LAPORAN TAHUNAN ALDP: 2010
English Bahasa Indonesia

18 Mei 2008

Catatan Kunjungan Komisi F DPRP ke Jakarta

Oleh: andawat

Pada tanggal 7 dan 8 Mei 2008 kemarin, Komisi F DPRP melakukan kunjungan ke Jakarta, tepatnya melakukan kunjungan ke kantor Direktorat Jenderal Lembaga Pemasyarakatan RI Departemen Hukum dan HAM, Kejaksaan Agung RI dan KOMNAS HAM RI, serta mengunjungi LP Cipinang.

Agenda yang dibahas ketika bertemu dengan ketiga lembaga negara tersebut adalah: [1]. Membicarakan kemungkinan pemindahan 6 narapidana asal Timika di LP Cipinang; [2]. Membahas nasib berkas KPP HAM Wamena dan KPP HAM Wasior serta melihat dari dekat kondisi narapidana asal Timika yang sedang menjalani pemidanaan di LP Cipinang.

Pada kesempatan ke kantor Dirjen LAPAS dan bertemu langsung dengan Dirjen, awalnya Komisi F DPRP menyampaikan terima kasih atas dukungan dan kerjasama yang dilakukan berkaitan dengan proses pemindahan 5 napi asal Wamena dari LP Gunung Sari Makasar ke LP Biak dan LP Nabire. Kemudian Komisi F menyampaikan maksud untuk kemungkinan pemindahan 6 narapirada asal Timika, yakni Pdt. Isack Onawame dkk, dari LP Cipinang ke LP di Timika, atau setidak-tidaknya ke LP di wilayah hukum Kanwil Hukum dan HAM Propinsi Papua.

Terhadap pandangan Komisi F DPRP tersebut, pihak Dirjen menyampaikan bahwa sebenarnya sudah ada permintaan atau permohonan pemindahan terhadap 6 napi tersebut yang disampaikan oleh para tokoh adat dan tokoh masyarakat di Timika. Tapi masalahnya permohonan tersebut dinilai masih lemah, karena bukan berasal dari keluarga napi yang bersangkutan ataupun dari Pengacaranya.

Akan tetapi pihak Dirjen telah meneruskan surat tersebut ke Menteri Hukum dan HAM. Alasan lain dari Dirjen adalah bahwa permohonan pemindahan ke 6 napi itu sebaiknya dipisahkan, karena ada 1 napi yang hukumannya seumur hidup, yakni Antonius Wamang, yang sulit untuk dipindahkan ke LP yang ada di Papua, karena LP di Papua tidak layak untuk napi yang masa hukumannya seumur hidup, apalagi LP di Timika, sebagaimana tanggapan Dirjen sewaktu mengunjungi Timika bersama Menteri Hukum dan HAM baru-baru ini.

Terhadap alasan ini tentu tidak logis karena sebagaimana kita ketahui bahwa 2 napi seumur hidup asal Wamena dari LP Gunung Sari Makasar tetap bisa dipindahkan ke-LP Baik. (bukan LP Klas I) .

Ada juga saran dari beliau agar napi tersebut menjalani dulu hukumannya selama 5 tahun di LP Cipinang, dan setelah itu pihak LP Cipinang dapat mengajukan permohonan ke presiden untuk menyetujui pengalihan hukuman seumur hidup ke hukuman (sementara) selama 20 tahun.

Ironisnya, jika proses tersebut yang dipilih, maka surat permohonan dari LP Cipinang baru dapat diterbitkan pada pertengahan tahun 2011. Lagi pula proses di Presiden sendiri akan memakan waktu lama. Contohnya untuk permohonan sejenis yang disampaikan oleh LP Cipinang kepada Presiden pada tahun 2005, hingga kini belum mendapat jawaban / persetujuan.

Yang tak kalah penting, tentu saja menyangkut ‘restu’ atau pertimbangan politis dari Desk Papua pada Kementrian Hukum dan HAM RI. Mengenai perpindahan 6 napi asal Timika, karena kasus Timika tersebut menelan korban dari warga negara asing. Nampaknya, ruang ini yang paling sulit untuk ditempuh. Entah mereka pelakunya atau bukan, hukum pemerintah Indonesia telah membuat mereka menjadi narapidana dengan prosedur yang sangat berbelit-belit dan menyangkut kepentingan kekuasaan.

Pertemuan lainnya yang dilakukan Komisi F DPRP adalah dengan KOMNAS HAM RI. Pada kesempatan ini dibahas 2 hal. Pertama, memberitahukan dan meminta dukungan yang lebih konkrit dan serius dari KOMNAS HAM mengenai rencana pemindahan 6 napi asal Timika di LP Cipinang. Kedua, mendiskusikan hal yang lebih strategis yang menjadi kewenangan KOMNAS HAM, yakni mengenai berkas KPP HAM Wamena dan KPP HAM Wasior yang sudah sekitar 3 tahun lebih tidak jelas nasibnya di antara pihak Kejaksaan Agung dan KOMNAS HAM RI.

