LAPORAN TAHUNAN ALDP: 2010
English Bahasa Indonesia

01 Mei 2009

Penyiksaan Terhadap Terdakwa Buchtar Tabuni Masih Berlanjut : JPU, Para Ahli dan Kaum Akademisi Tidak Menunjukkan Tanggungjawabnya.


Oleh : Andawat

Persidangan hari rabu tanggal 22 April 2009, dimulai pukul 9.45 WP dengan acara Pemeriksaan Saksi Ahli. Terdakwa Buchtar Tabuni dijemput oleh petugas Kejaksaan dan aparat kepolisian dari LP Abepura hingga tiba di PN Negeri Jayapura. Kemudian mereka membawa Terdakwa melewati sisi kiri luar ruang sidang utama, entah ke mana tujuannya, jika menuju sel tentu mereka dapat membawa Buchtar melewati sisi ruang sidang. Biasanya sebelum sidang, Buchtar Tabuni duduk menunggu di kursi depan ruang sidang utama atau bahkan langsung masuk ke ruang siding, karena setiap kali Buchtar sudah datang, sidang segera dimulai. Persidangan kali ini juga mendapat pengawalan ketat dari aparat keamanan Polresta Jayapura, yaitu aparat 2 SSK yang terdiri dari Dalmas Polresta Jayapura dan pasukan huru-hara Brimob Detasemen A.


Terdakwa saat itu memang sempat menyatakan keberatannya karena langsung dibawa ke arah belakang ,”lepas saya, karena hak saya untuk bertemu Pengacara ”protesnya, rupanya kedua tangannya dijepit ketat. Saat itu menurut pengakuan Buchtar, dia langsung dipukul, seorang preman berbaju kaos kuning yang memukulnya pertama kali, pria itu bergabung dalam rombongan petugas kejaksaan dan kepolisian yang mengawalnya. Seorang calon hakim di pengadilan yang melihat kejadian tersebut memberitahukan kepada Faisal Tura, SH, anggota Tim PH, Faisal Tura, SH langsung berteriak “kenapa dia dipukul..!” sambil memberitahukan teman tim PH yang lain. Faisal Tura, SH memang tidak melihat pemukulan tersebut tapi dia sempat melihat polisi dan petugas kejaksaan menarik Buchtar yang sempat jatuh di lantai.
Setelah itu, Buchtar dibawa ke depan ruang sidang yang sudah dipenuhi oleh petugas kepolisian, kejaksaan, tim PH dan pengunjung sidang lainnya. Pieter Ell, SH bertanya kepadanya..’’ kenal siapa yang pukul kamu?..’ Terdakwa katakan..” aparat yang mengawal saya, pertamanya seorang yang berpakaian kaos kuning terus semua pukul saya..”. Dengan gemetar Buchtar menunjukkan lengan kirinya di bagian dalam yang terlihat memar akibat cengkraman yang kuat, dia juga melipat kaki celana panjangnya menunjukkan bagian yang dipukul oleh aparat, di siku kirinya mengeluarkan darah seperti bekas pukulan atau goresan.

Maskel, SH salah seorang JPU menanyakan kepada Faisal Tura, SH yang saat itu sedang memegang kamera, jika benar ada pemukulan apakah Faisal Tura, SH merekamnya. Pertanyaan itu langsung saja membuat marah tim PH, Anum Siregar SH mengatakan..”kamu tanyakan kepada aparat kejaksaan dan polisi yang kawal, bukan tanya direkam atau tidak..!”tegasnya. Sempat terjadi adu mulut antara Tim PH dan JPU. JPU masih bersikeras bahwa tidak terjadi pemukulan, seorang aparat kejaksaan yang bernama Anjas Purbo. S, SH yang mendampingi Buchtar Tabuni tak bisa bicara jelas dan gemetar saat diserang oleh Anum Siregar dengan pertanyaan..”kamu yang kawal apakah kamu tidak lihat dia dipukul?...’ Dia mengatakan tidak melihat..”..lucu, kamu buta?!”.

