LAPORAN TAHUNAN ALDP: 2010
English Bahasa Indonesia

09 September 2009

Kesehatan : Prioritas OTSUS Yang Banyak Memproduksi Masalah

Oleh : Andawat
Ketika gubernur mengeluarkan Peraturan Gubernur No.6 Tahun 2009 tentang Pembebasan biaya pelayanan kesehatan, banyak orang menyambutnya dengan sukacita dan berharap bahwa hal ini benar menunjukkan perhatian yang serius dari pemerintah dan akan membawa arah baru bagi pelayanan kesehatan serta menjadi salah satu indicator keberhasilan OTSUS. Peraturan gubernur tersebut berisi kewajiban dalam bentuk pengadaan barang dan fasilitas yang harus disiapkan oleh pihak rumah sakit baik di tingkat provinsi, kota, kabupaten dan di tingkat Puskesmas.

Sedangkan menyangkut penghargaan dan perlindungan sesuai dengan standar minimal yang sepantasnya diberikan kepada petugas medis termasuk mekanisme komplain tidak jelas diatur. Padahal penting ditegaskan mengingat salah satu persoalan besar yang dialami bidang kesehatan pada akhir-akhir ini bukan saja soal mahalnya pelayanan kesehatantermasuk obat-obatan tapi ketersediaan tenaga medis serta realisasi pembayaran honor bagi mereka. Sebelumnya juga telah beberapa kali terjadi aksi demo yang dilakukan oleh tenaga medis akibat tertundanya honor, insentif serta hak-hak lainnya.

Benar adanya, beberapa bulan setelah dikeluarkannya peraturan tersebut, mulai muncul persoalan di tingkat institusi kesehatan, ada perdebatan soal akan diserahkannya management rumah sakit Abepura, berkurangnya dokter ahli dan fasilitas kesehatan di rumah sakit Jouwarry Kabupaten Jayapura hingga yang sedang ramai dibicarakan adalah persoalan managemen di RSUD Dok II Jayapura.

Persoalan ini mulai terekspos melalui harian Bintang Papua tanggal 25 Agustus 2009 berkaitan dengan ketersediaan makanan di rumah sakit. Dikabarkan bahwa sejak tanggal 22 Agustus pasien hanya makan bubur tanpa lauk. Seorang suster senior di bagian pengawas perawat mengatakan itu bukan kali pertama sebab ditahun ini saja sudah terjadi dua kali. Bukan itu saja peralatan medis yang lain juga terbatas, misalnya pasien orang dewasa menggunakan jarum infus anak-anak. Sebenarnya stok bama di gudang sebenarnya sudah kosong sejak Januari. Ketika ditanyakan kepada Kepala Bagian instalasi Gizi Viktor Wakarwani, yang bersangkutan malah mempersilahkan pihak yang ingin tahu agar bertanya langsung ke pihak managment rumah sakit.

Permasalahan lain yang dialami RSUD Dok II adalah masalah jasa cleaning service yang belum dibayarkan sejak tahun 2009 dan honor perawat yang tidak dibayarkan selama 6 bulan. Bahkan pada tanggal 1 September 2009, ada sekitar 13 bidan mogok di setiap shift pagi, siang dan sore akibatnya pelayanan langsung dilakukan oleh dokter special dan tenaga medis magang. Menyusul mogok yang dilakukan sekitar 100 perawat di depan ruang UGD pada tanggal 7 September 2009. Mereka menuntut insentif yang belum dibayarkan oleh pihak rumah sakit bahkan ada kesan pembayaran insentif dilakukan tidak merata.

Pihak managemen RSUD DOK II memberikan komentar dengan mempersoalkan system tender yang diberikan kepada pengusaha – pengusaha kecil dan baru tumbuh tujuannya untuk membantu mereka akan tetapi yang terjadi justru pada saat realisasi phisik barang tidak ada atau bermasalah. Ada juga persoalan internal yang berkaitan dengan system informasi dan komunikasi. Diketahui bahwa dana untuk RSUD DOk II sesuai dengan Daftar Pengguna Anggaran (DPA) besarnya 103,4 M di tahun 2009 namun hingga kini baru dicairkan sekitar 15 persen dari pihak pemda dan selebihnya masih di Biro keuangan.

Berkaitan dengan mogoknya para bidan, hampir semua pihak yang seharusnya bertanggungjawab dan memberikan informasi justru enggan berkomentar. Wakil direktur Pelayanan medis dan keperawatan RSUD dr.Oktovianus Peday mengatakan bahwa dia tidak pernah tahu soal insentif karena tidak pernah dilibatkan dalam penggunaan dana. Direktur RSUD, dr.Mauritz Okoseray sulit ditemui di ruang kerjanya, tak ada komentar darinya bahkan tak merespon panggilan di telepon ataupun sms. Sedangkan wakil direktur bidang keuangan dr.Mirwan SPRAD hanya membalas dengan sms yang isinya mengatakan bahwa soal insentif adalah soal internal di bagian kebidanan, seperti dikutip dalam harian Bintang Papua, 2 September 2009.

Sebenarnya masalah di RSUD Dok II bukanlah hal baru. Dua tahun sebelumnya terjadi dugaan korupsi atas tender sejumlah bangunan rumah sakit dan pembelian peralatan medis. Ketika itu direktur RSUD DOk II yang juga menjabat sebagai ketua program pendidikan dokter di kampus Universitas Cenderawasih sempat ditahan oleh pihak kepolisian dan kejaksaan. Kemudian muncul resistensi dari berbagai kelompok masyarakat menuntut agar beliau dikeluarkan dari tahanan bahkan dibebaskan dari hukuman. Kasusnya meski disidang namum hingga kini belum jelas dan tak juga memberikan efek jera bagi institusi kesehatan tersebut. Tahun lalu ketika RSUD DOk II mengalami hal serupa, gubernur Bas Suebu sempat melakukan kunjungan mendadak tak lama setelah itu terjadi perubahan tapi kejadian tersebut terulang kembali. Kala itu ada rencana untuk mengaudit penggunaan dana di RSUD DOk II namun tak terlaksana.

