LAPORAN TAHUNAN ALDP: 2010
English Bahasa Indonesia

21 April 2008

KPP HAM Wamena dan KPP HAM Wasior: Antara Kekuasaan dan Keadilan

oleh: andawat

Kasus pembobolan gudang senjata KODIM 1702/JWY di Wamena pada 4 April 2003, yang menewaskan anggota KODIM dan melukai beberapa prajurit lainnya serta rangkaian peristiwa penyisiran ke kampung-kampung di kota Wamena dan sekitarnya setelah tanggal 4 April 2003 memberikan catatan tersendiri bagi peristiwa hak asasi manusia di tanah Papua.

Mereka yang diduga sebagai pelaku pembobolan gudang senjata telah diadili dan sempat dipindahkan dari Papua ke LP Makasar selama kurang lebih 4 tahun, bahkan Mikael Haselo, salah satu dari mereka, meninggal dunia di Makasar (27 September 2007).

Beberapa di antara mereka tidak jelas benar alasan penangkapan dan pemidanaan. Seperti yang dialami Linus Hiluka. Dia ditangkap dalam operasi penyisiran setelah peristiwa tanggal 4 April tersebut, karena di honainya ditemukan beberapa dokumen Kongres Papua tahun 2000 dan disidangkan bersamaan dengan tersangka lainnya waktu itu. Anehnya, tuduhannya pun berbeda dengan tersangka lainnya, yakni soal dokumen Kongres 2000. Padahal tanggal 4 Maret 2002, di Pengadilan Negeri Jayapura, telah diputus bebas tuduhan makar atas peristiwa Kongres Rakyat Papua 2000 tersebut terhadap Theys H. Eluay dkk.

Peristiwa penyisiran yang dilakukan oleh aparat TNI setelah pembobolan gudang senjata memang berlangsung relatif lama di kota dan kampung-kampung di Wamena. Tujuannya untuk menangkap pelaku dan menemukan kembali senjata milik TNI. Tapi kenyataannya, pada peristiwa tersebut justru terjadi berbagai penyiksaan dan pengrusakan harta benda penduduk, tanpa terkecuali. Sekaligus menjadi peristiwa pembunuhan terhadap karakter dan budaya orang Wamena untuk yang kesekian kalinya. Penduduk dan pemukimannya digeneralisir sebagai bagian dari pelaku dan yang harus bertanggungjawab atas peristiwa tanggal 4 April 2003 tersebut.

Pendampingan yang dilakukan oleh berbagai LSM HAM di Papua, khususnya di Jayapura dan Wamena kala itu boleh dikatakan proses pendampingan yang paling solid dan terorganisir dengan baik. Sehari setelah insiden penyisiran, langsung dibentuk tim Advokasi untuk melakukan investigasi. Di Wamena, tim advokasi sempat pula mengunjungi KODIM Wamena, bertemu dengan DANDIM, Kapolres serta berbagai pihak lainnya dari masyarakat, termasuk mengunjungi beberapa lokasi pasca-penyisiran.

Setelah kejadian tersebut, atas desakan berbagai pihak dan bersamaan dengan agenda Komnas HAM melakukan kunjungan lapangan untuk menginventarisir kasus-kasus yang diduga kuat sebagai pelanggaran HAM Berat. Maka laporan yang dihasilkan Tim Advokasi Wamena, kemudian menjadi rujukan penting bagi Komnas HAM untuk melakukan tinjauan lapangan dan melakukan investigasi serta membentuk KPP HAM Wamena, dan juga KPP HAM Wasior untuk melakukan penyelidikan akibat peristiwa penyisiran yang dilakukan setelah peristiwa Wondiwoy, 21 Juni 2001 karena menunjukkan rangkaian peristiwa penyisiran yang sama-sama merugikan hak-hak sipil di Wasior dan sekitarnya.

Hasil investigasi ALDP di Wasior selama 3 bulan (September – November 2001), yang kala itu sempat menurunkan 3 staff dan 3 relawan ke Wasior, ikut menjadi salah satu rujukan utama Komnas HAM RI ketika memutuskan untuk membentuk KPP HAM Wasior.

Pekerjaan yang dilakukan tim KPP HAM Wamena dan KPP HAM Wasior memakan waktu yang relatif lama, karena harus melakukan investigasi lapangan dan mengecek kembali berbagai berita yang terjadi. Memanggil pihak pengadu dan korban untuk diminta dan didengar keterangannya, memanggil saksi untuk diminta dan didengar kesaksiaannya, meninjau dan mengumpulkan keterangan di tempat kejadian dan tempat lain yang dianggap perlu serta tugas penyelidikan lainnya (pasal 19 UU No. 26 tahun 2000).

