LAPORAN TAHUNAN ALDP: 2010
English Bahasa Indonesia

04 Juni 2008

Mafia Peradilan, Mungkinkah Dihilangkan . . . ?

Oleh: andawat

Mafia Peradilan, adalah kalimat yang sudah sering kali kita dengar, bahkan mungkin saja, sebagian dari kita telah menjadi korban dari praktek kotor lembaga peradilan ini. Semua sadar dan mengetahui bahwa betapa praktek ini begitu nyata, mengada di setiap proses peradilan. Namun tetap saja, praktek ini tidak dapat dibongkar.

Mafia peradilan setidaknya dapat dibagi dalam 2 kategori: Pertama, mafia peradilan terhadap perkara yang bernilai uang sangat tinggi, di Papua dapat dilihat pada perkara ilegal logging, korupsi, perjudian, penimbunan BBM ataupun perselisihan soal proyek. Pada perkara ini intervensi yang terjadi melalui ‘peredaran rupiah’ di antara penegak hukum. Ketua Pengadilan akan melakukan penunjukkan hakim untuk menangani perkara yang didaftarkan di pengdilan dan biasanya pula secara otomatis perkara tersebut langsung dipegang oleh Ketua Pengadilan setempat. Konon akibatnya terjadi ‘perebutan’ kasus antara para haikm dan sempat menimbulkan perselisihan, belum lagi bila perkara tersebut sempat dititipkan atau dimandatkan pada hakim pengganti bila hakim yang menangani perkara tiba-tiba harus dinas luar untuk waktu yang agak lama setelah itu hakim pengganti tidak mau menyerahkan kembali perkara tersebut ke hakim sebelumnya.

Kedua, mafia peradilan karena kebutuhan administrasi, biasanya yang berkaitan langsung dengan perkara seperti biaya untuk pendaftaran perkara perdata, pemanggilan saksi, surat bukti adopsi anak hingga yang bernilai cukup tinggi seperti surat penangguhan penahanan atau penyitaan yang berkaitan erat dengan kewenangan hakim penanganan perkara. Selain itu sistem dan mekanisme di negara kita banyak juga mensyaratkan otoritas lembaga peradilan untuk mengeluarkan pengesahan atau lisensi suatu kepentingan, misalnya surat legislasi pendaftaran dan atau pengesahan untuk perusahaan, LSM, organisasi sosial kemasyarakatan, bahkan juga lembaga keagamaan. Hal lain yang menarik surat yang dibutuhkan untuk kepentingan tertentu misalnya untuk seleksi anggota KPU atau anggota legislatif yang menjelaskan bahwa seseorang tidak sedang dalam perkara atau pernah terpidana.

Untuk semua kepentingan administrasi ini hampir tidak pernah ditunjukkan standar biaya sesungguhnya, sehingga penetapan harga tergantung pihak yang secara tekhnis mengeluarkan surat-surat tersebut. Sebut saja misalnya untuk mendaftar seleksi anggota KPU, Pengadilan Negeri Jayapura menetapkan biaya sebesar Rp. 300.000/orang, bayangkan saja untuk seleksi KPU tingkat Provinsi Papua ada sekitar 80 orang. Penetapan harga tersebut tentu sama sekali tidak ada landasan hukumnya. Lantas di kemanakan uang-uang tersebut? Begitu juga untuk pemanggilan saksi atau adopsi anak yang bernilai sampai jutaan. Apalagi kalau sudah menyangkut biaya penangguhan penanganan, besarnya harga surat tergantung besarnya nilai yang diperkarakan. Pembicaraan mengenai mafia peradilan ini tentu tidak adil jika hanya menyoroti hakim sebagai pemutus perkara yang terlibat di dalamnya, tetapi juga pihak administrasi di lembaga peradilan.

Di Pengadilan Negeri Jayapura, sudah menjadi perbincangan umum jika kepindahan 4 orang hakim beberapa waktu lalu sangat erat kaitannya dengan mafia peradilan ini. Konon kabarnya, hakim-hakim tersebut telah menerima suap dari pihak-pihak yang berperkara dalam kasus illegal logging di Papua. Entah terkait atau tidak, yang pasti, dari sekian kasus illegal logging di Papua hasil Operasi Hutan Lestari yang dilakukan oleh pihak Kepolisian 2 tahun lalu, hanya ada 6 kasus yang diajukan ke Pengadilan. Itupun, semua diputus bebas.

Tentu reputasi buruk ini ada juga kaitannya dengan penanganan kasus makar karena beberapa hakim tersebut juga sering menangani kasus makar, di mana pada kasus tersebut mereka selalu bertindak tidak netral, mengabaikan fakta-fakta di persidangan, bahkan di antaranya bersikap brutal dengan mengeluarkan kata-kata bernada intimidatif (kasus 16 Maret 2006), bahkan sampai memukul pengunjung (kasus 10 Mei 2005) dan beberapa kasus lainnya. Beberapa LSM kemudian membuat laporan dan menuntut adanya tindakan tegas dari pihak Pengadilan Tinggi Papua, Mahkamah Agung dan juga Komisi Yudisial, pekerjaan investigasi dan pelaporan mengenai kinerja hakim terus dilakukan oleh ALDP bersama Komisi Yudisial hingga kini.

