LAPORAN TAHUNAN ALDP: 2010
English Bahasa Indonesia

05 Mei 2008

Ujian Akhir Nasional: Kualitas Pendidikan Kita?


oleh: andawat
Hari Sabtu, 3 Mei 2008 lalu, sehari setelah hari Pendidikan Nasional, kami sempat berkunjung ke Kantor Pos Jayapura di jalan Koti, Jayapura. Mulanya karena mau mengambil kiriman paket sehingga harus menuju bangunan belakang dari Kantor Pos tersebut, tepatnya bangunan paling belakang yang langsung berbatasan dengan laut.

Di tempat tersebut, menumpuk ratusan kantong paket besar maupun kecil dari berbagai belahan dunia. Seorang pegawai Kantor Pos dengan nada kesal menunjukkan bagian lain dari tumpukan karung dan karton terhampar di setiap ruang dan sudut, bahkan ada yang disimpan dalam satu gudang besar, selebihnya berserakan dari ruang dalam hingga di teras luar ruang paket tersebut. Kalau hujan? Yah, pasti basah.... !!

Isi semua bungkusan tersebut adalah buku wajib untuk anak sekolah dari Sekolah Dasar hingga Sekolah Menangah Umum yang dikirim oleh Departemen Pendidikan dan Pengajaran di Jakarta untuk seluruh sekolah di Papua. Buku-buku tersebut terus ditumpuk sejak 3 tahun terakhir. Konon katanya, pihak Departemen yang bertanggungjawab terhadap pendidikan nasional tersebut hanya bertanggungjawab melakukan pengiriman sampai ke kantor pos di ibu kota propinsi, sedangkan untuk meneruskan ke berbagai kota, kabupaten hingga pelosok kampung menjadi tanggung jawab pemerintah daerah.

Namun setiap kali pihak Kantor Pos menanyakan dukungan dana kepada pihak pemerintah daerah provinsi Papua untuk mendistribusikan buku-buku tersebut tidak pernah ada realisasi, hanya janji-janji. Ketika ditanya ke pihak DPRP, pihak DPRP berkilah bahwa telah menganggarkan kebutuhan tersebut dalam APBD sejak tahun 2006, 2007 dan 2008 namun setiap kali ditanyakan kembali ke Pemerintah Daerah Papua, selalu berakhir dengan ketidakjelasan di bagian Keuangan Pemda. Akhirnya buku-buku tersebut tergeletak begitu saja. Bayangkan, buku wajib di seluruh sekolah di Papua, dari SD sampai SMU, menumpuk setiap tahunnya. Setidaknya ini sudah berlangsung selama 3 tahun terakhir. Heh...!!

Apa yang terjadi dengan birokrasi di negara kita, khususnya di pemerintah provinsi Papua? Kisah tentang ‘mentoknya’ proses dana di biro Keuangan bukanlah cerita baru, pihak pemda tidak mau peduli dan seolah-olah kebal dengan berbagai desakan yang ada, sampai menimbulkan kesan bahwa orang yang berurusan ke Bagian Keuangan Pemerintah Daerah seperti ‘mengemis’, minta duit pribadi pegawai Keuangan. Lantas mereka memberikan alasan apa saja untuk tidak memberikan bantuan tersebut, ”... bahkan untuk anggaran yang sudah tertera di APBD sekalipun ...”, lanjut pegawai Kantor Pos tersebut. Anehnya, Dinas Pendidikan dan Pengajaran di tingkat Provinsi, Kota dan Kabupaten terkesan tutup mata dengan semua ini.

Menumpuknya buku-buku tersebut menimbulkan pertanyaan besar terhadap sistem pendidikan kita. Ada harus di beberapa sekolah (terutama di daerah pedalaman) tidak ada buku-buku pelajaran yang bisa didapat oleh murid dengan tanpa harus membayar. Pihak sekolah hanya bisa mendesak murid untuk langsung membeli buku paket di toko-toko buku, kalau tidak membuat diktat untuk kemudian dipaksakan kepada setiap murid membelinya. Bagi murid yang memiliki orang tua berpenghasilan lebih, mungkin tidak begitu bermasalah, akan tetapi buat murid yang tidak mampu, atau buat mereka yang sekolahnya nun jauh dari kota, tentu tak banyak yang bisa diberikan oleh guru-guru di kampung yang juga memiliki masalah sendiri yang cukup pelik seperti fasilitas mengajar yang sangat terbatas, kesejahteraan yang dianaktirikan dan kondisi kampung yang tanpa penerangan yang memadai dan juga jauh dari keluarga.