Namun setelah hasil kerja Tim KPP HAM Wamena dan KPP HAM Wasior diserahkan ke Komnas HAM dan selanjutnya Komnas HAM menyampaikan dokumen tersebut kepada Kejaksaan Agung RI untuk melakukan penyidikan dan penuntutan, hingga kini, proses tersebut tidak berjalan. Kejaksaan Agung malah mengembalikan berkas ke Komnas HAM dan meminta Tim KPP HAM Wamena dan KPP HAM Wasior, yang sudah habis masa kerjanya, untuk melengkapi kembali beberapa pertanyaan yang disampaikan oleh Kejaksaan Agung. Perdebatan mengenai berkas laporan KPP HAM Wamena dan KPP HAM Wasior pun terjadi antara Kejaksaan Agung RI dan Komnas HAM RI.

Secara yuridis formal, Kejaksaan Agung memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan dengan menindaklanjut hasil penyelidikan dari Komnas HAM RI. Kejaksaan Agung, oleh UU No. 26 tahun 2000 (pasal 22), diberikan waktu 90 hari x 2 hari, plus 60 hari. Artinya, ada total 240 hari untuk melakukan penyidikan. Fungsi dari waktu tersebut tentu untuk memberikan kesempatan kepada Kejaksaan Agung melengkapi dokumen, tidak saja dengan menanyakan kepada pihak Komnas HAM RI, namun juga melakukan penyidikan langsung kepada pihak-pihak yang diduga terlibat dalam peristiwa pelanggaran HAM tersebut.

Beberapa saat lalu, ketika anggota tim Advokasi mendatangi kembali Komnas HAM RI, masih dengan anggota Komnas HAM RI yang lama, sempat ada ‘titik terang‘ yang bisa dilihat sebagai pokok dari perdebatan antara Kejaksaan Agung dan Komnas HAM RI. Hal ini dengan jelas tertera dalam surat berklasifikasi confidential yang diberikan oleh Kejaksaan Agung, sambil mengembalikan berkas yang telah diserahkan Komnas HAM RI sebelumnya.

Isinya sangat menggetarkan, misalnya, pertama Kejaksaan Agung meminta Komnas HAM melakukan penyelidikan terhadap orang-orang yang sebelumnya sudah direkomendasikan oleh Komnas HAM kepada Kejaksaan Agung. Misalnya memeriksa PANGDAM XVII/Trikora karena KPP HAM Wamena waktu itu baru memeriksa setingkat DANDREM. Kedua, ada pertanyaan mengenai status para korban yang terbunuh dan mengalami kerugian materi akibat penyisiran. Pertanyaan tersebut intinya berbunyi: “apakah para korban tersebut adalah bagian dari kelompok separatis, mengingat bahwa wilayah di Wamena adalah wilayah separatis.

Jelas arah pertanyaan ini. Jika para korban adalah separatis, maka tidak perlu ditindaklanjuti proses penyidikannya. Beberapa pertanyaan pokok yang lain mengenai laporan KPP HAM Wasior adalah menyangkut kelengkapan alat bukti seperti hasil visum.

Surat confidential dari Kejaksaan Agung tersebut sudah pasti menyederhanakan hasil investigasi Tim KPP HAM Wamena dan KPP HAM Wasior serta investigasi lainnya yang telah dilakukan oleh berbagai pihak. Bahkan lebih dari itu, menyederhanakan akibat penderitaan luar biasa yang dialami oleh masyarakat di Wamena dan Wasior. Bahkan juga mengabaikan aturan hukum international yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia maupun produk hukum nasional lainnya. Karena jelas ada perbedaan mendasar bagaimana memperlakukan penduduk sipil dan combatan, wilayah sipil dan wilayah perang ataupun situasi perang nyata-nyata sedang berlangsung, maupun dalam keadaan damai. Sehingga penyisiran tidak dibenarkan dengan menggunakan pendekatan general untuk menangkap pelaku, karena sudah pasti akibat hukum yang lebih besar akan ditimbulkan, dan merugikan masyarakat sipil.