Dulu permasalahan medis lebih banyak terjadi di sekitar kampung seperti petugas medis yang jarang di tempat, ketersediaan obat yang sangat terbatas, PUSTU yang berubah menjadi hutan atau kandang kambing dan fasilitas rujukan seperti ambulance yang tidak ada. Kini di jaman OTSUS justru yang menjadi masalah utama terjadi di pusat pelayanan kesehatan dan pusat rujukan. Seorang dokter pernah mengatakan..”kalau keluarga kamu sakit jangan diinapkan di rumah sakit, makanan tidak baik, airnya sering padam dan tempatnya tidak steril…”.Memang kalau kita amati terutama RSUD dok II bukanlah tempat yang bersih , di ruang gawat darurat, di bangsal rawat inap dan juga di koridor ataupun jalan sekitarnya, menakutkan seolah-olah wabah penyakit bertebaran dimana-mana. Selain itu system administrasi yang dilakukan dalam ruang gawat darurat tidak terkontrol dengan baik, sehingga meski dengan ruangan yang baru,unit gawat darurat terkesan tetap semrawut.

Seorang bapak yang pernah hidup dijaman Belanda membandingkan situasi yang terjadi sekarang dengan dimasa Belanda. Dulu rumah sakit sangat bersih , seprei, tempat tidur, lemari serta peralatan lainnya. Perawat juga mengurus pasien dengan baik, mereka memberikan makanan sehat, air bersih,..”.. pokoknya diurus yang baik. Sekarang kalau kita sering masuk ikut jaga keluarga kita karena mereka tidak urus dengan baik tapi anehnya mereka malah marah-marah dan kadang usir kita…” ujarnya.

Mengacu pada pasal 8 ayat 3 dari peraturan gubernur No.6 tahun 2009 menyebutkan bahwa pengadaan biaya obat-obatan dan bahan habis pakai dilakukan dengan penunjukkan langsung oleh direktur. Pasal sebelumnya (pasal 7) menjelaskan juga bahwa penyediaan biaya penjamin berupa uang muka sebesar kebutuhan 3 bulan operasional pelayanan penderita tidak mampu dengan perhitungan kebutuhan pelayanan. Maka berdasarkan kedua pasal tersebut, direktur RSUD Dok II dapat dimintai keterangannya mengenai sisi buram dari proses pengadaan biaya obat – obatan dan bahan habis pakai serta tidak transparannya penggunaan dana termasuk pemberian insentif.

Menanggapi situasi tersebut pihak DPRP melakukan dengar pendapat dengan direktur RSUD DOk II dan Asisten II sekda provinsi Papua Drs.Ely Loupaty pada tanggal 3 september 2009. Direktur RSUD Dok II mengakui tidak ada kekompokan di jajaran direksi akibat dari pemilihan direktur dimana ada pihak yang tidak dapat menerima kepemimpinannya, kalah bersaing dan kini menduduki jabatan wakil direktur. Secepat kilat Wakil Ketua II DPRP, Drs. Paskalis Kosay yang memimpin rapat mengatakan bahwa solusinya adalah dengan memindahkan wakil - wakil direktur tersebut, pihaknya akan meminta sekda untuk memindahkan dan melakukan pembinaan. DPRP juga meminta agar gubernur serius untuk menangani kepemimpinan di RSUD. Sedangkan pembiayaan rutin seperti membeli makanan untuk pasien RSUD sebaiknya tidak perlu ditenderkan atau diproyekkan dan langsung diserahkan kepada pihak rumah sakit untuk mengurus sendiri.

Inisiatif DPRP untuk mengundang pihak RSUD bukanlah hal yang keliru namun untuk persoalan setehnis itu seharusnya langkah eksekusi yang langsung dilakukan oleh pihak gubernur dengan memanggil jajaran direksi dan juga mengecek ke Biro keuangan. Pihak DPRP sebaiknya juga turut mendengarkan pendapat dari pihak lain yang memiliki kewenangan tertentu di rumah sakit itu sendiri, seperti direksi lainnya agar persoalan lebih jelas dan jalan keluarnya lebih tepat. Dengan buru-buru membuat simpulan dan solusi mengenai siapa-siapa yang bersalah dan langkah yang harus ditempuh justru bisa memperdalam jurang konflik internal yang sudah ada.

Bisa saja sumber utama konflik bukan diantara para direksi , kekalahan saat pemilihan direktur hanya menjadi pintu masuk sentimen yang lebih mudah dimanfaatkan oleh pihak tertentu. Bisa juga ada andil pihak luar yang turut membuat managemen di rumah sakit menjadi berantakan, misalnya akibat proses pencairan dana yang berbelit-belit, tidak transparan dan tanpa memperhatikan urgensinya mulai di tingkat Biro keuangan hingga managemen di RSUD DOk II sendiri.

Cara yang paling bijaksana untuk mendukung kepemimpinan dan managemen dari direktur RSUD adalah dengan mendengarkan terlebih dahulu pendapat dari jajaran direksi lainnya dan mungkin juga bagian-bagian tertentu di rumah sakit yang terlibat masalah. Artinya untuk memutuskan siapa yang bersalah seharusnya mendengar dari semua pihak yang telah diberikan otoritas. Sehingga solusinya juga dapat dirumuskan dan disepakati bersama.

Foto : Suasana di depan Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Dok II Jayapura September 2009, andawat.