Pieter Ell, SH mengatakan keherannya terhadap aparat yang menjaga Buchtar berlebihan, padahal sudah begitu banyak pengawalan, tetapi Buchtar diperlakukan seperti teroris,..’kenapa harus dikawal seperti itu, apakah kalian pikir dia punya sayap dan akan terbang?’..tanyanya. Pada persidangan sebelumnya Buchtar sudah menyatakan kekhawatiran terhadap perlakuan pihak kejaksaan dan kepolisian, dia sempat minta dijemput oleh PH dari LP untuk dibawa ke pengadilan. Bukan itu saja, sudah berkali-kali dia mengatakan perasaan yang tidak aman di dalam LP, karena selalu ada orang yang mondar-mandir bahkan duduk-duduk di depan selnya dan menanyakan keadaannya kepada tahanan yang lain. Setelah suasana lebih tenang, tim PH menyarankan kepada terdakwa untuk nanti meminta penundaan siding, karena nampak terdakwa tidak siap secara psikis.

Saat majelis hakim menanyakan kesehatan Buchtar, Buchtar langsung menyatakan sehat tetapi tidak bersedia mengikuti persidangan karena dia merasa tidak nyaman karena dia dipukul sebelum sidang. Majelis hakim meminta kepada JPU untuk melakukan pemeriksaan kesehatan terhadap Buchtar Tabuni, pada sidang saat itu juga JPU belum bisa menghadirkan saksi ahli lainnya sehingga sidang ditunda ke minggu berikutnya. Setelah sidang, sebagian PH langsung menuju Polresta untuk membuat laporan polisi atas pemukulan yang dialami oleh Buchtar Tabuni dan sebagian menuju LP berkaiatan dengan rencana pemeriksaan kesehatan Bucktar Tabuni.

Pagi hari sebelum sidang tanggal 29 April 2009, JPU Maskel, SH mengatakan kepada Anum Siregar, SH bahwa Buchtar enggan ke persidangan dan minta dijemput oleh PH nya. Hal ini dapat dimaklumi karena peristiwa pemukulan pada sidang sebelumnya. Sebenarnya pada awalnya diantara PH sendiri terjadi perbedaan pendapat. Ada yang mengatakan tidak perlu menjemput ke LP sehingga kalau Buchtar tidak mau bersidang biarkan saja tanggungjawab JPU. Akan tetapi ada yang berpendapat, bahwa jika PH tidak menjemput maka PH dapat dituduh menghalangi proses hukum yang sedang berjalan, kita apalagi Buchtar mengharapkan proses ini cepat selesai selain itu dikhawatirkan juga bila JPU akan melakukan upaya paksa, makin membuat terdakwa tertekan secara psikologis dan bisa berakibat fatal lainnya.

Maka Betsy Pesiwarissa, SH, Anum Siregar, SH, Harry Maturbongs, SH, Iwan K Niode, SH dan Faisal Tura, SH menuju LP. Sesampai di LP, kasatreskrim Polresta Jayapura dan aparat kepolisian lainnya serta pihak kejaksaan sudah menunggu, oleh petugas LP, Tim PH diminta langsung bertemu Buchtar Tabuni di ruang pembinaan. Buchtar nampak lega, setelah menandatangi surat ijin keluar, mereka menuju halaman utama LP dimana mobil tahanan sudah menunggu, Faisal Tura, SH mendapat tugas menemani Buchtar dalam mobil tahanan. Penjemputan Buchtar dari LP ke pengadilan setiap kali berlangsung dramatic karena Buchtar Tabuni dibawa menggunakan mobil truk tahanan kepolisian yang memiliki kamar khusus, sehingga ada 2 bagian pada bak truk yang sirinenya meraung-raung saat menuju pengadilan, selain itu 2 truk penuh Dalmas. LP pun dijaga ekstra ketat mulai pagi hari.

Saat sidang dimulai majelis hakim mempersilahkan JPU membacakan keterangan ahli karena ahli yang ditunggu tidak datang meski menurut JPU, mereka telah meminta sebanyak 3 kali kepada pihak universitas dan yang bersangkutan. Hal ini memicu perdebatan karena tim PH tidak mengehendaki keterangan tersebut dibacakan, Ahli Hukum Pidana yakni DR.H.Muhammad Said Karim,SH dan Prof. Dr. Achmad Ruslan SH,MH, ahli hukum tata Negara seharusnya hadir karena Tim PH berkepentingan untuk mengkonfrontir keterangannya dan wujud tanggungjawab keilmuwannya di depan persidangan, seperti yang sudah dilakukan oleh saksi ahli bahasa Indonesia Drs. Gustaaf Manuputty M.Hum tanggal 15 April 2009. Majelis hakim menyarankan agar tim PH mendengarkan terlebih dahulu bahkan meminta tim PH untuk membuka pasal 162 KUHAP yang menjelaskan keterangan saksi dapat dibacakan bila sudah diambil sumpahnya/janji dan jika ingin tidak dibacakan seharusnya mengubah dulu pasal 162 KUHAP tersebut. Tim PH bersikeras menolak dan mengatakan, bahwa ini praktek yang sering dilakukan pada sidang makar dikhawatirkan akan digunakan praktek yang sama pada persidangan Sebi Sambon dan terdakwa makar lainnya untuk waktu yang akan datang. Tim PH meminta sidang diskors selama 10 menit untuk memberikan kesempatan kepada Tim PH dan terdakwa berdiskusi. Majelis hakim mengijinkan.

