebiasaan yang mereka anut. Ini dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada ikan-ikan dan juga makhluk lain yang ada di dalam laut untuk berkembang biak dan semakin bertambah banyak.
Ketika waktu yang ditentukan telah tiba, dimulai dengan ritual adat dari pada kepala-kepala suku, seluruh masyarakat adat diberikan kesempatan yang sama untuk mengambil hasil laut yang sekian lama ‘dibiarkan’. Di sinilah letak nilai sosial dari Bobatu. Tidak ada satu orang pun yang diistimewakan dalam proses ini. Semua memiliki hak dan kewajiban serta kepatuhan yang sama hingga ikatan sosial yang terjalin di antara mereka begitu tinggi.
Sayangnya, akibat perkembangan zaman yang tidak mampu dibendung, kebiasaan ini lambat laun menjadi ritual yang makin hilang. Selain itu, banyaknya nelayan yang berasal dari luar komunitas mereka dengan peralatan yang jauh lebih canggih dari yang mereka miliki telah memaksa mereka untuk ‘berlomba-lomba’ mendapatkan penghasilan yang lebih besar. Tidak ada lagi istilah Bobatu dan tidak ada lagi kesempatan yang diberikan kepada ikan-ikan untuk berkembang. Semua larut dalam kompetisi ekonomi dan berorientasi pada individu-individu. Akibatnya, semua orang kini harus mencari ikan di ’luar’. Ini istilah orang Demta untuk menyebut wilayah laut yang jauh dari kampung mereka. Pun pada situasi demikian, mereka juga malah kalah bersaing dengan nelayan-nelayan pendatang yang umumnya memiliki sarana yang jauh lebih memadai untuk mengarungi lautan. Di sisi yang lain, rekatan sosial di antara masyarakat dalam kampung sendiri kian lama menjadi merenggang.
Pada saat yang bersamaan, di kalangan masyarakat sendiri kini muncul perasaan apatis terhadap nilai-nilai yang diyakini pendahulu mereka sebagai hal yang bernilai tinggi. Bagi mereka, uang kini begitu mudah didapat, tidak saja lewat hasil laut. Salah satunya adalah pemberlakuan status Otonomi Khusus di Papua yang telah memungkinkan masyarakat mengakses sumberdaya ekonomi tanpa harus ‘bersusahpayah’. Saat ini, di setiap kampung yang ada di distrik Demta, tidak kurang dari tiga ratusan juta setiap tahun dana segar mengalir.
Padahal, disadari bahwa aliran dana segar dari Otsus ini hanya berlangsung tidak lebih dari 20 tahun sejak diundangkannya (2001). Artinya, sekarang telah berjalan sekitar 7 tahun, dan tersisa sekitar 13 tahun lagi. Semestinya, kenyataan akan hutan mereka yang habis dibabat para cukong kayu telah cukup menjadi pembelajaran penting bagi mereka. Pertanyaannya, setelah itu, masyarakat mau apa? Hutan telah habis, tanah telah tergadai, sedangkan laut telah ’dikuasai’ orang lain. Siapa yang bisa memprediksi kehidupan sosial mereka jika telah tiba di satu titik dan kondisi yang memunculkan pertanyaan ini? Sehingga, dari kondisi ini, suka atau tidak suka, kita harus berani menyebut bahwa pemberlakuan Otonomi Khusus ini tidak lebih dari lagu ’nina bobo untuk pengantar tidur’ bagi orang Papua.
Jika ini terus dibiarkan, maka nilai-nilai dari Bobatu ini, dan juga kearifan-kearifan adat lainnya, tidak menutup kemungkinan akan tinggal menjadi sebuah legenda dan pengantar tidur anak-anak orang Demta. Masyarakat adat harus disadarkan akan potensinya. Mereka harus dipahamkan akan situasi yang tengah, dan akan mereka hadapi nantinya. Bobatu harus dihidupkan kembali. Tentu dengan tidak mengadopsi seluruh kebiasaan lama itu. Beberapa proses di dalamnya sudah pasti harus mengalami penyesuaian dengan situasi kekinian. Di samping untuk membelajarkan masyarakat untuk patuh dan kembali pada aturan-aturan adat, sejumlah penyesuaian ini juga dimaksudkan untuk menghindari konflik kepentingan dengan berbagai kelompok yang juga menggantungkan hidup dari hasil laut. Namun satu yang pasti adalah, nilai-nilai yang terkandung di dalamnya tidak boleh dibiarkan kembali tergerus oleh perubahan.
Ini bukan pekerjaan yang mudah tapi juga bukan hal yang harus ditakutkan akan ketidakberhasilannya. Tugas pertama harus dimulai dengan melakukan kampanye dan penyadaran dengan berbagai pilihan tema di tingkat masyarakat. Kemudian dilanjutkan dengan membangun jaringan dan mengembangkan aliansi-aliansi strategis dengan berbagai komponen. Pekerjaan selanjutnya adalah membangkitkan kembali ‘kekuatan-kekuatan’ para tetua adat yang telah lama terpendam. Pekerjaan ini bersamaan dilakukan dengan merajut kembali setiap serat sosial yang telah tercabut di dalam kehidupan masyarakat Demta.
Keterangan Foto:
Anak-anak di Demta yang sedang memancing ikan (Hardin).