LAPORAN TAHUNAN ALDP: 2010
English Bahasa Indonesia

26 Oktober 2010

OTSUS : MAU DIAPAKAN?

Oleh: Andawat

Mencuatnya pernyataan kegagalan OTSUS dan mengembalikan OTSUS ke DPRP terjadi dengan gelombang massa yang besar pada tanggal 18 Juni 2010 dan dilanjutkan pada tanggal 8 Juli 2010. Demo penolakan OTSUS ini merupakan demo jilid dua sebab sebelumnya tanggal 12 Agustus 2005, masyarakat adat melalui Dewan Adat Papua (DAP) telah mengembalikan OTSUS.

Wacana ‘mendekonstruksi’ OTSUS (melalui penolakan dan alternatif) ke dalam berbagai bentuk sesuai dengan kehendak masing-masing pihak hingga kini terus menjadi perdebatan yang hangat walaupun belum juga ada langkah konkrit dari semua pihak untuk menindaklanjuti argumentasi mereka. Acap kali dorongan untuk menemukan ‘bentuk baru’ dari OTSUS yang disampaikan hampir tidak menunjukkan kualitas negosiasi yang maksimal meski dalam satu perjalanan bersama, spektrum disparitas per kelompok masih terjadi cukup meluas, mencuat dalam berbagai dimensi. Selain itu respon yang diberikan oleh pihak lain seperti DPRP, pemerintah lokal dan pemerintah pusat tidak juga menunjukkan perhatian dan dukungan yang serius. Sehingga hasil akhir yang diperjuangkan berikut pilihan – pilihan yang disediakan kurang mencerminkan gambaran konsolidasi yang sudah kuat terbangun.

Ketika membahas OTSUS, satu pihak menawarkan rekonstruksi atau juga revisi OTSUS guna implementasi secara sungguh-sungguh dan bertangungjawab. Pihak ini masih melihat ada manfaat dari kehadiran OTSUS di Papua, entah dari segi kewenangan ataupun karena banyaknya uang yang mengalir. Sedangkan pihak lain menyebut gagal dan dikembalikan. Statement ini senantiasa disampaikan oleh pihak yang menilai OTSUS tidak memberikan manfaat maksimal bagi orang Papua bahkan makin menyengsarakan dan melecehkan.

Perkembangan terakhir ada yang menggunakan istilah ‘merubah atau menaikkan status OTSUS’. Hal ini terungkap setidaknya pada pembukaan Musyawarah MRP yang disampaikan oleh ketua MRP, Agus A Alua. Ketua MRP Agus A Alua mengatakan bahwa akibat dari kegagalan OTSUS maka salah satu opsinya adalah dengan peningkatan status UU OTSUS. Menurutnya akibat kegagalan OTSUS maka ada beberapa opsi seperti mengembalikan OTSUS, merevisi secara menyeluruh ataupun meningkatkan status OTSUS. ”...Selain revisi OTSUS kita bisa minta peningkatan UU OTSUS menjadi UU Federal dengan sistem one nation two systems..”tegasnya. Menurutnya OTSUS hanyalah bargaining politik yang ditawarkan oleh pemerintah pusat agar rakyat Papua tidak minta merdeka...”Kita harus pahami bahwa OTSUS bukan kemauan murni namun hanya solusi untuk menjawab aspirasi politik rakyat papua...”tuturnya (Bintang Papua/10/06/2010).

Ketua DAP saat berorasi di halaman gedung DPRP tanggal 8 Juli 2010 juga menyebutkan hal yang sama ‘meningkatkan status OTSUS’ dengan menyebutkan refendum sebagai alternatifnya. DAP jelas menolak OTSUS namun masih sempat memberikan solusi untuk mengimplementasikan OTSUS sebagaimana dimuat harian Cepos/4/8/2010, Ketua DAP mengatakan OTSUS bukan uang tapi seberapa besar wewenang dan kekuasaan yang diberikan oleh Jakarta kepada orang Papua untuk mengatur dirinya sendiri. Pada acara Conggresional Hearing mengenai Papua di Washington DC tanggal 22 September 2010, Eny Faleomavaenga, anggota Conggres yang merupakan ketua Sub Committe untuk Asia Pasific mengatakan hal yang kurang lebih sama yakni mengenai peningkatan status OTSUS, meski bentuknya bisa berbeda.
Ada juga ‘langkah antara’ yakni dengan menawarkan evaluasi, sebelum memutuskan apakah OTSUS ada hasilnya ataukah benar – benar gagal. Pandangan ini belum mau buru-buru mengatakan OTSUS gagal atau mungkin tidak ingin mengatakan OTSUS gagal sebagai suatu kebijakan meski OTSUS diyakini telah gagal. Nampaknya pihak DPRP mengambil posisi ini setelah dipaksa oleh peserta demo tanggal 18 Juni 2010 untuk melaksanakan paripurna guna mengeluarkan keputusan DPRP yang isinya mendukung 11 tuntutan dari aksi demo tersebut. Paripurna tidak pernah terwujudkan bahkan tidak pernah ada suara bulat untuk sampai di Badan Musyawarah (BAMUS). Hingga kini DPRP tidak juga secara eksplisit membawa ,menyalurkan atau menindaklanjutinya ke pemerintah daerah apalagi pemerintah pusat. DPRP dinilai lambat dan tidak jelas ketika merespon 11 tuntutan tersebut meskipun pertemuan dengan utusan pendemo telah dilakukan berulang kali.

