LAPORAN TAHUNAN ALDP: 2010
English Bahasa Indonesia

14 Oktober 2009

Anggota DPRP : Dibutuhkan Sikap Dan Konsistensi Politik Yang Kuat

Oleh : Andawat

Keanggotaan Dewan provinsi Papua periode 2004-2009 sudah berakhir, sorotan terhadap kinerja dewan sepi - sepi saja, mungkin karena rakyat sudah bosan dan tidak mau peduli lagi sama kinerja mereka sebab meski diprotes berkali-kali, mereka tetap tenang-tenang saja dan susah untuk diharapkan bisa berubah. Padahal seharusnya periode yang sudah berakhir tersebut dievaluasi dan diminta pertanggungjawaban untuk membuktikan mandate politik yang sudah diberikan selama 5 tahun sebelumnya. Prestasi dan hambatan – hambatan yang ada menjadi rekomendasi perbaikan bagi anggota DPRP yang baru. Sayang sekali, hampir tak ada rekam jejak yang dapat dibanggakan dan menjadi karya penting dari DPRP.

Tak banyak hasil kerja yang bisa dihadiahkan buat rakyat papua yang telah memilih mereka. Sedikit yang bisa dibuktikan adalah keberhasilan Komisi F DPRP memulangkan 3 napi kemudian 5 napi dari Makasar dan satu yang telah meninggal sebelumnya serta pemulangan 3 orang napi kasus mil 62-63 dari LP Cipinang, itupun dengan dukungan dan kerjasama dari berbagai komponen masyarakat terutama para aktifis LSM dan pengacara. Juga membantu pembentukan perwakilan KOMNAS HAM, meski prosesnya sempat ditentang habis-habisan oleh beberapa pihak.

Berkaitan dengan proses legislasi, sebenarnya pada periode 2004-2009 telah banyak PERDASUS dan PERDASI yang disahkan namun implementasinya di tingkat eksekutif masih dipertanyakan. Paskalis Kosay, Wakil ketua DPRP periode 2004-2009 dalam harian Cepos tertanggal 27 Agustus 2009 menyebutkan “memang sampai sekarang ini belum satupun Perdasi dan Perdasus yang telah ditetapkan sudah dilaksanakan oleh Gubernur,”. Menurutnya telah ada 35 PERDASI dan 8 PERDASUS yang merupakan amanat OTSUS yang belum dilaksanakan. Sosialisasi terhadap PERDASI dan PERDASUS menjadi sangat lambat bahkan terkesan Biro Hukum Provinsi Papua tidak memberikan akses kepada masyarakat yang ingin mendapatkan salinan PERDASI dan PERDASUS yang telah disahkan.

Bukan hanya masyarakat, pihak Majelis Rakyat Papua (MRP) sendiri tak mendapatkan gambaran yang jelas mengenai PERDASUS – PERDASUS yang telah disahkan meski telah mengajukan surat sebanyak 2 kali ke pihak Biro Hukum namun belum mendapatkan salinan PERDASUS yang telah ditetapkan. Bisa jadi keengganan Biro hukum untuk memberikan salinan PERDASUS ke MRP dikarenakan pertimbangan dan persetujuan yang menjadi kewenangan MRP dan telah disampaikan, tidak diakomodir dalam PERDASUS, sebab pertimbangan dan persetujuan MRP diminta setelah PERDASUS sudah diserahkan ke gubernur untuk disahkan bersama DPRP.

Indikasi ketidakseriusan pihak eksekutif terbukti sejak disahkannya PERDASUS No.1 tahun 2007 mengenai Pembagian Dana OTSUS, hingga kini penyusunan keseluruhan APBD provinsi Papua masih menggunakan Permendagri NO.13 tahun 2006, meski dalam setiap sidang ditanyakan oleh DPRP akan tetapi tidak pernah mendapat perhatian pihak eksekutif. Juga pada Peraturan gubernur No.6 tahun 2009 tentang Pelayanan Kesehatan Gratis, terlepas dari manfaat dari peraturan tersebut tetapi timbul kesan bahwa dalam mengatur penyelenggaraan pemerintahan di Provinsi Papua, gubernur enggan menggunakan regulasi yang dirumuskan bersama pihak legislatif. Kondisi ini sebenarnya tak begitu mengejutkan sebab memang sudah sejak lama posisi DPRP selalu berhasil ‘dikalahkan’oleh pihak eksekutif. Setiap negosiasi yang dilakukan antara pihak DPRP dengan Eksekutif selalu dimenangkan oleh pihak eksekutif.

