LAPORAN TAHUNAN ALDP: 2010
English Bahasa Indonesia

26 Juni 2008

KAMPANYE ANTI PENYIKSAAN

26 JUNI 2008

Hari Dukungan Internasional untuk Korban Penyiksaan

oleh: andawat

Salah satu pertimbangan dari diberlakukannya Undang-undang Otonomi Khusus di Provinsi Papua seperti yang tercantum dalam konsideran huruf f disebutkan “… bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di Papua selama ini belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, belum sepenuhnya memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat, belum sepenuhnya mendukung terwujudnya penegakan hukum dan belum sepenuhnya menampakan penghormatan terhadap hak asasi manusia di provinsi Papua, khususnya masyarakat Papua ...”.

Nyatanya, hingga kini perjuangan penegakan hak asasi manusia masih berjalan sangat lambat karena masih tingginya kepentingan kekuasaan atas pemerintahan dan rakyat di Papua. Selain itu instrumen hukum yang digunakan masih juga sangat terbatas hanya mengacu pada instrumet hak asasi manusia melalui UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 26/2000, tentang Peradilan HAM, serta peraturan lainnya yang masih sangat terbatas. Berbagai bentuk kejahatan kemanusian masih terjadi dengan berbagai bentuk dan pola yang digunakan. Sejumlah laporan yang disampaikan oleh berbagai pihak, termasuk korban dan keluarganya, menggambarkan situasi tersebut, termasuk kejahatan penyiksaan.

Defenisi Penyiksaan dalam pasal 1 Konvensi Anti Penyiksaan:
Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani, pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari orang itu atau dari orang ketiga dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh orang itu atau orang ketiga atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atau atas hasutan dari, atau dengan persetujuan atau dibiarkan oleh pejabat pemerintah atau orang lain yang bertindak dengan kapasitas resmi. Hal tersebut tidak termasuk kesakitan atau penderitaan yang timbul dari, melekat pada, atau berkaitan dengan sanksi-sanksi hukum.

Menurut Konvensi Anti Penyiksaan, pelaku dari penyiksaan adalah [1]. Aparat atau pejabat pemerintah, atau orang yang bertindak dengan kapasitas resmi; [2]. Orang atau kelompok yang mempunyai kewenangan atau kekuasaan di suatu wilayah. Defenisi ini untuk membedakan kategori Penyiksaan dengan penganiayaan, sebab dalam penganiayaan, pelaku tidak termasuk “bertindak dengan kapasitas resmi”. Sedangkan yang berkaitan dengan katergori kedua yakni pelaku adalah orang atau kelompok yang mempunyai kewenangan atau kekuasaan di suatu wilayah. hal ini pun harus melalui pernyataan resmi dari pemerintah yang sah untuk menunjukkan bahwa suatu kelompok, perlawanan politik, misalnya sedang berada pada suatu wilayah tertentu, memiliki anggota dan struktur kepemimpinan.

Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakukan Atau Penghukuman Lainnya yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia, atau yang lebih dikenal dengan Konvensi Anti Penyiksaan disetujui oleh PBB pada 10 Desember 1984, dan dinyatakan berlaku secara efektif pada 26 Juni 1987. Karenanya, tanggal 26 Juni ditetapkan sebagai hari Anti Penyiksaan oleh PBB.

Pemerintah Indonesia menandatangi Konvensi tersebut pada tanggal 23 Oktober 1985. Setelah 13 tahun, pada tanggal 28 September 1998 pemerintah Indonesia baru meratifikasi melalui UU No. 5 tahun 1998. Hingga kini, 105 negara telah menandatangani Konvensi tersebut.

Kewajiban bagi negara yang telah meratifikasi adalah menyampaikan laporan periodik tentang kondisi Penyiksaan di negaranya. Selain itu, Konvensi memberikan peluang yang sama kepada berbagai institusi non pemerintahan dari negara pihak (negara yang telah meratifikasi) untuk menyampaikan Alternative Report, yang akan digunakan Komite Anti Penyiksaan untuk melakukan cross check terhadap laporan negara. Sehingga laporan negara bukanlah sesuatu yang final, karena masih ada sejumlah mekanisme yang bisa ditempuh oleh Komite Anti Penyiksaan, maupun negara Para Pihak lainnya untuk memantau perkembangan penegakan hak asasi manusia di setiap Negara Pihak yang menandatangani Konvensi tersebut.

