LAPORAN TAHUNAN ALDP: 2010
English Bahasa Indonesia

29 Agustus 2009

Bendera Berkibar : Aksi Represif Terus Meningkat

Oleh : Andawat

Pada tanggal 13 Agustus 2009, harian Cepos memuat berita dari panitia peringatan HUT RI ke 64 provinsi Papua, bertajuk “Himbauan dan Seruan” isinya agar pemerintah sipil dan TNI serta seluruh masyarakat Papua turut menyemarakan perayaan kemerdekaan RI dengan memasang bendera, umbul-umbul membunyikan klatson dan lain sebagainya. Jauh sebelumnya, penjual bendera dan umbul-umbul sudah memenuhi jalan raya mulai dari Jayapura hingga Abepura, ”tapi pembeli tahun ini sepi..”ujar seorang penjual di depan SMP di jalan padang bulan. Hal ini juga terlihat hingga tanggal 17 agustus bendera dan umbul-umbul tak semeriah tahun sebelumnya, pemilik kendaraan bermotorpun tak banyak yang memasang bendera pada kendaraan mereka.

Di sisi lain, yang tak berhenti berkibar justru bendera bintang kejora. Bahkan ada bendera bintang kejora yang masih berkibar hingga kini alias belum diturunkan seperti yang terjadi di Gunung Jugum Kampung Lakwame distrik Bolakme kabupaten Jayawijaya, ini mengingatkan kita kibaran bintang kejora puluhan hari di lapangan terbang Kapeso, Kab Mamberamo. Aksi pengibaran bendera tidak saja terjadi di kampung yang sepi tetapi juga di tengah kota seperti di kampus, pinggir jalan raya di makan Theys, di atas pohon di perbukitan, di sekitar sekolah bahkan di lapangan terbang.

Bedanya jika aksi pengibaran bendera di sekitar kampung dan perbatasan, cenderung mudah diketahui atau ada klaim dari kelompok TPN/OPM tertentu bahkan direkam secara eksklusif oleh berita di televisi. Tapi yang di kota, sesuai namanya, bendera bintang kejora atau bintang fajar maka biasanya dinaikkan menjelang fajar, kemudian ditinggalkan oleh pelakunya. Sebagian dari aksi tersebut seolah-olah sudah ditebak (ditunggu) sebab terjadi pada saat hari – hari tertentu, seperti tanggal 1 Juli 2009 ketika berkibar di 5(lima) titik. Juga disaat 17 agustus, bintang kejora berkibar di tiga tempat yakni di Bukit Nafri Abe pantai, kampus Uncen bawah dan Gunung Youtefa Graha. Bintang Kejora ada dimana-mana termasuk di media massa, hampir setiap hari.

Entah fenomena apakah ini. Apakah merupakan fenomena baru dari gerakan TPN/OPM atau mungkin juga telah menjadi semacam reaksi masif sebagai bentuk protes atas ketidakwajaran semua hal dihadapi oleh rakyat Papua yang hidup dan beraktifitas sehari - hari di kota meski tak ada afiliasi sama sekali pada satu kelompok TPN/OPM tertentu, apakah mereka juga dikategorikan sebagai OPM?. Untuk yang ini nampaknya pemerintah harus makin hati – hati sebab reaksi seperti ini justru lebih sulit diidentifikasikan, tumbuh dimana-mana, kapan saja dan bisa dilakukan oleh siapa saja, orang Papua. Ataukah sebagian dari aksi tersebut merupakan produk dari kelompok tertentu untuk memancing ketegangan dan saling provokasi antara pemerintah Indonesia dan pihak TPN/OPM plus rakyat Papua. Untuk kemudian mengundang langkah represif dari pemerintah RI terhadap rakyat Papua khususnya kelompok TPN/OPM. Perkembangan lainnya dari aksi pengibaran bendera, menjadi semacam alat publikasi bersama (di kampung dan di kota) sebagai penjamin eksistensi gerakan Papua merdeka yang diliput berbagai media, meski tahu seribu benderapun dinaikkan hari ini, Papua tak langsung merdeka. Motif dari pengibaran bendera makin berkembang beragam, kadang tak mudah untuk diungkap dan tak ada satu pihakpun yang yakin bahwa pengibaran bendera bintang kejora akan berakhir meski nantinya pelaku dapat ditangkap. Siapapun pelakunya , selama bintang kejora masih dilarang berkibar, jelas menggerogoti eksistensi pemerintah RI di tanah Papua dan akan makin sulit untuk menghentikan siklus kekerasan di Papua.

Menurut banyak pihak yang optimis saat OTSUS akan diberlakukan, dengan OTSUS rakyat Papua akan sejahtera kalau sejahtera maka mereka tidak lagi kasih naik bendera dan tuntut Papua Merdeka. Ironisnya di jaman OTSUS justru bintang kejora ramai dikibarkan, dalam tahun 2009 ini saja telah terjadi puluhan kali di berbagai tempat di Papua dan menyebabkan ratusan warga sipil telah ditangkap meski tak semuanya dilanjutkan dengan proses hukum. Lucunya, rakyat Papua balik disalahkan, sudah dikasih macam-macam dari OTSUS tapi masih bertingkah macam-macam alias tidak sepenuh hati menerima ‘kebaikan’ pemerintah (Jakarta). Apakah benar OTSUS tidak berhasil mensejahterakan rakyat papua ataukah kesejahteraan dalam OTSUS tidak ada hubungannya dengan aspirasi politik orang papua. Sejahtera atau tidak, nyatanya OTSUS bukan jawaban politik yang diharapkan oleh orang Papua selama ini.