Selain itu, peran lembaga Kejaksaan juga tidak kalah besarnya dalam menghitamkan lembaga peradilan kita. Bahwa pencopotan beberapa pejabat di lingkungan Kejaksaan Tinggi Papua beberapa bulan lalu adalah bukti betapa lembaga ini tidak lebih bersih dari lembaga peradilan lain. Bahkan ada satu sumber yang mengatakan bahwa seorang terdakwa kasus korupsi telah menyuap pihak Jaksa Penuntut Umum 2 kali lipat jumlahnya dari uang yang dikorupnya. Heh!!

Selesai sampai di sini? Tidak! Pihak yang juga ikut bertanggungjawab dalam mafia peradilan adalah Pengacara atau Penasihat Hukum. Pihak inilah yang selalu menjadi ‘negosiator’ antara tersangka / terdakwa dengan penegak hukum lainnya, dimulai dari proses Penyidikan dan Penahanan di tingkat Kepolisian dan Kejaksaan serta Hakim ketika proses persidangan di Pengadilan.

Pada satu kesempatan, salah seorang Pengacara yang cukup ternama di Jayapura bercerita, pernah mendampingi seorang klien yang sedang menjalani proses perkara korupsi di Papua. Sang Penasihat Hukum mengakui bahwa proses negosiasi ini dilakukannya sejak dari tingkat Kepolisian hingga di tingkat Majelis Hakim yang menangani perkara tersebut. Di tingkat Kepolisian, pengacara yang tentunya mewakili kepentingan tersangka, bersama penyidik ‘bisa mengatur’ mulai dari masa penahanan, hingga isi dari Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Belum lagi kisah para tersangka perjudian (bandar judi) yang sering ditangkap tapi tidak pernah sampai diproses hukum ataupun kasus sitaan illegal logging yang bisa hilang ‘di depan mata’ aparat kepolisian, jangankan yang ada di hutan, di samping Polsek sekalipun, bahkan yang sedang diparkir bersama kapalnya!

Sampai di sini, mungkin tidak salah jika ada anggapan bahwa hukum di negeri ini hanya milik orang yang punya uang. Sedangkan kita yang tidak punya uang dan akses, siap-siap untuk terus menjadi pecundang keadilan. Menjadi beralasan juga jika ada anggapan bahwa mengharapkan keadilan di negeri tercinta ini ibarat mencari jarum pada tumpukan jerami kering. Mungkinkah keadaan ini menjadi lebih baik?

Di tingkat kebijakan, sebagian orang menilai bahwa ketika Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan keputusan yang memangkas sebagian besar kewenangan yang dimiliki Komisi Yudisial (KY) dalam hal pengawasan terhadap perilaku hakim menjadi titik balik dari salah satu upaya pemberantasan mafia peradilan ini. Sikap pesimis semakin menjadi besar ketika tidak ada itikad baik yang ditunjukan oleh Pemerintah (Menkumham) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk menyelesaikan RUU Revisi UU KY, MK dan MA, terbukti sudah 2 tahun terakhir RUU itu terus menjadi wacana yang tidak pernah diselesaikan.

Langkah untuk menciptakan peradilan yang lebih berwibawa telah juga dirintis oleh KY bersama jejaringnya sejak beberapa waktu lalu, terakhir dengan pertemuan pada tanggal 21 – 23 Mei 2008 di Jakarta, di mana ALDP menjadi salah satu jaringan KY di Papua turut pula hadir pada pertemuan tersebut. KY melalui Koalisi Nasional untuk Peradilan Bersih (KNPB), yang merupakan gabungan LSM dan kelompok civil society lainnya dari seluruh Indonesia tidak henti mendesak DPR dan Pemerintah untuk segera membahas dan mensahkan regulasi yang diharapkan bisa sedikit memperbaiki wajah hukum Indonesia Raya yang sudah hancur lebur ini.

KNPB sendiri sudah 3 kali mendatangi Komisi III DPR RI. Terakhir, pada 22 Mei 2008 lalu, KNPB kembali mendatangi Fraksi PDIP dan Fraksi PKS dengan harapan setidaknya pada Desember 2008, pembahasan mengenai RUU tersebut telah selesai, karena pada tahun 2009 semua para anggota legislatif pasti sudah sangat sibuk dengan pelaksanaan Pemilu 2009. KNPB tidak saja mendesak para pengambil keputusan untuk segera menyelesaikan RUU tersebut, tapi juga memberi masukan terhadap isi RUU Revisi UU KY, MK dan MA. Serta membuat Petisi.

Memang ini bukan pekerjaan mudah, tapi tidak ada alasan untuk terus memperbesar sikap pesimis dan ketidakpedulian kita terhadap upaya memperbaiki wajah lembaga peradilan di Indonesia.


Keterangan Foto:
Dari kiri ke kanan: Septer Manufandu (Sekretaris Eksekutif Foker LSM Papua), Muridan S. Widjodjo (Peneliti LIPI), Leonard Imbiri (Direktur YADUPA), Budi Setyanto (Direktur ICS) dan Latifah Anum Siregar (Ketua ALDP). Seusai sidang Gugatan Legal Standing LSM terhadap Pemerintah Provinsi Papua di PN Jayapura.
(andawat)