LAPORAN TAHUNAN ALDP: 2010
English Bahasa Indonesia

11 Mei 2009

Alasan Kesejahteraan : Pemicu Konflik Internal di Kalangan Prajurit TNI


Oleh : Andawat

Hanya beberapa hari setelah Pangdam XVII Cenderawasih, Mayjen. A.Y. Nasution menggelar pertemuan dengan berbagai komponen masyarakat sipil untuk merespon kejadian sebelum dan setelah pemilu legislative 9 April 2009, di Jayapura, terjadi insiden sesama prajurit di markas Batalyon 751/BS di Sentani. Hal yang jadi pemicu adalah persoalan kesejahteraan para prajurit terutama yang masih berpangkat tamtama.


Pada tanggal 29 April 2009, di markas Batalyon 751/BS Sentani setidaknya ada 2 kejadian. Pagi hari diawali dengan mogoknya beberapa prajurit, mereka hanya berkumpul tanpa mahu melaksanakan tugas masing – masing. Komandan Batalyon (Danyon) sempat melakukan pertemuan dan mereka akan kembali beraktifitas, akan tetapi tak lama datanglah puluhan prajurit dari Kompi E Senapan yang berlokasi di Arso, Kabupaten Keerom dengan menggunakan truk TNI. Mereka menumpahkan kemarahan terhadap pimpinan Batalyon yang dinilai menelantarkan rekan mereka Pratu Joko. Pratu Joko meninggal di RS Marthen Indey Jayapura tanggal 26 April 2009.

Pratu Joko dimakamkan di tanah kelahirannya di Nabire berdasarkan wasiatnya. Namun karena masalah biaya, keberangkatan jenazah tertunda hingga tanggal 29 April 2009. Biaya pengiriman jenazah sekitar 70 juta, sebanyak 40 juta diperoleh dari rekan – rekannya dan ditambah sekitar 30 juta dari pihak ketiga. Rekan –rekannya berharap uang mereka akan diganti oleh pihak kesatuan, menurut mereka kesatuan memiliki dana untuk keperluan tersebut. Akan tetapi Kesatuan tidak menunjukkan tanda-tanda akan mengganti uang mereka. Awalnya pun kesatuan tidak mengijinkan Aula Batalyon digunakan untuk tempat semayamkan jenazah, hingga terjadi protes dari rekan Alm.Pratu Joko.

Akibatnya situasi yang mulai reda kembali memanas tiba-tiba, Danyon dan para perwira lainnya segera menghindar dari amukan prajurit, kepala Wadanyon sempat mengalami luka bocor akibat lemparan benda keras. Tembakan, hujatan dan lemparan benda – benda tajam terus menghujani markas, kaca-kaca kantor berhamburan, honay di dekat rumah Danyon dibakar. Para perwira sempat diungsikan ke markas TNI AU yang tak jauh dari batalyon 715/BS. Prajurit yang memberontak, ada yang berjaga – jaga di jalan, mereka melarang orang mendekat, kayu- kayu turut dilempar ke jalan, seorang wartawan yang mencoba meliput, kameranya dirampas dan terus dicari. Orang-orang dan kendaraan sekitar TKP yang tepat di jalan utama Sentani berlarian, panik mencari perlindungan, melihat tentara sedang mengamuk di markasnya sendiri.

Sekitar pukul 15.30 WIT, Pangdam XVII TRIKORA, datang dan melakukan pertemuan dengan prajurit yang mengamuk, beliau berjanji akan menyelesaikan masalah tersebut hingga tuntas. Kasad Jenderal TNI Agustadi Sosongko Purnomo datang ke Jayapura keesokan harinya. Setelah turun dari pesawat, Kasad bersama Pangdam dan beberapa perwira Kodam XVII Cenderawasih langsung menuju Batalyon guna bertemu dengan para parjurit, kemudian bergerak ke Kompi E Senapan di Arso setelah itu, menuju markas Kodam XVII Cenderawasih di Polimak, semua rutenya menggunakan Helicopter.

