LAPORAN TAHUNAN ALDP: 2010
English Bahasa Indonesia

19 Februari 2008

Mereka, Sisi Lain Kemanusiaan Kita:

Ide Lahirnya 'Komunitas Berbagi Cerita'
Oleh: andawat

HIV/AIDS di Papua telah menjadi sebuah ‘wabah’ yang mengiris perasaan kita. Setiap tahun, angka pengidap virus mematikan tersebut terus bertambah di Papua, angka yang seakan terus berlomba dengan makin gencarnya kampanye untuk menghentikan penyebaran HIV/AIDS. Data terakhir di Papua, menyebutkan hingga Juni 2007, pengidap HIV/AIDS adalah sebesar 3.377 orang.

Sayangnya, besarnya kampanye penanggulangan HIV/AIDS di Papua yang telah menghabiskan dana milyaran rupiah tersebut terkesan ‘panik’, terburu-buru dan tidak mempertimbangan efek yang akan ditimbulkannya terhadap para pengidap HIV/AIDS sendiri, bahkan beberapa slogan dalam kampanye dan atau publikasi yang dibuat untuk maksud tersebut tanpa disadari telah menciptakan sebuah situasi yang sangat memojokan para penderita.

Besarnya energi yang telah keluarkan untuk menghentikan penyebaran HIV/AIDS, rupanya telah menciptakan sebuah ruang sosial yang kosong dan berjarak dengan penderita HIV AIDS. Besarnya kampanye untuk menghentikan HIV/AIDS telah melupakan kita semua pada satu komunitas yang telah terhakimi dan tidak lagi mendapatkan hak-haknya sebagai manusia. Eksistensi mereka sebagai manusia terkesan terus direduksi, baik secara langsung, maupun tidak langsung.

Seorang pengidap HIV/AIDS, yang kemudian mengabdikan hidupnya dengan menjadi aktivis HIV/AIDS, pernah menuturkan begini: “.... bahkan ketika ada rekan saya yang meninggal, seorang hamba Tuhan tidak mau melayaninya hanya karena dia telah terkena HIV/AIDS....”, atau “.... ketika kami ke rumah sakit, perawat tidak lagi memperlakukan kami sebagaimana seorang pasien,...”. Intinya, seorang pengidap HIV/AIDS telah terlanjur diberikan vonis sosial oleh lingkungannya sendiri sebagai ‘sampah’, ‘terkutuk’, ‘penyakit’, bahkan ‘haram’ untuk diperlakukan secara manusiawi dan lain sebagainya.

Tidak hanya itu, akibat lain yang timbul atas kampanye yang ‘panik’ tersebut adalah munculnya sebuah sikap atau perilaku ketakutan yang (kadang) berlebihan, yang ditunjukan lingkungan sosial terhadap penderita HIV/AIDS. Entah berkorelasi sejajar dengan kampanye tersebut atau tidak, yang pasti, kini muncul pula sebuah ‘aturan’ baru yang diberlakukan kepada para pengidap HIV/AIDS. Misalnya saja, seorang pengidap HIV/AIDS tidak akan diterima jika ingin mencari pekerjaan pada sebuah instansi atau lembaga, baik di pemerintahan maupun di swasta. Lantas dengan cara apa mereka akan melanjutkan hidup? Sementara sebagian cara yang mereka pilih toh tetap ditentang atas nama agama dan moralitas.

Yang paling menyedihkan adalah sempat muncul ide dari seorang anggota Dewan yang terhormat tentang pemasangan semacam microchip kepada para pengidap HIV/AIDS untuk memantau segala gerak-gerik dan aktivitasnya. Ide ini terlalu menyederhanakan persoalan HIV/AIDS ke dalam persoalan kesehatan semata. Gagasan legalitas hukum terhadap pencegahan penularan HIV/AIDS sama sekali tidak memberikan jaminan hukum bagi hak asasi penderita HIV/AIDS. Padahal persoalan HIV/AIDS bukan persoalan kesehatan semata, tetapi juga terkait dengan persoalan keadilan, ekonomi, sosial, budaya bahkan politik yang bisa saja meminta pertanggungjawaban kita semuanya.

Dalam situasi yang demikian, apa yang bisa dilakukan oleh seorang pengidap HIV/AIDS? Beberapa pernyataan di bawah ini baik untuk direnungkan. Pertama, siapa sih yang mau terkena HIV/AIDS? Secara psikologis, pasti ini sangat memberikan guncangan jiwa yang berat ketika setiap kita sadar telah positif mengidap HIV/AIDS. Kedua, mereka juga manusia, yang sudah pasti masih mempunyai hak-hak ekonomi, kesehatan, pendidikan, hukum, sosial, hak untuk berpolitik, sama besarnya dengan orang yang ‘sehat’. Artinya, mereka juga butuh makan dan juga butuh bersosialisasi dengan lingkungannya. Ketiga, kondisi psikologis akibat guncangan jiwa ketika sadar telah positif HIV/AIDS di atas pasti akan makin membesar dan menguat setelah menjumpai sikap negatif dari lingkungan sosial terhadap mereka.

Dari keprihatinan inilah, Komunitas Berbagi Cerita yang digagas Aliansi Demokrasi untuk Papua (ALDP) bersama Stop AIDS Now! menemukan relevansinya untuk hadir. Komunitas ini meng-ada tanpa bermaksud menjadi ‘dewa penyelamat’ bagi kelompok pengidap HIV/AIDS. Ini hanyalah sebuah strategi dari teori konseling kelompok yang dimaksudkan untuk memberikan penguatan secara psikologis kepada saudara-saudara kita pengidap HIV/AIDS. Komunitas Berbagi Cerita ini terdiri dari organisasi kemahasiswaan, antara lain, HMI Cabang Jayapura, GMKI Cabang Jayapura, PMKRI Cabang Jayapura, Asrama Mahasiswa Acemo, Wisma Lidia, dan Majelis Muslim Papua.

Keinginan terbesar yang diperjuangkan komunitas ini adalah munculnya sebuah perubahan mendasar perilaku dari lingkungan sosial terhadap para pengidap HIV/AIDS yang pada gilirannya dapat mengubah perilaku dalam melakukan pencegahan HIV/AIDS. Masyarakat tidak lagi melihat pengidap HIV/AIDS sebagai momok yang harus dihindari bahkan dikucilkan. Perjuangan Komunitas Berbagi Cerita bisa dikatakan berhasil andaikan semua kalangan memandang HIV/AIDS dan pengidapnya sebagai manusia yang sejati, utuh dengan segala hak yang melekat pada dirinya. Sekali lagi, sebagai MANUSIA. Semoga .....



Foto: Andawat
('Komunitas Berbagi Cerita' pada sebuah kesempatan).