Seperti juga saat dilakukan penundaan sidang untuk pembahasan APBDP (Perubahan) atau yang biasa disebut ABT = Anggaran Belanja Tambahan tahun 2009. Sidang tersebut sempat tertunda lebih dari sebulan dan baru dilakukan pada tanggal 15 September 2009, sebelumnya pihak DPRP telah menyurati pihak eksekutif sejak akhir Agustus 2009 agar menyerahkan APBDP. Penetapan waktu sidangpun berubah –ubah pada masa sidang DPRP yang digelar dengan 3 agenda yakni LKPJ gubernur untuk APBD TA 2008, APBDP TA 2009 dan RAPBD TA 2010.

Selain itu mekanisme di DPRP sendiri sering tidak berjalan baik. PANMUS (Panitia Musyawarah) yang bertugas menetapkan jadwal persidangan, keputusannya dapat diubah oleh Panitia Anggaran. Di sisi lain akibat hampir tidak berfungsinya mekanisme dan managemen kelembagaan di DPRP maka setiap pembahasan atau rapat DPRP selalu diikuti oleh sikap protes di tingkat internal, bahkan pada rapat –rapat tertentu sampai terjadi saling tuding menuding.

Pada sidang pembahasan materi APBD tahun 2010 beberapa tahapan juga diabaikan seperti pada agenda penyampaian pendapat Komisi. Awalnya sempat tertunda sekitar 4 jam karena tidak memenuhi Qorum, setelah sidang ditunda dan tetap tidak memenuhi qorum, maka diputuskan sidang tetap dilanjutkan namun agenda penyampaian pendapat komisi dibatalkan karena dari gabungan pendapat Komisi hanya Komisi C dan Komisi F yang menyiapkan laporannya sedangkan komisi lainnya tidak.

Jadwal pertemuan dengan mitra di saat masa sidang, kini hampir tak dilakukan oleh banyak komisi, beberapa komisi hanya mengundang mitra tertentu. Komisi F sendiri paling khawatir untuk mengundang mitra terutama mitra instansi vertical sebab meski sudah didiskusikan dan memasukkan pengajuan anggaran akan tetapi tidak diakomodir oleh panitia anggaran DPRP (dan Panita Anggaran Eksekutif). Selain itu ada juga pimpinan SKPD yang mengeluh karena hasil Musrenbang dan usulan yang dimasukan oleh SKPD tak digubris oleh panita anggaran atau justru dipotong besar-besaran dengan alasan kebutuhan untuk SKPD yang lain.

Kini beberapa instansi vertical mulai bersikap lebih keras. Seperti yang disampaikan oleh kalapas Abepura yang menjadi mitra komisi F DPRP. Menurutnya pihak LP Abepura tak pernah dibantu selain di jaman gub Jaap Salossa.”…kami juga urus orang Papua kenapa kami tidak dperhatikan..”. Memang sesuai amanat OTSUS ,maka ada 5 urusan yang diatur oleh pusat yakni Dep Hukum dan HAM, Dep Agama,Dep Keuangan ,Dep Hankam dan urusan luar negeri. Selain itu ada badan-badan pusat di daerah seperti BAKN, Badan televisi, Perum Damri, Pajak dan BKKBN namun semuanya tak dibantu dengan dana OTSUS padahal pelayanan yang dilakukan buat mayoritas orang asli Papua. Tapi anehnya, salah satu urusan pusat yakni pertahanan keamanan mendapat bantuan,mereka bertanya : mengapa TNI dan POLRI dibantu?.

Lucunya, pada masa sidang tersebut, setelah LKPJ TA 2008 seharusnya dilanjutkan dengan APBDP TA 2009 setelah itu baru penyusunan APBD TA 2010,namun anehnya APBDP tahun 2009 belum dibahas sudah didahului dengan APBD tahun 2010. Logikanya, APBDP TA 2009 seharusnya disusun dan tetapkan terlebih dahulu untuk mengetahui progress baik deficit atau surplus anggaran baru kemudian dijadikan patokan penyusunan APBD TA 2010. Ini menyalahi mekanisme,tapi jalan ini yang ditempuh oleh pihak eksekutif juga legislative.

