Oleh: Muridan S. Widjodjo
Pada 26 Juni 2008, Aliansi Demokrasi Untuk Papua (ALDP) dengan sponsor dari ICMC (International Catholic Migration Commission) dan IRCT (the International Rehabilitation Council for Torture Victims) menyelenggarakan aksi bagi bunga dan diskusi untuk kampanye anti penyiksaan. Pada pagi hari, sekitar 80 aktivis mahasiswa dan jejaring ALDP menyebar di sekitar Sentani, Abepura, dan kota Jayapura membagi 1,000 bunga dan 500 leaflet kepada para warga Kota dan Kabupaten Jayapura yang hendak menuju sekolah, kampus dan tempat kerja.Ketua ALDP Anum Siregar berujar, “kami berharap mereka yang berangkat ke sekolah, kampus dan kantor akan membawa bunga dan leaflet dan mendiskusikannya di tempat masing-masing dengan rekan-rekannya. Selanjutnya bunga dan leaflet itu akan dibawa pulang dan dibicarakan di rumah masing-masing. Dengan demikian, jika ada seribu bunga dan seribu leaflet, setidaknya ada 5.000 orang akan mendengar atau mendapatkan informasi tentang kampanye anti penyiksaan.
Pada malam harinya ALDP menyelenggarakan diskusi di ‘studio alam’ buatan crew ALDP. Acara dimulai dengan pembukaan oleh Ketua ALDP. Sebelum dilanjutkan dengan refleksi dua korban penyiksaan: Hendrik Yomo, saksi kekerasan ABRI 1972 dari Puay dan Peneas Lokbere, korban Abepura 2000 dari Wamena, suasana dramatis dan haru dibangun. Tiba-tiba lampu padam. Seketika itu pendar-pendar limabelas obor dan limapuluh lilin memenuhi arena.
Koordinator program, Mey, membacakan puisi Wiji Thukul dan Enos Lokobal dengan suara lamat-lamat membelah sunyi. Ketika haru dan hening memukau, suara Hendrik dan Peneas masuk menceritakan pengalaman kekerasan, refleksi, dan harapan mereka. Pertunjukkan slide berikutnya dengan tema “Kisah Sang Lilin” menyempurnakan suasana. Slide ini menceritakan bagaimana tiga lilin yakni Damai, Iman, dan Cinta memutuskan untuk padam. Tapi lilin keempat, yakni lilin Harapan, dengan bantuan anak kecil, kembali menyalakan ketiga lilin yang sudah padam.
Acara pada malam itu juga diperkaya dengan diskusi dua pembicara: Koordinator KontraS Papua Harry Maturbongs SH dan Kepala Bidang Pembinaan Hukum Polda Papua AKBP Pasero SH, dengan moderator penyiar RRI Papua, Amir Siregar. Maturbongs menunjukkan bahwa meskipun Indonesia sudah meratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan melalui UU 5/1998 peraturan pelaksanaannya belum ada. Selain itu belum ada lembaga yang menangani korban penyiksaan. Pada praktik sehari-hari warga yang menjadi korban takut melapor ke polisi, terutama apabila pelaku penyiksaan adalah aparat TNI atau kepolisian dan korbannya adalah tersangka kasus tertentu.
Satu-satunya cara yang efektif, jelas Maturbongs, adalah mendampingi tersangka selama penyelidikan dan penyidikan. AKBP Pasero sendiri menunjukkan bahwa sebenarnya secara normatif sudah ada sejumlah UU yang bisa digunakan oleh korban penyiksaan untuk menuntut secara hukum. Namun, UU itu sendiri belum bisa secara efektif dimanfaatkan oleh para korban. Misalnya, untuk hak kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi korban, diperlukan keputusan dari pengadilan HAM. Sedangkan belum pernah ada keputusan pengadilan HAM yang memenangkan korban dan menghukum pelakunya. Dari diskusi Maturbongs dan Pasero itu, diperoleh gambaran tentang halangan-halangan dan peluang bagi korban penyiksaan untuk memperoleh keadilan.
ALDP sejak 2004 memang mulai memberikan perhatian pada korban penyiksaan ini. Program Survival of Torture (SOT) ALDP di bawah koordinasi Merlin “Mey” Rumaikewi sejak 2006, program ini membuat forum yang disebut Kelompok Teman Bicara (KTB) di Kabupaten Jayapura yang tersebar di Demta, Puay, Ayapo, Yansu, Singgri, Krepang-Muaif, dan Nimbokrang serta di Waris, kabupaten Keerom. Dari KTB ini masyarakat dan ALDP bisa berbagi cerita dan memulai proses rekognisi dan rehabilitasi untuk menyembuhkan luka-luka kolektif yang mereka derita dalam diam sejak akhir 1960-an.
Acara malam Refleksi dan dukungan itu memang dipersembahkan kepada para korban. Hendrik Yomo dan Peneas Lokbere mewakili ribuan atau mungkin puluhan ribu orang Papua yang menjadi korban kekerasan, khususnya penyiksaan, oleh aparat negara (baca ABRI/TNI atau pun polisi) baik selama Orde Baru berkuasa maupun sejak masa Reformasi.
Pelaku menyakiti tubuh korban agar cita-cita yang bersemi di hati dan pikiran korban bisa dibunuh. Tapi ternyata penyiksaan tidak pernah bisa membunuh cita-cita. Penyiksaan hanya membuat luka di tubuh atau mencabut nyawa pemiliknya. Hasilnya adalah trauma dan dendam. Tidak hanya pada korban, tetapi juga anaknya, iparnya, bapaknya, ibunya, omnya, dan banyak orang lainnya yang mencintai dan pernah hidup bersama si korban. Hingga hari ini negara masih berhutang pada korban penyiksaan khususnya dan pelanggaran HAM pada umumnya.
Pada masa Reformasi, penyiksaan masih terus terjadi. Peneas adalah salah satu korbannya. Tapi karena banyak LSM dan organisasi masyarakat sipil lainnya sangat kritis terhadap hal ini, polisi, apalagi aparat TNI, jugamenjadi ekstra hati-hati. Kata Maturbongs, ada pola baru, yakni penyiksaan secara psikis dengan cara mengancam, menakut-nakuti, atau pun ancaman verbal lainnya pada saat korban dalam keadaan tak berdaya. Penyiksaan psikis adalah yang paling sulit dibuktikan meskipun banyak korban sudah berjatuhan. Lukanya menetap secara imajiner di dalam hati dan pikiran. Tak ada tubuh yang terluka, tapi ketakutan dan kecemasan merongrong rohani.
Kekerasan, termasuk penyiksaan, adalah luka yang dirasakan lalu diceritakan secara khidmat kepada para sahabat dan kerabat di kampung-kampung di tengah malam. Diwariskan kepada anak-cucunya. Disebar dan ditanam di dalam hati dan pikiran komunitasnya. Dongeng dan lagu-lagu memberi rumah bagi ingatan kolektif tentang kekerasan. Dari situ bersemi suatu budaya teror yang berakar pada ketakutan, kemarahan dan ketidakberdayaan... Mungkinkah pembangunan dan demokrasi yang sehat dibangun di tengah-tengah masyarakat yang menderita budaya teror semacam ini?