Statement menarik yang disampaikan Wapres RI, H. Jusuf Kalla, saat berkunjung ke Papua sekaligus merupakan respon atas berbagai reaksi akibat bergulirnya rencana pemekaran propinsi di Papua. Sepertinya Wapres RI tidak memperdulikan atau tidak mau tahu dengan alasan yuridis formal pemekaran suatu wilayah terlebih lagi dalam konteks Papua yang semestinya mengacu kepada pasal 76 UU Otonomi Khusus (Otsus).
Statement ini tentu saja membuka ruang perdebatan politik dan menjauhkan rasionalitas hukum yang seharusnya dijunjung tinggi atas nama konsistensi dalam melaksanakan Otsus. Hal ini juga menunjukkan untuk kesekian kalinya, bahwa pemerintah Pusat tidak benar-benar berniat melaksanakan Otsus. Berbagai kebijakan yang lahir setelah Otsus justru digunakan untuk ‘mempreteli’ satu persatu kewenangan lokal yang termuat dalam UU Otsus. Akibatnya, Otsus seperti ‘mainan’ Jakarta. Aturan menjadi tidak perlu lagi karena yang terpenting adalah siapa yang mengendalikan relasi kekuasaan dan bisa menjungkirbalikan isi dari sebuah produk hukum.
Lantas bagaimana dengan sikap lembaga-lembaga pemerintahan di daerah: Gubernur, DPRP dan MRP? Banyak kesan yang dapat kita tangkap, ada yang seolah-olah ‘tidak mau mendengar’, karena sibuk dengan gagasan-gagasan besar yang hampir pasti sangat sulit untuk dilaksanakan di Papua. Ada juga yang ‘tidak didengar’ walaupun sudah sibuk-sibuk bikin publik hearing hingga pokok-pokok pikiran. Tapi ada juga yang sepertinya ‘tidak dengar apa-apa’. Jadinya rakyat juga tidak tahu,mereka itu sedang bikin apa untuk rakyat?
Akibatnya, rakyat menjadi kehilangan kepercayaan terhadap lembaga-lembaga tersebut. Karena hingga kini tak ada satupun kekuatan resmi yang menjadi suara bersama dari ketiga lembaga tersebut untuk menunjukkan sikap ‘pemimpin’ yang selalu bersama rakyatnya untuk menjawab berbagai tantangan dan kekhawatiran yang muncul. Padahal mau ke mana pemekaran ini digulirkan, tentunya sangat tergantung pada kekompakan dan kepaduan komitmen serta konsistensi secara yuridis dari ketiga lembaga tersebut sesuai dengan amanat rakyat.
Sebenarnya pemerintah lokal tidak sepenuhnya tenang-tenang saja, karena ada juga reaksi yang muncul. Sayangnya reaksi tersebut lebih sering merupakan ‘arena dan juara’ atas sikap ‘siapa paling berkuasa atas apa’ dan ‘siapa dekat dengan siapa’, sehingga komunikasi yang dibangun tidak berlangsung transparan, bahkan tidak pantas dicontoh sebagai sikap yang demokratis. Ada pertemuan di Jakarta, ada juga pertemuan di Jayapura bahkan ada cerita tentang pembuatan statement dan tandatangan diam-diam soal pemekaran, tetapi sampai sejauhmana dapat dipertanggungjawabkan secara institusi? Tentu sangatlah lemah dan orang bisa saling tuding karenanya.
Maka jangan heran kalau di tengah kekhawatiran tersebut, rakyat menterjemahkan pandangan-pandangan mereka sendiri lalu mengambil inisiatif sesuai dengan kapasitas yang dimiliki, kadang memberikan dukungan bagi proses yang ada namun tidak jarang memberikan reaksi yang berlawan dari sikap pemerintah yang ‘tenang-tenang` saja itu. Akibatnya, semua komponen bergerak dengan pikirannya sendiri-sendiri, berbagai institusi sipil di tingkat lokal hampir tak memiliki daya apapun lagi. Tidak ada yang bisa mengambil peran untuk mencairkan komunikasi politik sipil yang makin parah tersebut.
Benarkah Pemekaran mensejahterahkan rakyat?
Kalau indikatornya adalah ketersediaan lapangan kerja di tingkat birokrasi, maka sebenarnya siapa yang sejahtera? Rakyat ataukah jaringan birokrasi yang terus mendesak untuk mencuat di level-level pimpinan daerah? Terus berputar dari satu posisi ke lain posisi. Berapa banyak rakyat setempat yang bisa terserap dalam tempo yang singkat setelah terjadi pemekaran? Ataukah justru tenaga birokrasi sebagian besar tetap mengalir dari propinsi induk? Birokrasi soal relasi kekuasaan yang di bawahnya selalu mengandung strategi mendistribusikan kekuasaan secara meluas, sehingga pemekaran bukan soal ketersedian sumber daya manusia semata.
Kalau juga semua mau jadi birokrat maka siapa yang akan menjadi rakyat? Tak heran kalau acara kerja bakti di tempat ibadah atau di balai kampung jadi sepi,karena rupanya di sana sudah tidak ada lagi rakyat, karena semua sudah berubah jadi pejabat-pejabat kampung. Hasil kebun dan laut juga menjadi makin sulit dan mahal karena orientasi pada posisi birokrasi makin meningkat tajam, padahal tak semuanya bisa terserap, akhirnya konflik mencuat di mana-mana dan kegetiran selalu jadi jatahnya rakyat.
Dari segi keamanan, pemekaran selalu berbanding lurus dengan meningkatnya satuan keamanan: organik maupun non organik. Secara logika,jumlah penduduk setelah pemekaran akan berkurang di setiap kabupaten atau provinsi karena pertimbangan geografis, tetapi aparat keamanan baik militer dan POLRI justru akan meningkat. Apakah rakyat akan menjadi semakin aman dengan banyaknya satuan keamanan di wilayahnya?
Bagi perempuan, pemekaran mengandung masalah tersendiri. Karena sepanjang realitas yang kita ketahui, pemekaran cenderung menyebabkan jumlah uang yang beredar dan dikuasai oleh laki-laki meningkat tajam, memperbesar angka prostitusi sekaligus angka kekerasan dalam rumah tangga, termasuk kejahatan sosial lainnya terhadap perempuan,seperti pemerkosaan, penganiayaan serta lingkungan sosial yang mengancam keselamatan dan kenyamanan kehidupan perempuan. Di sisi lain, muncul juga budaya konsumtif di kalangan perempuan sendiri, yang menimbulkan ketimpangan relasi antara perempuan yang satu dengan perempuan lainnya.
Konsekwensi banyaknya duit mengalir bagi kabupaten atau propinsi pemekaran, toh sebagian besar diperuntukan bagi pembangunan infrastuktur dan belanja birokrat sehingga yang namanya untuk rakyat di kabupaten atau propinsi pemekaran, tetap tidak beda nasibnya dengan kabupaten atau propinsi yang lain.
Tapi, nampaknya pemekaran menjadi terlalu gampang di Papua – tanpa perlu mengacu ke berbagai aturan yang sudah ada – setidaknya secara langsung dapat dijadikan alat untuk mengadu ketegangan antara para pejabat birokrat yang satu dengan pejabat birokrat yang lain, pada level kabupaten dan provinsi seperti juga yang ditunjukkan kemarin pada acara Rakerda para Bupati dan walikota se Papua. Siapa lagi yang akan mengusung bendera ‘pemekaran’ berikutnya?