Sebuah Upaya Alternatif Dispute Resolution (ADR) di Papua.
Oleh: Andawat.
Papua, dikenal sebagai salah satu wilayah kesatuan adat yang memiliki keanekaragaman adat istiadat, yang sangat unik, akomodatif dengan berbagai perbedaan dan ekspresif. Masyarakat adat Papua juga dikenal sebagai komunitas yang kuat memegang tradisi adatnya yang terdiri dari berbagai kesatuan nilai, symbol dan mekanisme yang berfungsi untuk menjaga hubungan kekerabatan suku secara internal dan juga berbagai interaksi dengan eksistensi lain di luar komunitasnya.Interaksi antara ruang dan subyek hukum dalam komunitas adat Papua diatur dalam Hukum Adat.
Hukum Adat berisi pedoman atau peraturan yang intinya bermaksud melindungi dan mengatur hak dan kewajiban dalam masyarakat adat, bertujuan untuk menjaga dan atau mewujudkan kembali ‘keseimbangan’ komunal, mengatur kosmopolitan yang ada dan menjaga agar kehidupan kemanusiaan bisa berjalan dengan baik dan lancar.
Kepatuhan masyarakat adat terhadap Hukum adat sebagai pedoman hidup merupakan nilai efektifitas hukum yang sangat tinggi, sebab hukum adat lahir berdasarkan tata cara yang memang tumbuh dan berkembang, disepakati dan dijadikan acuan dalam menjalani kehidupan bersama dalam masyarakat adatnya. Dengan kata lain, nilai-nilai tersebut muncul karena benar-benar merupakan ‘kesepakatan yang dilakukan oleh masyarakat adat’ dan tidak berpedoman pada nilai-nilai dari luar komunitas adat.
Hukum adat juga menjadi bagian dari instrument solusi dalam menyelesaikan berbagai masalah, secara khusus yang terjadi di Papua, termasuk dalam bentuk rekonsiliasi di luar proses peradilan positif dalam hukum Indonesia. Selain itu, sangat dimungkinkan untuk digunakan secara lebih meluas, tidak saja di antara masyarakat adapt, tetapi juga terhadap orang Papua dengan orang non-Papua. Sehingga hukum adat tersebut dijadikan alat atau acuan untuk membangun perdamaian di luar hukum positif.
Mengingat bahwa banyak sekali kasus yang menjadi bukti bahwa model penyelesaian (pendekatan) yang dipakai oleh Pemerintah selama ini tidak cukup efektif guna menjamin hukum yang adil dan benar dalam menyelesaikan berbagai permasalahan. Sejalan dengan itu muncul pula berbagai produk hukum positif yang membuka ruang kehadiran hukum adat, seperti pada pasal 45 UU No. 21 tahun 2001, tentang Status Otonomi Khusus untuk Provinsi Papua, mengenai Peradilan Adat – meskipun hingga kini masih muncul perdebatan tentang ‘bentuk dan subyek’ hukum Peradilan Adat – namun fenomena tersebut dapat dijadikan salah satu sumber inspirasi menguatnya peran Hukum Adat sebagai Alternative Dispute Resolution (ADR).
Ironisnya, hukum adat tersebut bersifat tidak tertulis sehingga pola transformasinya hanya berlangsung melalui budaya bertutur secara turun temurun. Akibatnya, lambat laun mulai sulit untuk dijumpai apalagi dipraktekkan, dan apabila dipraktekkan, terkadang dijumpai keterbatasan karena pemahaman dan intepretasi yang terkadang mengalami keterbatasan juga.
Oleh karena itu sejak Agustus 2006, Aliansi Demokrasi untuk Papua (ALDP) bekerjasama dengan Dewan Adat Suku (DAS) Jouw Warry, Demta, mencoba melakukan inventarisasi dan dilanjutkan dengan upaya membukukan dan mengklarifikasi serta adjustment sejumlah aturan yang berkaitan dengan hukum adat suku Jouw Warry. Langkah ini sebagai upaya kodifikasi hukum adat guna dijadikan bahan panduan hukum adat suku Jouw Warry dalam mengatur berbagai tata kehidupan social kemasyarakatan dan penyelenggaraan pemerintahan pada masyarakat adat suku Jouw Warry di Demta.
Keterangan Foto:
Para tetua adat dari kampung Ambora dan Yaugapsa sedang berdiskusi (Andawat).