Danyon 751/BS Sentani Jayapura Letkol. Inf. Lambok Sihotang, yang baru bertugas sekitar 9 bulan, wadanyon Mayor. Inf. Raymond Power Simanjuntak, Komandan satuan intelijen Inspektur satu Simbolon dicopot dari jabatannya dan mereka juga diperiksa oleh Polisi Milter Kodam.”..menunggu adanya pengganti, untuk sementara Yonif 751 dikendalikan Pangdam..” tegas Kasad. Dari pertemuan dengan KASAD setidaknya ada 20 tuntutan yang disampaikan oleh para prajurit, hampir semuanya berkaitan dengan kesejahteraan.

Sebenarnya sejarah tak sedap mengenai kesejahteraan para prajurit di Batalyon dan di kesatuan lainnya bukanlah hal yang baru. Mulai dari ULP (uang Lauk Pauk) prajurit bujang yang dipotong (diambil) langsung oleh Kesatuan karena kesatuan menyediakan dapur umum. Prajurit yang menginap di barak bujang, mendapatkan jatah makan dari dapur umum, mereka mengeluhkan menu makanan yang jauh dibawah standar dari uang yang mereka berikan sehingga biasanya kalau bulan muda (pas gajian) mereka memilih makan di warung – warung di luar, hanya bila tanggal tua atau tidak ada uang baru mereka mengunjungi dapur umum.

Prajurit yang baru masuk ke Batalyon juga menjadi sasaran empuk , segala keperluan mereka disiapkan oleh Kesatuan termasuk kasur, keseluruhan biaya akan dipotong dari gaji mereka, biasanya barang –barang yang sudah dibeli dihargakan jauh lebih tinggi dari harga yang semestinya. Selain itu gaji mereka juga sering dipotong untuk kegiatan – kegiatan yang menurut mereka sulit untuk dideteksi akan tetapi sulit juga untuk mereka tolak juga.

Selain itu, kita juga bisa lihat di beberapa tempat, sekitar markas atau kompleks Kesatuan TNI, dikontrakan atau disewakan untuk kegiatan bisnis. Lihat saja lokasi kesatuan di sekitar jalan utama di Waena seperti di depan Den Zipur, Den Intel Waena dan Kompleks Perumahan Bucen III. Dulu bisnis tersebut berdiri di bawah yayasan atau koperasi, namun sekarang lebih banyak diatur secara internal (pimpinan) kesatuan. Hasil penyewaan tersebut sangat besar, penggunaannya hanya diketahui oleh orang tertentu di kesatuan sehingga kadang menimbulkan kecemburuan dari anak buah.

Kepatuhan anak buah pada pimpinan di kesatuan ditunjukkan tidak saja di kantor tetapi juga di rumah, mereka bekerja banyak hal termasuk membersihkan kebun dan taman. Menjelang perayaan hari – keagamaan, aktifitas biasanya meningkat, sampai –sampai sang komandan tidak menyadari kalau anak buahnya memiliki keluarga, istri dan anak yang juga sibuk mau merayakan hari keagamaan tersebut. Ada juga pekerjaan sipil yang diambil oleh TNI untuk dikerjakan, anak buah tidak tahu bagaimana prosedurnya mereka hanya ditugaskan bekerja, hanya diberikan makan siang, tanpa upah padahal itu jelas – jelas proyek infrastruktur di luar kesatuan.

Warna lain yang dapat kita lihat mengenai kondisi prajurit digaris depan (bawah?) pada saat mereka mengikuti gladi perayaan hari –hari besar, semisal hari 17 Agustus atau Sumpah Pemuda, kalau sudah selesai gladi dan diumumkan ‘ambil jatah snack’ biasanya pihak kesatuan yang lain langsung pulang termasuk kepolisian, kalau ditanya mengapa karena mereka akan dibagi TB (jatah makanan instan TNI) padahal menurut mereka, biaya konsumsi untuk kegiatan dimaksud sudah ada.