Ada kalangan di DPRP yang beranggapan bahwa hal ini dilakukan oleh pihak eksekutif khususnya Biro keuangan untuk mengejar penilaiannya dari pemerintah pusat dan mendapatkan ranking tercepat dalam menyelesaikan APBD tahun 2010. Tapi ada juga yang berpendapat hal ini untuk memanfaatkan keadaan anggota DPRP yang sudah akan berakhir masa tugasnya sehingga tidak akan banyak komentar, (bisa tidak dapat pesangon atau jatah lainnya). Sedangkan nantinya anggota DPRP yang baru juga tidak mendapatkan kesempatam untuk mengontrol termasuk terlibat ‘negosisasi’ untuk APBD tahun 2010,sehingga proses lobby dan negosiasi proyek semuanya langsung dilakukan oleh pihak eksekutif terutama panita anggaran eksekutif.

Mengenai lobi melobi proyek terjadi juga di DPRP dan biasanya yang menentukan di panitia anggaran yang jumlah sekitar 20 orang namun sejak lama terdengar rumor bahwa setidaknya ada 5(lima) orang yang memegang posisi menentukan. Maka tak heran jika para pengusahapun sering ke DPRP mengejar mereka untuk mendapatkan bocoran dan ‘kemudahan’ dalam mendapatkan proyek – proyek tersebut. Terbukti, sidang APBT ditutup tanggal 8 Oktober 2009, sehari sebelum pelantikan anggota DPRP 2009-20014 pada tanggal 9 Oktober 2009.

Kini, belum lagi seminggu para wakil rakyat periode 2009-2014 bertugas sudah tersebar beberapa informasi yang memprihatinkan dari perilaku mereka. Sekwan DPRP dituntut agar segera menyiapkan kendaraan dinas buat mereka ..”masak kami anggota DPRP naik ojek ke DPRP?!” protes seorang anggota DPRP yang baru dilantik. Selain itu beberapa anggota DPRP masih bertahan di hotel Yasmin, padahal jatah hotel hanya disediakan 3 hari pada saat pelantikan. Sekwan didesak untuk membayar sejumlah tagihan mobil hotel padahal waktu akan pelantikan telah disediakan bus DPRP untuk mengangkut anggota DPRP dari hotel ke DPRP namun ada yang menyewa taksi hotel hingga bus dalam keadaan kosong.

Para staff DPRP masih sibuk merapikan file dan membersihkan semuanya dokumen dari ruang-ruang komisi untuk disimpan di ruang arsip, buku-buku anggaran yang tebal dengan biaya mahal dan memuat dokumen penting tergeletak disudut-sudut pintu dan tak satupun yang ditinggalkan di ruang komisi masing-masing. Beberapa barang di ruang komisi nampak sudah tak ada,’kami tidak tahu siapa yang bawa,” kata seorang staff.

Anggota DPRP periode 2009-2014 dipenuhi oleh wajah baru, kita berharap ada semangat dan harapan yang tentunya baru dan tidak mengecewakan rakyat. Masih banyak warisan pekerjaan yang ditinggalkan oleh DPRP lama seperti rencana pembuatan pasar bagi mama pedagang asli papua, institusionalisasi beberapa lembaga HAM termasuk mendorong gagasan pembentukan KKR sesuai dengan kebutuhan yang ada di papua, pembahasan RAPERDASUS Pelayanan Kesehatan yang tertunda dan PERDASUS serta PERDASI lainnya,termasuk juga persoalan pertanahan.

Sikap politik yang kuat dan jelas adalah tuntutan utama yang harus dibuktikan, sebab ‘peer’ politik periode lalu masih sangat padat, berkaitan dengan pemekaran propinsi, pembentukan partai politik lokal, status 11 kursi bagi orang asli papua,masa depan OTSUS yang makin tidak jelas hingga agenda –agenda politik permanen seperti status politik papua dan agenda dialog yang mulai masif dibicarakan. Betapapun rumit dan kompleknya agenda – agenda tersebut tentu saja anggota DPRP harus menunjukkan langkah yang tegas dalam memutuskan sikap politik serta konsisten dalam mengimplementasikannya, jika tidak ingin kehilangan ‘kehormatan’ sebagai wakil rakyat yang terhormat. Kita berharap akan ada orang-orang yang lebih progresif, petarung dan memiliki kapasitas yang luar biasa ketika melawan dominasi pihak eksekutif dan kekuasaan lainnya maupun kegagalan menjalankan mekanisme internal di DPRP sendiri untuk mewujudkan tanggungjawab politik yang telah diberikan oleh pemilihnya serta sistem demokrasi dan keadilan yang lebih bermartabat bagi setiap orang.

Keterangan foto : Pertemuan Komisi F DPRP dengan DIRJEN LAPAS DEPHUM dan HAM di Jakarta berkaitan dengan rencana pemulangan Napi dari LP Gunung Sari di Makasar dan LP Cipinang di Jakarta, Jakarta Mei 2008, andawat.