Selain itu, surat tersebut menggambarkan sikap tidak mau memahami kesulitan tekhnis – seperti medan yang berat ataupun transportasi yang terbatas – yang dihadapi para korban, keluarga dan pendamping untuk mengumpulkan bukti-bukti atau mendatangi rumah sakit pada kesempatan pertama guna memperoleh visum, dan lain sebagainya.

Lebih jauh, surat confidential tersebut mengandung kekhawatiran tidak ditemukannya alasan yang kuat untuk menunjukkan adanya unsur “pelanggaran HAM berat, secara meluas atau sistematis, yang ditujukan langsung terhadap masyarakat sipil”, sesuai bunyi pasal 9 UU No. 26 tahun 2000. Selama proses penyelidikan, para penyidik, penuntut dan juga hakim tidak memiliki perspektif yang baik tentang korban sipil akibat suatu peristiwa operasi militer atau polisi dalam bentuk penyisiran, maka akan sangat sulit mendorong langkah maju dari proses tersebut, sekalipun proses tersebut sudah sampai di pengadilan. Kita bisa lihat contoh kasus Abepura tahun 2000.

Memang sulit untuk menemukan dokumen yang menunjukkan secara tegas adanya operasi yang berlangsung secara meluas atau sistematis karena justru bukti tersebut yang dihilangkan pertama kali oleh pelaku penyisiran agar secara yuridis formal tidak memenuhi unsur peristiwa pelanggaran HAM Berat. Akan tetapi unsur meluas atau sistematis dapat dilihat dan dibuktikan melalui dampak atau akibat yang ditimbulkan oleh operasi penyisiran terhadap para korban dan pemukiman mereka yang terjadi pada waktu bersamaan atau setidak-tidaknya dalam waktu yang relatif berdekatan.

Selain itu, dapat juga disimak dari tekhnik operasi yang digunakan dengan beregu, memiliki komando tertentu dan menggunakan methode tertentu yang kesemuanya dapat dihubungkan sebagai rangkaian peristiwa di bawah kontrol atau tanggung jawab otoritas tertentu. Sejujurnya, hasil kerja tim KPP HAM sudah mengarah pada unsur tersebut dan juga dapat diungkapkan melalui fakta di persidangan, keterangan saksi, korban, saksi korban maupun saksi ahli.

Proses hukum kasus tersebut menjadi sangat politis ketika Kejaksaan Agung berusaha menghindar untuk berhadapan dengan kekuasaan (pihak TNI) yang tidak menghendaki hasil dari KPP HAM Wamena dan KPP HAM Wasior dilanjutkan.

Berhadapan dengan TNI, pertama kali dihadapai oleh Komnas HAM dan juga Kejaksaan Agung untuk kasus di luar KPP HAM Ad Hoc (peristiwa di atas tahun 2000 setelah UU Peradilan HAM diberlakukan). Selain itu, peristiwa tersebut berhubungan langsung dengan peristiwa pembobolan gudang senjata milik TNI. KPP HAM Wasior juga mengalami hal politis yang sama, karena sebelum operasi penyisiran tersebut telah terjadi penyerangan terhadap polisi yang menewaskan 3 karyawan perusahaan dan 5 orang anggota Brimob serta perampasan senjata (rangkaian peristiwa 31 Maret 2001 di Wombu dan 13 Juni 2001 di Wondiwoy). Selain itu, pengalaman pengadilan HAM kasus Abepura 2000 – jelas menunjukkan ketidakmampuan dan juga tekanan yang luar biasa terhadap penegak hukum dan atas proses peradilan HAM tersebut.

Gambaran ini menunjukkan masih sangat kuatnya intervensi terhadap proses hukum untuk melegalkan segala bentuk kekuasaan, sehingga makin menyuburkan lingkaran impunity di Indonesia. Komnas HAM RI dan Kejaksaan RI harus terus didesak untuk menunjukkan prioritas, konsistensi dan komitmen negara terhadap keadilan buat korban dan juga menjadi langkah maju bagi upaya menyelesaikan konflik di Papua yang lebih bermartabat dan adil buat rakyat Papua.

Tentu, kita pun memiliki tanggung jawab yang sama untuk membangun konsolidasi kembali di kalangan masyarakat sipil, merumuskan strategi-strategi baru dan prioritas bersama serta menjaga proses dan terus melakukan refleksi dalam upaya pemenuhan dan penegakan HAM di tanah Papua.

Keterangan Foto:
Ibadah Perkabungan Mikael Heselo di Makassar. Tampak rekan-rekan Alamarhum.
(andawat)