Jakarta-Pemerintah secara resmi melarang bendera bulan sabit di Aceh, benang raja di Maluku dan bendera bintang kejora di Papua. Larangan pemerintah ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 77 tahun 2008 tentang Lambang Daerah. Selain bendera, pemerintah juga melarang syair himne dan desain logo yang sama atau mirip dengan yang digunakan organisasi terlarang, perkumpulan, lembaga atau gerakan separatis.
“PP No 77 tahun 2007 itu, pada prinsipnya tidak melarang identitas lokal. Tapi, jangan sampai menggunakan bendera, himne dan desain logo yang justru kontraproduktif dengan komitmen Negara Kesatuan Republik Indonesia,” jelas Juru Bicara Departemen Dalam Negeri (Depdagri), Saut Situmorang ketika dikonfirmasi SH di Jakarta, Rabu (26/12).
Berdasarkan PP No 77 tahun 2007 tertanggal 10 Desember 2007, yang diperoleh SH, Rabu (26/12), dalam pasal 6 ayat (4) dinyatakan, desain logo dan bendera daerah tidak boleh sama atau mirip pada pokoknya atau keseluruhan dengan desain logo dan bendera organisasi terlarang, perkumpulan, lembaga, dan gerakan separatis dalam NKRI.
Kemudian, dalam bagian penjelasan pasal 6 ayat (4) itu dijelaskan, yang dimaksud dengan desain logo dan bendera yang dilarang seperti bendera bulan sabit yang digunakan gerakan separatis di Aceh, logo burung mambruk dan bendera bintang kejora yang digunakan gerakan separatis di Papua, dan bendera benang raja yang digunakan gerakan separatis di Maluku.
Larangan Puisi dan Himne
Selain logo dan bendera, pemerintah juga melarang penggunaan puisi atau syair himne yang memiliki persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan puisi atau syair himne organisasi terlarang, perkumpulan, lembaga, gerakan separatis.
Dalam PP No 77/2007 itu, juga tidak diperkenankan untuk menggunakan logo daerah pada pertemuan resmi kepala daerah dengan mitra kerja/badan/lembaga dari luar negeri. Logo daerah juga tidak boleh digunakan dalam dokumen perjanjian yang akan ditandatangani kepala daerah dengan mitra kerja/badan/lembaga dari luar negeri.
Begitu juga dengan himne daerah dapat diperdengarkan setelah diperdengarkan lagu kebangsaan Indonesia Raya pada upacara hari besar kenegaraan di daerah dan upacara hari ulang tahun daerah. Namun, himne daerah itu dilarang diperdengarkan pada pertemuan resmi kepala daerah dengan mitra kerja/badan/lembaga dari luar negeri.
Menurut Saut, spirit dari larangan itu untuk menjaga kebhinekaan tanpa mempengaruhi Negara Kesatuan yang merupakan komitmen bersama. “Jadi, identitas lokal, seperti bendera, logo daerah dapat digunakan, tapi tidak boleh kontraproduktif. Itu spiritnya,” ujar Saut.
(daniel tagukawi)
________________
Sumber: Sinar Harapan