Dari kisah almarhum John Mambor hingga cerita Linus Hiluka.
(Bagian 1 dari 4 Bagian)
Oleh: Latifah Anum Siregar
(Bagian 1 dari 4 Bagian)
Oleh: Latifah Anum Siregar
Pemindahan Secara Paksa
Sebelum (almarhum) Jhon Mambor meninggal dunia, beliau pernah bercerita soal pengalaman pemindahan para napi. ”Kami dibangunkan tengah malam dengan moncong senjata, tangan diborgol, sambil didorong dan dipukuli dengan paksa naik ke atas truk ...”. Proses pemindahan Pdt. Obeth Komba, atau kisah Linus Hiluka, cs, dan juga Pdt. Isack Ondowame tak banyak beda dengan kisah Jhon Mambor dkk.
Hari itu tanggal 15 Desember 2004, sekitar pukul 17.00 WIT, sambil dipukuli hingga memar dan berdarah, Linus Hiluka dkk dipaksa naik ke mobil Dalmas Polres Jayawijaya dan diangkut ke Bandara Wamena. Mereka diberangkatkan dengan pesawat Hercules No A 1319 menuju Biak. Sekitar pukul 18.55 WIT, pesawat Hercules No A 1319 mendarat di lapangan terbang Frans Kaisepo Biak dan narapidana dipindahkan ke LP Samofa Biak untuk selanjutnya akan diberangkatkan pada pukul 05.00 WIT dini hari tanggal 16 Desember 2004, transit di Ambon dan tiba di Makasar pada 17 Desember 2004.
Linus dkk, dipindahkan secara paksa setelah menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Wamena dengan tuduhan melanggar pasal 110 KUHP (permufakatan jahat yang mengancam pemerintahan yang sah, atau biasanya disebut “makar” atau anslaag. Jaksa Penuntut Umum dan Hakim, menjatuhkan vonis bagi mereka dengan rincian sebagai berikut:
Narapidana kasus pembobolan Gudang senjata KODIM 1702/JWY Wamena 2003:
1. Linus Hiluka (hukuman 20 tahun)
2. Numbungga Tellenggen (hukuman seumur hidup)
3. Yafray Murib (hukumanseumur hidup)
4. Mikael Haselo ( hukuman 20 tahun)
5. Kimanus Wenda (hukuman 20 tahun)
6. Enos Lokobal (hukuman 20 tahun)
Narapidana kasus pengibaran bendera Bintang Kejora di gedung DPRD Jayawijaya tahun 2003:
1. Heri Asso (hukuman 4 tahun)
2. Jen Hasegem (hukuman 8 tahun)
3. Gustaf Ayomi (hukuman 10 tahun)
Sejak itu berbagai pihak berusaha mencegah pemindahan paksa – walau tak berhasil – hingga memperjuangkan proses pemulangan para narapidana kembali ke LP di wilayah hukum Kanwil Hukum dan HAM Provinsi Papua.
Tak Ada Alasan Kuat
Tidak ada urgensi yudiris dan politis untuk dijadikan alasan kuat pemindahan mereka. Pertama, alasan keamanan seperti yang tertuang dalam Surat Direktur Jenderal Pemasyarakatan Departemen Hukum dan HAM RI Nomor: E. PK. 01. 10-09 tertanggal 28 Februari 2005 (point 2 huruf a) yang ditujukan kepada Ketua KOMNAS HAM RI di Jakarta adalah tidak jelas dan sangat subyektif. Oleh karena situasi dan kondisi keamanan di Kota Wamena, Kabupaten Jayawijaya, sangat kondusif. Para narapidana tidak melakukan aktivitas politik dan tidak membuat keributan di dalam LP Wamena yang dapat membahayakan situasi di Wamena.
Kedua, bila menggunakan alasan bahwa LP Wamena sudah tidak layak huni. Jika ini benar, maka setidaknya pemindahannya dapat dilakukan di LP lain di wilayah yuridiksi Kanwil Hukum dan HAM Provinsi Papua. Ironisnya, saat itu Kakanwil Hukum dan HAM Papua, Ngusman, SH, sempat mengelak dengan mengatakan tidak tahu menahu, karena pemindahan tersebut merupakan instruksi langsung dari Jakarta. Ini jelas-jelas menunjukkan citra buruk institusi hukum, khususnya Lembaga Pemasyarakatan Wamena, dan juga Kanwil Hukum dan HAM Propinsi Papua yang sangat mudah terkooptasi oleh kekuasaan (politik), bukan sebagai lembaga yang taat hukum dan HAM.
Ketiga, secara psikologis, pemindahan paksa tersebut sama sekali tidak membantu pemulihan kondisi psikologis dan sosial kemasyarakatan narapidana terhadap kehidupan pribadi sehari-hari, dipisahkan dan (pasti) berjarak dengan lingkungan sosial dan budayanya, dan pasti, akses keluarga untuk bertemu jadi sangat terbatas.
Keempat, peristiwa tersebut mengulangi dan mempertegas sejarah penguasa yang senantiasa mengabaikan hukum dan penghormatan terhadap HAM, mengingat tahun sebelumnya pada Desember 2003, terjadi juga pemindahan paksa atas narapidana Pdt. Obeth Komba dkk, juga kemudian terjadi pada Pdt. Isack Ondowame dkk pada kasus mil 62-63 Tembagapura, Timika 2005. Jika di jaman dulu ada ‘tradisi’ memindahkan napi dari ‘Batavia ke Boven Digul’, kini dari ‘Papua ke Batavia, juga Makasar’ dan mungkin tempat – tempat lainnya di Indonesia dengan berbagai alasan kepentingan.
Kelima, ternyata pemerintahan di bawah presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) tidak sungguh-sungguh memperhatikan penegakan HAM, karena pada saat yang sama terjadi diskriminasi terhadap para tersangka, tahanan bahkan narapidana kasus koruptor, penipuan serta kejahatan kemanusiaan lainnya, karena mereka bisa dengan bebas berkeliaran. Perilaku menganiaya dan mengabaikan HAM masih terus terjadi dengan menggunakan pola-pola semasa Orde Baru.
(Foto: Butar Tabuni)