LAPORAN TAHUNAN ALDP: 2010
English Bahasa Indonesia

16 April 2008

Memperingati Tragedi Wamena Berdarah

Sumber: Suara Perempuan Papua
Edisi: 31 Tahun IV, 14 – 20 April 2008



Tragadi Wamena Berdarah diperingati. Walaupun begitu, proses hukumnya tidak ada kemajuan. Soalnya Komnas HAM mendesak sehingga Kejaksaan Agung mengembalikan berkasnya untuk dilengkapi dan tindak lanjuti. Mungkinkah pelakunya dapat diseret ke meja hijau?

Mungkin sebagian besar orang Papua, apalagi mereka yang menjadi korban pada kasus Wamena Berdarah masih mengingat peristiwa tragis yang terjadi pada 4 April 2003 lalu. Tragedi yang menelan banyak korban jiwa dari kalangan masyarakat sipil itu bermula ketika sekelompok masa yang tak dikenal membobol gudang senjata Markas Kodim 1702/Jwy, pada pukul 01.00 dini hari. Penyerangan ini menawaskan dua anggota Kodim, yakni Lettu TNI AD Napitupulu dan Prajurit lainnya mengalami luka berat. Kelompok penyerang diduga membawa lari sejumlah senjata dan amunisi.

Dampak dari pencarian dari pucuk senjata tersebut juga mengakibatkan penangkapan dan penahanan sewenang-wenang terhadap 6 orang warga sipil. Diantaranya, Kanius Murib (70 tahun) di LP Wamena, yang sakit-sakitan dan menjalani hukuman 25 tahun penjara. Di LP Biak, Enos Lokobal (20 Tahun) hukuman penjara 20 tahun, Numbungga Telenggen, hukuman penjara seumur hidup. Dan dua orang di LP Nabire yakni Kimanus Wenda dan Linus Hiluka, masing-masing 20 tahun penjara. Sementara Maikel Heselo meninggal di LP Makassar karena sakit.

Menyakut kasus ini, pada bulan Juli 2004, Komnas HAM mengeluarkan laporan penyelidikan projusticia atas dugaan adanya kejahatan terhadap kemanusiaan. Kasus tersebut dilaporkan setelah terbunuhnya sembilan orang serta korban penyiksaan 38 orang. Selain itu, terjadi pula pemindahan secara paksa terhadap penduduk 25 Kampung.

Pada pemindahan paksa ini, 42 orang meninggal dunia karena kelaparan, serta 15 orang menjadi korban perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang. Komnas HAM juga menemukan pemaksaan penandatanganan surat pernyataan, serta perusakan fasilitas publik. Tempat kejadian perkara di Wamena ini meliputi Wamena Kota, Kampung Sinakma, Bilume Assologaima, Woma, Kampung Honai Lama, Kampung Napua, Kampung Walaik, Kampung Morageame-Pyramid, Kampung Ibele, Kampung Ilekma, Kampung Kwiyawage-Tiom, Kampung Himule-Desa Okilik, Kampung Kikumo, Walesi Kecamatan Asologaima dan beberapa Kampung di sebelah Kwiyawage, yaitu Luarem, Wugapa, Nenggeyagin, Negeya, Mume dan Timine.

Tindakan tidak manusiawi berupa penangkapan sewenang-wenang, penyiksaan, penganiayaan, penembakan, penahanan tanpa prosedur hukum dan kematian dalam tahanan. Pembunuhan terhadap penduduk sipil, serta pembakaran Honai (rumah tradisional), gereja, poliklinik dan sekolah hingga mengakibatkan pengungsian penduduk secara paksa.

Walau demikian, proses hukum atas kasus tersebut hingga sekarang masih kandas. Terjadi tolak-menolak antar Komnas HAM dan Kejaksaan Agung dengan alasan formalis-normatik, tanpa mempertimbangkan betapa kesalnya para korban menonton sandiwara peradilan di Indonesia dalam kondisi mereka yang terpuruk, sambil mengharapakan keadilan yang tak kunjung datang. Sementara pera tersangka terus menikmati hidupnya, mendapat kehormatan sebagai pahlawan, menerima kenaikan pangkat dan promosi jabatan tanpa tersentuh hukum.