Menurut KOMNAS HAM, tugas penyelidikan yang dilakukan oleh KOMNAS HAM RI sudah selesai, sehingga saatnya bagi Kejaksaan Agung untuk meneruskan dengan melakukan penyidikan, sebagaimana mandat UU No. 39 tahun 1999 tentang Peradilan HAM, yakni tugas Kejaksaan Agung adalah menindaklanjuti hasil dari KOMNAS HAM. Ketika berkas dikembalikan ke KOMNAS HAM, maka pihak KOMNAS HAM langsung membentuk Tim untuk mempelajari berkas, mengingat batas waktu yang harus dipatuhi selama 30 hari serta untuk membangun kembali persamaan pandangan mengenai kedua berkas tersebut, karena anggota KOMNAS HAM saat ini merupakan komisioner yang baru.

Nampak ada perbedaan persepsi antara KOMNAS HAM dan Kejaksaan Agung tentang kewenangan tersebut. Ini tergambar dari berbagai pernyataan di media massa dan juga dari komunikasi yang dibangun. Misalnya, Kejaksaan Agung menyatakan bahwa baru akan melakukan penyidikan setelah terbentuk Peradilan HAM, padahal dari keputusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung menyatakan, bahwa pengadilan HAM Ad Hoc baru akan terbentuk setelah proses Penyelidikan dan Penyidikan. Ini untuk kasus Pelanggaran HAM sebelum dikeluarkannya UU No. 39 tahun 1999. Artinya, ini untuk kasus Semanggi I dan Semanggi II. Akan tetapi dengan dikembalikannya juga berkas KPP HAM Wamena dan KPP HAM Wasior bersamaan dengan pengembalian berkas Semanggi I dan Semanggi II, maka Kejaksaan Agung dinilai telah menggeneralisir masalah / berkas, sebab untuk KPP HAM Wamena dan KPP HAM Wasior yang kasusnya terjadi setelah UU No. 39 tahun 1999 dikeluarkan sebenarnya sudah ada peradilan HAM-nya.

Masih menurut KOMNAS HAM, Kejaksaan Agung tidak punya alasan mengembalikan berkas tersebut, sebab secara rinci pun permohonan yang menyertai berkas tersebut lebih banyak bersifat permintaan yang memenuhi unsur materiil, padahal sesuai bunyi pasal 20 ayat 3 UU No. 39 tahun 1999, bahwa pemenuhan unsur-unsur materiil akan dibuktikan pada saat persidangan dan penyelidikan hanya mengumpulkan bukti-bukti awal. Selain itu, ada juga ketersinggungan dari pihak KOMNAS HAM karena berkas yang dikembalikan oleh pihak Kejaksaan Agung hanya dititipkan kepada security di KOMNAS HAM, nampaknya pihak Kejaksaan Agung mengabaikan prosedur hukum yang seharusnya dilakukan.

Pada pertemuan tersebut, pihak KOMNAS HAM juga membahas persoalan pembentukan Perwakilan KOMNAS HAM Papua yang nampaknya mengalami kendala tekhnis menyangkut persoalan sosialisasi akibat terbatasnya sumber dana, dan hingga saat ini pihak Pemda Provinsi Papua tidak juga memberikan bantuan, kendati pada pertemuan pada akhir Februari 2008 lalu, Gubernur Papua menjanjikan akan mendukung proses tersebut. KOMNAS HAM RI melalui Panitia Seleksi telah pula memperpanjang waktu pendaftaran hingga 31 Mei 2008, karena masih sangat sedikit yang mendaftar jika dibanding dengan seleksi Perwakilan KOMNAS HAM Papua periode 2005-2008. Hal ini bisa juga disebabkan karena seleksi kali ini bertepatan dengan seleksi anggota KPU Provinsi, Kota dan Kabupaten, yang lebih banyak menarik perhatian dan minat masyarakat Papua, selain juga karena bertepatan dengan kesibukan partai politik dan simpatisannya untuk melakukan verifikasi.