Bayangkan saja kalau dalam waktu sekitar 3 tahun buku tersebut tidak didistribusikan, dengan model kurikulum yang hampir setiap tahun berubah, tentu makin sia-sia perjalanan panjang untuk mendistribusikannya. Ironis memang, sebab ini terjadi di jaman Otsus yang justru memprioritaskan pendidikan.

Seperti apa kualitas pendidikan kita di jaman Otsus? Salah satu dampak dari buruknya sistem pendidikan kita bisa dilihat juga pada saat pelaksanaan Ujian Akhir Nasional (UAN) yang baru-baru ini berakhir untuk tingkat SMU dan SMK dan minggu ini dimulai untuk tingkat SMP. Nampak ada kekhawatiran yang luar biasa dari para pendidik terhadap kualitas murid-murid dan terutama demi nama baik sekolah masing-masing. Pada saat UAN di tingkat SMU, pihak sekolah sangat ketakutan, apalagi konon ada ancaman dari pihak Dinas Pendidikan dan Pengajaran kepada para Kepala Sekolah untuk bertanggungjawab meluluskan siswanya demi menjaga gengsi sekolah, Dinas Pendidika Kota dan Kabupaten serta Provinsi. Ada semacam ketakutan yang berlapis-lapis yang menyerang institusi pendidikan kita.

Akibatnya kebocoran ujian terjadi di mana-mana, bukan ulah satu dua orang guru secara pribadi, tapi ini sudah menjadi ulah kelompok, institusi, bukan saja di Jayapura atau Papua, tetapi terjadi di seluruh Indonesia. Praktek tidak terpuji tersebut yang dieksekusi oleh para guru di setiap sekolah dengan modus yang berbeda-beda, mulai dari mengirim SMS, via telepon ataupun catatan lembar jawaban, baik pada malam sebelum ujian atau pada saat ujian berlangsung yang diiselipkan pada lembar soal. Para guru tidak segan memberitahukan jawaban kepada peserta ujian kendati mereka diberikan tanggung jawab mengawas di sekolah yang lain, karena mereka ‘percaya’, bahwa guru-guru dari sekolah lain akan melakukan yang sama untuk melindungi murid di sekolah mereka.

Pantas saja di hari pelaksanaan ujian, banyak anak sekolah yang santai dan merasa tidak perlu belajar karena rupanya ada guru yang akan menolong mereka. Perbuatan seperti ini tentu sangat menyesatkan instrument pendidikan: murid, guru dan sekolah. Dalam situasi seperti ini sulit juga untuk menyalahkan guru secara sepihak karena sekarang guru tidak semata-mata berada di ruang kelas, tetapi juga harus terlibat (dibebani) dengan urusan mempertahankan jabatan dan kekuasaan, atau bahkan kesejahteraan mereka sendiri.

Nampaknya skenario ‘saling tolong-menolong’ saat ujian ini sudah diperhitungkan sebelumnya, dan untuk menutupi praktek tersebut pihak dinas sibuk menyiapkan mekanisme ‘pembelaan’ melalui pembentukan Tim Pengawas Independen yang bertujuan untuk memonitoring proses ujian tersebut. Tim Pengawas Independen pun dibentuk berlapis-lapis, terdiri dari sekitar 5 Tim (Tim A sampai E). Ada pengawas yang wajib turun lapangan, ada pengawas yang mengawasi pengawas dan tidak wajib turun lapangan, ada tim sekretariat, dll.

Akan tetapi pihak Dinas Pendidikan telah memasang pula ‘orang-orangnya’ dalam tim tersebut dan bertugas untuk berusaha menutupi ‘kejadian-kejadian aneh’ di sekolah-sekolah, seperti kebocoran soal, ujian tanpa ada pengawas, dan lain sebagainya, sehingga hasil akhir tim diharapkan hanya melaporkan hal yang baik-baik saja ke pada Dinas Pendidikan untuk diteruskan ke propinsi dan Pusat.

Dampaknya sudah jelas, pendidikan kita makin tidak bermutu dan amburadul. Buku-buku tidak tersedia dengan baik, sistem ujian yang tidak mandiri, belum lagi kisah klasik tentang guru-guru yang mengajar di kampung-kampung terpencil. Setelah Sekolah Dasar 6 tahun, plus 3 tahun menengah pertama dan 3 tahun menengah atas lantas (harus) diakhiri dengan praktek curang.

Di jaman Otsus ini, pendidikan bukan saja semakin mahal, tetapi juga semakin buruk kualitasnya di tengah-tengah persaingan hidup yang makin sulit.

Siapa yang bertanggungjawab?

Keterangan:
Empat anak SD di kampung Puay, Jayapura.
(andawat)