Melihat kondisi itu, Komnas HAM pun bekerja keras mendesak Kejaksaan Agung, dan akhirnya, pihak Kejaksaan mempelajari kembali kasus itu lalu berkas perkaranya dikembalikan untuk dilengkapi oleh Komnas HAM. Hebatnya, pihak Kejaksaan ikut membantu Komnas HAM, agar berkas perkara itu dilengkapi sesuai dengan Pasal 20 ayat (3) UU Nomor 26 Tahun 2006. Menurut Kapuspenkum Kejaksaan Agung, BD Nainggolan, bahwa kasus Wamena dikembalikan untuk ditindaklanjuti oleh Komnas HAM.

Sementara Ketua Panitia dalam rangka memperingati lima tahun tragedy Wamena dan Wasior Berdarah, Peneas Lokbere saat bertandangg ke Redaksi Tabloid Suara Perempuan Papua mengatakan, kasus Wamena dan Wasior berdarah kini telah genap lima tahun, namun mereka yang menjadi otak di balik peristiwa tersebut tidak pernah diusut. Oleh sebab itu, dalam rangka memperingati tragedi Wamena Berdarah, Solidaritas untuk Korban Pelanggaran HAM di Tanah Papua mengeluarkan enam buah sikap yang berisikan mendesak kepada pemerintah, MRP, DPRP dan Kejaksaan Agung agar segera mengusut tuntas para aktor di balik peristiwa tersebut.

Dalam pers releasenya, Solidaritas untuk Korban Pelanggaran HAM di Tanah Papua mengakui kalau Papua merupakan salah satu lahan konflik yang sangat subur, dikenal di dunia. Dan hampir setiap kasus kejahatan HAM terjadi, aparat keamanan (TNI/Polri) selalu menjadi aktor utamanya. Isu OPM sangat laris dimanfaatkan sebagai alasan untuk mempraktekkan kebiadabannya. Profesionalisme terutama sebagai aparatur negara dan tindakan sebagai manusia beradab tidak pernah dikedepankan dalam bertindak atas nama keamanan negara. Celakanya, tindakkan-tindakkan biadab atas nama keamanan negara itu masih selalu berulang di Papua, terhadap orang Papua.

Wilayah Kabupaten Jayawijaya dan kota Wamena ini sudah berulang kali menjadi tempat di mana terjadi peristiwa-peristiwa kekerasan dimaksud. Sebut saja tiga peristiwa besar, secara khusus akan tetap diingat oleh masyarakat Pegunungan Tengah Wamena dari generasi ke generasi, sebagai peristiwa yang sangat mengerikan dan meninggalkan bekas luka yang mendalam dan traumatik dalam hati masyarakat. Yakni peristiwa 1977, kasus 6 Oktober 2000, dan peristiwa 4 April 2003.

Peneas, yang juga Koordinator Umum Bersatu untuk Kebenaran itu menyebukan enam poin pernyataannya, yaitu. Pertama, mendesak Kejaksaan Agung dan Komnas HAM agar segera mendorong kemajuan yang berarti bagi proses hukum kasus Wamena-Wasior dan hentikan sandiwara lempar-melempar berkas kasus sebagai langkah memperkokoh lingkaran impunitas.

Kedua, mendesak pemerintah Provinsi Papua, MRP, DPRP, agar segera mengambil langkah nyata untuk mendorong kasus ini ke Pengadilan HAM. Ketiga, mendesak DPRP dan MRP untuk mendorong sebuah evaluasi resmi atas kebijakan keamanan di Papua, menolak pasukan non-organik, serta rasionalisasi jumlah aparat organik (TNI/Polri) di tanah Papua. Keempat, mendesak DPRP bersama dengan Gubernur Papua untuk segera membuat Perdasus dan Perdasi tentang hak reparasi dan perlindungan bagi korban kejahatan HAM di tanah Papua.

Kelima, mendesak pemerintah pusat untuk memberikan kewenangan penuntutan kepada perwakilan Komnas HAM di tanah Papua. Keenam, mendesak pembebasan tanpa syarat bagi enam orang mahasiswa yang saat ini ditahan di Polres Jayapura hanya karena memakai hak kebebasan berekspresi. (Krist Ansaka & Yosias Wambrauw).

Foto: Butar Tabuni.


Baca Juga:
Mereka Pulang, Mimpi... (Bagian 1 dari 3 Bagian)
Realitas Penjara