Meski demikian, pihak KOMNAS HAM akan menindaklanjuti proses seleksi ini dengan segera. Diperkirakan dalam minggu ini, seluruh Tim Seleksi akan berkumpul di Jayapura dan bekerja ekstra. Menyeleksi dan memilih orang-orang yang memiliki pengetahuan hukum yang memadai, dan memiliki integritas serta komitmen agar menghasilkan komisioner yang lebih efektif dari Perwakilan HAM sebelumnya bukanlah pekerjaan ringan di tengah keterbatasan sumber dana. Untuk mendukung kerja-kerja strategis dari Perwakilan KOMNAS HAM ke depan, maka KOMNAS HAM RI juga telah menyiapkan dan akan mendelegasikan sejumlah kewenangan strategis untuk Perwakilan KOMNAS HAM Papua agar bisa bekerja lebih maksimal dengan mandat yang lebih besar. Selain itu, dukungan dilengkapi dari APBN, dan tentu saja APBD Provinsi.

Pertemuan dengan Kejaksaan Agung membawa cerita tersendiri, karena nampaknya pihak Kejaksaan Agung sempat ‘panik’ dan tidak siap menerima kedatangan Komisi F DPRP. Semula pihak Kejaksaan Agung memberitahukan bahwa semua pihak di Kejaksaan Agung yang berwenang menangani berkas KPP HAM Wamena dan KPP HAM Wasior sedang berada di Swiss mengikuti sidang di PBB. Tapi setelah didesak, akhirnya Tim Komisi F DPRP bertemu dengan Kabag Hukum yang didampingi 4 orang staff yang menjelaskan berkas KPP HAM Wamena dan KPP HAM Wasior.

Pihak Kejaksaan Agung menyampaikan, bahwa secara umum hasil penyelidikan KOMNAS HAM masih banyak sekali terdapat kekurangan, baik syarat formil seperti hasil Visum et Repertum, hingga unsur materiil-nya. Selain itu, Kejaksaan Agung juga meminta KOMNAS HAM untuk memisahkan berkas antara KPP HAM Wamena dan KPP HAM Wasior, karena baik locus / tempat maupun pelakunya berbeda.

Yang lucu adalah ketika pihak Komisi F DPRP menanyakan perkembangan terakhir dari berkas KPP HAM Wamena dan KPP HAM Wasior yang sudah dikembalikan oleh pihak KOMNAS HAM tanggal 30 April 2008, pihak Kejaksaan Agung malah belum tahu. Beberapa staff kemudian berusaha mencari informasi di kantor tersebut tapi mereka tidak menemukan berkas tersebut. Menurut mereka karena kantor Kejaksaan Agung sangat besar, bisa jadi masih tertahan di staff administrasi.

Dari pertemuan dengan pihak KOMNAS HAM dan Kejaksaan Agung, nampaknya kedua lembaga tersebut masih bertahan dengan argumentasi hukum dan politis masing-masing untuk menunjukkan sekaligus membatasi kewenangan mereka. Hal ini seolah-olah membuat mereka lupa akan tanggungjawab untuk memperjuangkan keadilan bagi korban dan sekaligus mengambil bagian konkrit dari salah satu proses penyelesaian konflik antara Papua dan Jakarta.

Pada kunjungan di LP Cipinang di hari Jumat, yang merupakan hari hiburan bagi penghuni LP Cipinang, karena penghuni LP diperbolehkan untuk bermain musik dan menyanyi, mulai dari lagu dangdut, pop, reggae, keroncong dan lain sebagainya, mulai jam satu siang hingga sekitar jam empat sore. Sehingga suara hinggar binggar ‘konser’ melanda seluruh bangunan LP Cipinang. Komisi F DPRP bertemu dengan bagian pembinaan untuk mendiskusikan rencana pemindahan. Semua proses administrasi yang berkaitan dengan tanggungjawab LP Cipinang telah dilakukan hingga ke Kanwil Hukum dan HAM DKI Jakarta.

Komisi F sempat bertemu dan berdiskusi dengan Pdt. Isack Onowame. Para napi nampaknya dalam keadaan sehat, berkomunikasi cukup akrab dengan beberapa petugas LP sekedar untuk mendengarkan keluh kesah mereka atau kadang juga membantu memenuhi beberapa keperluan napi. Sebenarnya saat itu bukan waktu kunjungan, namun di sisi lain bangunan utama LP, di satu sudut tangga, nampak Policarpus bersama istrinya.

Masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan oleh Komisi F DPRP dan juga semua komponen pemerintah maupun rakyat Papua untuk mendesak digelarnya sidang pelanggaran HAM Wamena dan Wasior dan juga memperjuangkan pemindahan 6 napi asal Timika, termasuk juga pembentukan Perwakilan KOMNAS HAM Papua dengan mandat yang lebih jelas dan kuat, mulai dari proses-proses hukum seperti mempersiapkan surat dan bukti-bukti formil lainnya, hingga pendekatan politik ke berbagai lembaga pemerintahan yang sering ‘kebal’ dengan pertimbangan hukum.



Keterangan Foto:
Suasana Pertemuan dengan Dirjen LAPAS RI.