LAPORAN TAHUNAN ALDP: 2010
English Bahasa Indonesia

18 Februari 2008

Predikat Daerah Terparah dan Gurita Korupsi di Papua


‘Prestasi’ yang Berbanding Lurus.

Oleh: Andawat

2008, Papua diawali dengan keterkejutan dengan laporan yang dirilis Kementrian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT). 5 kabupaten di Papua: Yahukimo, Paniai, Puncak Jaya, Asmat dan Pegunungan Bintang adalah daerah sangat Parah versi lembaga resmi negara tersebut. Bahkan Wakil Gubernur Papua, Alex Hesegem, pada tanggal 3 Januari 2008, ketika menyikapi laporan tersebut justru ‘mengakui’ bahwa sebenarnya bukan hanya 5 kabupaten tersebut, tapi sebagian besar daerah di Papua berada pada tingkat tertinggal.

Ini memang bukan ‘barang’ baru. Sedikit kembali ke belakang pada 2004, kementerian negara PDT, yang waktu itu dijabat oleh Syaifulah Yusuf, juga sudah memberitahukan kita soal itu. Ketika itu, Papua dinyatakan sebagai daerah paling tertinggal, di mana 82.38% desa-desa di Papua masuk dalam kategori tertinggal. Dan setelah kurang lebih 3 tahun, pemerintah hanya mampu mengentaskan Jayapura dari kategori daerah tertinggal ini. Bahkan Merauke dan Sorong, menurut laporan tersebut, dinyatakan mengalami penurunan 1 tingkat. Bahkan kita juga semua tahu, ketika beberapa tahun lalu, kita ‘bakalai’ soal benar tidaknya bencana kelaparan di Yahukimo.

Saya lebih setuju dengan pernyataan Wakil Gubernur Papua di atas. Ini tentu bukan tanpa alasan. Bahwa kenyataan di lapangan senantiasa membuktikan kecenderungan itu. Betapa akses masyarakat terhadap pemenuhan kesehatan begitu sulit, ekonomi pasar juga banyak dikuasai kekuatan kapitalistik, sedangkan untuk ke sekolah, ini soal lain yang juga menyisakan banyak masalah. Ironisnya, ketiga point dasar tersebut adalah isu yang banyak ‘mendatangkan uang’ melalui dana Otonomi Khusus.

Apa iya sih, Papua yang selama ini disebut-sebut sebagai daerah yang memiliki kekayaan alam yang begitu melimpah justru menjadi daerah yang paling parah dan tertinggal di Indonesia? Pertanyaan berikutnya, ke mana larinya kekayaan alam yang katanya sangat melimpah itu? Ke mana triliunan rupiah uang negara yang didapat dari dana Otonomi Khusus? Terus, bagaimana dengan kinerja aparat pemerintah kita selama ini?

Di sisi yang lain, pada saat yang sama, kita semua disuguhi dengan banyaknya berita tentang dugaan korupsi yang terjadi di Papua, tapi kemudian menguap dan berujung pada ketidakjelasan. Menjelang pemilu 2004, kita dikejutkan dengan pengakuan seorang anggota DPRD Provinsi Papua (ketika itu) tentang praktek korupsi berjamaah yang diduga melibatkan pimpinan dan anggota DPRD Provinsi Papua periode sebelumnya. Yang juga sedikit mencengangkan adalah temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Papua. Menurut BPK, sampai pada TA 2005, tidak kurang dari Rp 550.13 milyar uang rakyat menguap ke kantung-kantung pribadi koruptor dengan berbagai modus dan motif. Angka temuan untuk tahun 2006, lebih gila lagi, yakni mencapai Rp 5.7 trilyun. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sendiri, pada tahun 2007 mengatakan bahwa pengaduan tentang dugaan korupsi di Papua yang masuk ke meja kerja mereka menempati urutan ke 19 secara nasional. Namun anehnya, sampai saat ini KPK belum ‘tertarik’ dengan kasus-kasus yang terjadi di Papua.

Yang terbaru, adanya dugaan korupsi di tubuh Majelis Rakyat Papua (MRP) sebesar Rp 12 milyar lebih. Ini laporan Papua Corruption Watch (PCW) yang sempat membuat anggota MRP tidak bisa tidur nyenyak beberapa bulan terakhir.
Nah, apa jadinya Papua dan orang Papua jika kenyataannya demikian? Bahkan lembaga yang menjadi representative cultural orang Papua sekalipun, yang mestinya memperjuangkan kesejahteraan, pendidikan dan kesehatan orang Papua justru telah menjadi perampok uang rakyat?

Jika memang telah demikian mengguritanya korupsi di Papua, sementara tidak ada upaya serius untuk menindaklanjuti semua dugaan korupsi tersebut, jangan pernah bertanya, “kenapa Papua bisa masuk dalam kategori Daerah Terparah?”. Karena ini benar-benar ‘prestasi’ berbanding lurus yang sejati.

Foto: andawat