Pada saat skorsing, PH menjelaskan kepentingan dan konsekwensi mengenai keterangan ahli, sejujurnya keterangan ahli dipandang sangat merugikan Buchtar Tabuni dan ini berbeda denagn keterangan saksi selama persidangannya meski saksi yang dihadirkan adalah saksi dari JPU. Disepakati PH dan terdakwa akan menolak keterangan ahli, meminta agar penolakan tersebut dicatat oleh panitera dan meminta perhatian kepada pihak kejaksaan untuk menjadikan pembelajaran pada persidangan makar. Saat sidang dilanjutkan, Harry Maturbongs, SH menyampaikan kesimpulan dari pertemuan singkat antara PH dan terdakwa meski begitu keterangan tetap dibacakan.

Sebelum sidang ditutup, Iwan K Niode, SH yang sempat kecewa dan tidak mau mengikuti sidang berikutnya, tiba-tiba memasuki kursi PH dan minta waktu untuk bicara sambil memegang KUHAP. Dia langsung mengatakan “..Majelis hakim yang terhormat, kami berpendapat bahwa majelis hakim keliru menterjemahkan pasal 162 KUHAP sebab yang dimaksud pasal tersebut, yang dapat dibacakan keterangannya adalah keterangan saksi, bukan keterangan ahli , jika keterangan ahli dimaksudkan juga pada pasal tersebut maka bunyinya menjadi : keterangan saksi dan atau keterangan ahli, sebab semua isi KUHAP memisahkan yang namanya saksi dan ahli. Sehingga pembacaan keterangan ahli dipersidangan tidak memiliki dasar hukum, dengan kata lain keterangan ahli harus langsung disampaikan di depan persidangan..!” Iwan meminta agar majelis hakim mengecek kembali bunyi pasal 162 tersebut. Sidang menjadi ramai, namun majelis hakim tidak bersedia memperpanjang perdebatan tersebut dengan mengatakan..” semua yang terjadi dipersidangan akan kami catat dan petimbangkan..’ kemudian Majelis hakim menutup sidang sambil memberi kesempatan kepada terdakwa dan PH untuk menghadirkan saksi meringankan pada sidang tanggal 6 Mei 2009 yang akan datang.

Pihak PH sangat tidak puas karena menilai majelis hakim dan JPU tidak fair bahkan keliru menterjemahkan pasal 162 KUHAP. Selain itu juga akan menjadi praktek yang biasa, bahwa ahli tidak bersedia hadir memberikan keterangan langsung pada saat persidangan, mungkin juga karena keterangan ahli bahasa Indonesia dari Unhas, Drs. Gustaaf Manuputty, M Hum yang hadir pada sidang sebelumnya telah dicecar ramai oleh Tim PH. Pertanyaan lainnya mengapa JPU mengambil ahli dari luar Papua, dicurigai ini akan menjadi model untuk kemudian mensiasati ahli tidak datang, keterangannya hanya dibacakan dan proses ini sangat merugikan terdakwa karena keterangannya tidak bisa dikonfrontir. Persoalan lain, seharusnya para ahli juga merasa malu kalau tidak datang setelah memberikan keterangannya dimana tanggungjawab ilmunya juga dimana tanggungjawab pihak Universitas (UNHAS) dalam mencetak akademisi-akademisi yang keahliannya sulit diuji secara hukum dan dihadapan publik.

Keterangan foto : Suasana diskusi antara PH dan terdakwa saat skorsing sidang, Pengadilan Negeri Jayapura tanggal 29 April 2009, andawat.