Di beberapa pos, di daerah perbatasan, beberapa orang prajurit menceritakan keluhan mereka yakni kurang mendapatkan perhatian : droping bama sering terlambat, jarang semua anggota pos sehat pada waktu yang bersamaan sebab biasanya mereka bergilir mendapat serangan malaria. Seperti di Waris, kabupaten Keerom, mereka harus mengeluarkan uang menggunakan jasa HP satelit wartel Pastori untuk berkomunikasi dengan keluarga, belum lagi biaya rokok. “Polisi di jaman OTSUS begini enak, lebih sejahtera dibanding kami…”ujar seorang parjurit.

Beberapa diantara mereka ada yang berbisnis ‘kecil-kecilan’ seperti yang dilakukan prajurit TNI di sekitar pos non organic di Kiwirok , Penggunungan Bintang. Pesawat Cesna milik TNI yang tugas utamanya untuk mendropping bahan makanan prajurit sering dicarterkan ke pihak pemerintah sipil termasuk distrik, biasanya untuk mengangkut beras. Selain itu digunakan juga untuk alat transportasi bisnis pos misalnya mengangkut mie instan (muat max 400 karton) dari arah Jayapura yang dibeli seharga Rp.30 ribu/karton dan dijual seharga Rp.100 ribu/karton kepada kios –kios milik BBM (Buton Bugis Makasar) atau masyarakat yang langsung membeli.

Di Arso Keerom, BBM (bahan bakar minyak) yang dibawa oleh pesawat milik TNI untuk jatah prajurit di pos, kadang juga dijual kepada pedagang tertentu dari pedagang tersebut baru diecer ke masyarakat. Biasanya atas inisiatif ‘pos’ untuk menambah uang saku mereka, sedangkan untuk masak, mereka mencari kayu dan menggunakan tungku .

Makin meluasnya praktek ketidakadilan di lingkungan kesatuan TNI bisa jadi dikarenakan beberapa praktek bisnis TNI di lingkungan luar (kesatuan) tidak bisa dilakukan dengan sangat bebas seperti dulu lagi, paling tidak praktek yang masih dilakukan harus lebih rapi (terselubung). ”Sekarang semua orang tahu, tidak bisa lagi merekayasa – rekayasa, semua orang tahu. Saya kira berbahaya kalau TNI merekayasa…”demikian ujar pangdam XVII Mayjen A.Y. Nasution pada saat menjamu aktifis LSM di kediamannya tanggal 20 april 2009. Dulu bisnis gaharu meningkat pesat demikian juga bisnis kulit buaya, kayu, ikan dan lain sebagainya dengan penghasilan yang cukup besar….”…kini bisnis luar TNI makin ketat dipantau oleh masyarakat akibatnya di dalam kesatuan, kesejahteraan anak buah menjadi korban…”kata seorang teman.

Peristiwa 29 April 2009 ,di Sentani berlanjut menjadi perbincangan hangat di jajaran berbagai kesatuan TNI di Jayapura. Seorang perwira di kesatuan lain, mengatakan “bagus ada kejadian itu, supaya ULP kita dinaikkan, menjadi 100 ribu /hari…” Namun ada yang menimpali..”Iya, tapi kalau prajurit terus ditindas sama saja, dinaikkan berapapun…”. Rupanya persoalan kesejahteraan menggunung es di dalam tubuh TNI sehingga perlu dibenahi dengan perhatian yang serius dari institusi agar tidak memelihara konflik yang siap meledak antara pimpinan dan bawahan seperti yang terjadi di Batalyon 751/BS Sentani.

Keterangan Foto : Suasana pertemuan Masyarakat kampung Yougapsa Distrik Demta dengan Danpos, difasilitasi oleh ALDP, April 2006.