Di kalangan pemerintahan, hingga kini tak ada yang dapat merumuskan dan mendorong proses penyelesaian persoalan sipil politik (sipol) yang melatarbelakangi konflik vertical di Papua kearah yang lebih demokratis. SBY dalam pidato kemenangannya maupun pidato menjelang 17 Agustus sama sekali tak menyentuh soal Papua, malah masalah pelik di Papua justru disodorkan untuk ditangani oleh Menkokesra. Demikian juga gubernur Barnabas Suebu dalam pidato dan programnya tak banyak bicara soal hak sipol, Bas lebih banyak memprioritaskan hak ekonomi social dan budaya (ecosob). Betul bahwa persoalan ecosob bukanlah hal yang sepele dan sangat banyak tetapi persoalan sipol juga berkembang sangat pesat di Papua dengan bentuk dan cara-cara baru yang memerlukan perubahan paradigma dalam penanganannya.

Sayangnya, terhadap berbagai aksi pengibaran bintang kejora juga persoalan sipil politik(sipol) lainnya, pemerintah lokal menyerahkan sepenuhnya kepada pihak keamanan. Bahkan tak segan-segan, gubernur Bas Suebu mendiskreditkan kelompok yang berseberangan dengan pemerintah RI tersebut. Bas suebu mengatakan bahwa kelompok yang masih berseberangan itu karena belum menyadari kemerdekaan”…Mereka bukanlah musuh kita namun hanyalah belum punya kesadaran tentang betapa pentingnya kemerdekaan ini. Karena itu saya mengajak mereka yang belum sadar untuk kembali ke jalan yang benar…”ujarnya memberi komentar usai bertindak sebagai inspektur upacara HUT RI propinvi Papua. Bas Suebu nampak menjadi orang yang cukup kuat untuk memutuskan mata rantai sosio cultural dan relasi politis yang sudah dibangun sebelumnya untuk menunjukkan integritasnya sebagai birokrat Indonesia sejati.

Drs.Paskalis Kosay, wakil ketua DPRP berkomentar lain, menurutnya dengan kehadiran kelompok yang berseberangan dengan pemerintah maka pemerintah yang seharusnya berkaca dan sadar, seperti dikatakannya pada Papua Pos tanggal 24 Agustus 2009. Sebab jika tidak perlawanan dan pergerakan separatis seperti pengibaran bendera bintang kejora akan terus berlangsung. Menurutnya, pengibaran bintang kejora akhir-akhir ini belum tentu dilakukan oleh OPM dan juga separatis tetapi sebuah wujud dari ketidakpuasan terhadap pemerintah. Dan jika dirunut juga keberadaan kelompok ini akibat dari kelalaian pemerintah. Paskalis Kosay, menambahkan bahwa kejadian yang terus berulang kali jelas memiliki latar belakang. Untuk itu akar masalahnya harus dicari dan peranan pemerintah sangat penting dalam hal ini.

Prestasi pihak keamanan, khususnya pihak kepolisian dalam mengungkapkan berbagai aksi pengibaran bendera bintang kejora, terus diuji. Ujian tersebut menimbulkan sikap dan pola penanganan yang baru, sepintas mirip aksi ‘perang’ dengan rakyat sipil dan dilakukan hampir setiap hari. Pihak keamanan mengembangkan taktik mengikuti, melacak privasi seseorang baik dengan menggunakan peralatan mereka atau meminta bantuan instansi lainnya, seperti jaringan telekomunikasi lantas menggrebek, menyita barang - barang dan menangkap orang yang berada di sekitar rumah atau tempat target operasi. Memeriksa, menahan atau memulangkan seseorang setelah mempublikasikan nama – nama mereka. Kemudian setelah dibebaskan ,tak ada rehabilitasi atau pemulihan nama baik, malah memikul label separatis. Di mana saja, ada kemungkinan tempat tinggal seseorang dan segala hal yang menyangkut privasi nya akan digeledah ‘hidup-hidup’ oleh polisi.

Startegi ini tentu saja menebarkan teror baru di kalangan masyarakat, kecurigaan merebak di eksistensi kelompok berdasarkan etni dan akan sangat mempengaruhi perkembangan kelompok sipil lainnya. Semuanya berubah menjadi bencana ketakutan, hilang semangat berdemokrasi dan justru akan makin menghidupkan gerakan clandestine. Di daerah lain, ini strategi yang digunakan oleh Densus 88 untuk menangkap teroris, ternyata sebagian besar tim Densus 88 yang juga melakukan aksi tersebut di Papua, sehingga tanpa disadari praktek menangkap pelaku pengibaran bendera yang sementara dilakukan sudah menempatkan orang Papua dalam tuduhan separatis dan bagian dari teroris.

Mengapa negara tak biarkan saja bendera berkibar dengan batasan tertentu, misalnya atau katakanlah mencabut PP.77/2007,”…nanti semua orang papua akan pasang bendera bintang kejora di tiang rumahnya…”kata seorang teman. Namun juga sebaliknya, meski PP.77/2007 tetap diberlakukan toh tak ada gunanya. Pemerintah tidak bisa mencegah bintang kejora untuk tidak berkibar (dalam bentuk dan simbol apapun),entah rakyat papua mau dikasih atau dilarang dengan ancaman apapun.

Jika saja Indonesia mau mengubah paradigm pemahaman dan penanganan konflik di Papua, biarkan bendera bintang kejora berkibar dan mulai dengan memfokuskan penyelesaian persoalan bangsa ini kearah yang lebih substantive, membuka ruang-ruang dialog dengan rakyat Papua, mengedepankan pendekatan kemanusiaan, bukan keamanan untuk menghormati eksistensi dan martabat rakyat papua dan juga membangun kesan yang lebih berkeadilan dan beradab bagi pemerintah Indonesia di mata rakyat Papua dan dunia.
Foto : Peristiwa pemakaman Konsup Awom, Adadikam – 4 Januari 2003, andawat.