UU No. 5/1998 hanya merupakan Pengesahan dari Konvensi Anti Penyiksaan agar menjadi bagian dari perundang-undangan RI. Akan tetapi, hingga kini belum ada Peraturan Pelaksana yang merupakan defenisi operasional dari peraturan tersebut. Hal ini berbeda pada saat pemerintah meratifikasi CEDAW – Konvensi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan – yang kemudian ditindaklanjuti dengan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU No. 23/2004). Peraturan Pelaksana dari UU yang merupakan hasil ratifikasi sangat penting termasuk UU No. 5/1998 mengingat bahwa penyiksaan adalah salah satu hal yang sangat serius di Indonesia dan khususnya di Papua.

Salah satu akibat dari belum adanya peraturan pelaksana dari UU No. 5/1998 dapat dilihat pada praktek penegakan hukum, di berbagai institusi penegak hukum kurang memperhatikan dan mengakomodir instrument yang berkaitan dengan Konvensi atau undang-undang mengenai penyiksaan. Hal ini pun menjadi salah satu catatan penting dari kehadiran Pelapor Khusus PBB untuk Penyiksaan yang mengunjungi Jayapura, Papua pada bulan November 2007. Dari Laporan Manfred Novak, pelapor Khusus PB tersebut, dengan jelas menyebutkan berbagai bentuk penyiksaan telah terjadi di Indonesia, khususnya tanah Papua.

Di PBB sendiri, melalui Komite Anti Penyiksaan juga menilai bahwa masih banyak kewajiban yang belum dilaksanakan oleh Pemerintah RI dalam menjalankan Konvensi Anti Penyiksaan serta melindungi warga negaranya dari tindak penyiksaan. Komite lantas memberikan rekomendasi bagi Pemerintah RI, dalam bentuk: [1]. Pada amandemen konstitusi dan legislasi nasional, termasuk di dalamnya mengadopsi defenisi ‘Penyiksaan’ pada pasal 1 Konvensi Anti Penyiksaan ke dalam Undang-undang, khususnya di dalam KUHP; [2]. Pada bidang penegakan hukum, meliputi penyidikan dan penyelidikan atas pelanggaran HAM, termasuk penyiksaan yang terjadi di masa lalu, untuk kemudian diajukan ke pengadilan tanpa pandang bulu, termasuk terhadap pejabat-pejabat tinggi yang bertanggungjawab; [3]. Memperkuat dan meningkatkan kapasitas dan efektifitas Komnas HAM, reformasi di tubuh kepolisian sehingga dapat menjadi polisi sipil yang profesional, serta membuat panduan (juklak dan juknis) bagi aparat penegak hukum untuk menghindari tindak penyiksaan pada saat menjalankan tugas penegak hukum.

Menyadari permasalahan di atas, maka ALDP memandang perlu untuk terus melakukan kampanye, membangun pemahaman bersama dan menciptakan solidaritas bagi perjuangan penegakan hak asasi manusia melalui sosialisasi dan dukungan terhadap UU No. 5/1998 serta dukungan bagi korban Penyiksaan yang dimulai sejak tahun 2004 dalam berbagai aktifitas seperti: diskusi, dialog radio, penandatanganan petisi, aksi bagi bunga, teaterikal dan lain lain.

Untuk tahun ini, kegiatan difokuskan dalam bentuk: [1]. Bagi Bunga, tanggal 26 Juni 2008, jam 07.00 WIT bertempat di Jayapura, Abepura dan Sentani, yang melibatkan kelompok Mahasiswa kelompok potensial lainnya; [2]. Diskusi Refleksi tentang Penyiksaan dan Penegakan HAM di Era Otonomi Khusus di Papua tanggal 26 Juni 2008, jam 19.00 WIT di halaman Kantor ALDP, Padang Bulan. Diskusi ini akan menghadirkan Kapolresta Jayapura, Direktur KontraS Papua dan perwakilan dari Komunitas Survivor Abepura.

Kegiatan tersebut diharapkan mampu [1]. Menjaga keberlanjutkan Kampanye Hari Dukungan Internasional untuk Korban Penyiksaan; [2]. Sosialisasi UU Anti Penyiksaan; [3]. Membangun dukungan masyarakat terhadap korban Penyiksaan di Papua, dan [4]. Memetakan kebutuhan untuk melakukan pencegahan terhadap penyiksaan di Papua.
Adapun hasil yang diharapkan dalam kegiatan ini adalah: [1]. Adanya keberlanjutan kampanye Hari Dukungan untuk Korban Penyiksaan; [2]. Adanya sosialisasi UU Anti Penyiksaan; [3]. Adanya dukungan masyarakat terhadap korban penyiksaan di Papua; dan [4]. Adanya bahan untuk memetakan kebutuhan dalam rangka melakukan pencegahan terhadap penyiksaan di Papua.


Keterangan Foto:
Suasana koordinasi peserta aksi bagi bunga.
(andawat)