Sejujurnya secara internal di DPRP sendiri masih ada kendala. Mendukung atau tidak, setuju atau tidak?. Apakah berpengaruh atau tidak apabila mendukung dan bagaimana dampaknya bagi posisi para legislator?. Mengingat sejarah buruk diakhir tahun 2005 ketika DPRP memutuskan akan melakukan referendum apabila pemerintah menyetujui pembentukan Provinsi Papua Barat. Toh, Provinsi Papua Barat tetap hadir dengan adanya pertemuan Biak dan Mansinam kemudian menghasilkan PERPU Nomor 1 tahun 2008. Pembentukan PANSUS justru dijadikan alternatif dengan 2 tugas yakni PANSUS untuk merencanakan agenda Evaluasi OTSUS dan dipisahkan dengan PANSUS untuk agenda Judicial Review OTSUS.”...tidak perlu buat PANSUS, hanya bikin habis biaya..’,Ujar salah satu tokoh DAP, Dominggus Serabut,memprotes rencana DPRP tersebut. Mengapa PANSUS? sebab hingga saat ini hanya PANSUS yang bisa jadi alat negosiasi tertinggi di tingkat internal DPRP sendiri. Untuk sampai menjadi keputusan BANMUS apalagi di Paripurnakan tentu membutuhkan pertarungan panjang di tingkat pimpinan DPRP dan Fraksi-Fraksi di DPRP juga Partai Politik yang ada.

Judicial Revieuw adalah langkah pertama yang akan diambil oleh DPRP, sayangnya fokus Judicial review DPRP adalah hanya pada pasal 7 ayat (a) UU OTSUS menyangkut Pemilihan gubernur melalui DPRP yang telah dihapus dengan lahirnya PERPU nomor 1 tahun 2008 dan digantikan dengan UU Nomor 35 tahun 2008. DPRP bersikeras untuk mengembalikan pemilihan gubernur melalui DPRP dan bentuk pertanggungjawaban gubernur dari LKPJ (Laporan Keterangan Pertanggungjawaban) menjadi LPJ (Laporan Pertanggungjawaban) seusai Pasal 18 ayat (1) yang memang tidak dihapus. Menurut DPRP itulah pintu masuk pengawasan dan kontrol terhadap pelaksanaan OTSUS dan APBD...” selama ini eksekutif seolah - olah menganggap kami seperti satu SKPD dan mereka bisa mengontrol kami, sebenarnya itu terbalik..” Ujar ketua Komisi A DPRP, Ruben Magai. Hingga kini rencana Judicial review belum juga dilakukan.

Di sisi lain juga berkembang informasi bahwa gubernur Provinsi Papua telah melakukan revisi UU OTSUS secara diam-diam. Hal ini terkait dengan pemberitaan Cepos tanggal 23 Agustus 2010, gubernur mengatakan....”Kita sudah lakukan revisi UU OTSUS, banyak yang sudah kita perbaiki kalau mereka masih terus minta revisi OTSUS berati mereka tidak tahu ..”jelas Suebu. Mendengar pemberitaan tersebut, ketua DPRP mengatakan tidak mengetahui dan merasa DPRP dilecehkan. DR. Agus Sumule, staf Ahli gubernur menegaskan bahwa tidak pernah ada revisi OTSUS secara diam – diam yang ada hanya dilakukan pada tahun 2008(UU Nomor 35 tahun 2005). Gubernur ke Jakarta untuk membicarakan mengenai pembagian dana bagi hasil antara PT. Freeprot dengan pemerintah pusat. Menurutnya andaikata bisa dimasukan ke dalam UU OTSUS mengenai eksploitasi SDA, akan sangat baik untuk Papua. ..”Jadi tidak ada tendensi politik soal 2011 mendatang. Selama ini gubernur bekerja dengan hati demi masyarakatnya..”demikian disampaikan ujarnya,(Cepos/28/8/2010).

Tokoh pro Papua merdeka yang kemudian menjadi pro NKRI, Nicholas Jouwe mengatakan ”…bagi saya OTSUS adalah satu kebijakan yang harus saya puji dari pemerintah Indonesia sebab ini sangat penting buat negeri ini dan orang Papua dan kita harus pertahankan OTSUS...”. Baginya jangan lagi selalu menyalahkan OTSUS.”...ini adalah salah satu sikap yang keliru. Misalnya kalau saya tidak dapat ini saya mau minta referendum. Kalau saya tidak dapat itu saya mau minta merdeka. Ini suatu keadaan yang tidak begitu baik. Seakan-akan mereka melihat OTSUS sebagai satu bahaya yang membahayakan kesempurnaan rakyat Papua dan saya sama sekali tidak setuju...”paparnya prihatin,(Cepos/28/6/2010).

Semakin keras protes terhadap OTSUS maka dana OTSUS pun terus ditambah oleh pemerintah dengan argumentasi untuk meningkatkan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat...”itu bukti komitmen pemerintah sehingga kalau masih ada orang yang mempersoalkan,mempertanyakan, saya kira itu tidak adil. Dana sudah demikian besar ,lalu ditambah lagi,apa yang kurang..?”Ujar Menteri Dalam Negeri.(Cepos/19/8/2010). Presiden SBY kemudian memberikan pernyataan akan melakukan audit OTSUS setelah lebaran. SBY juga akan segera melakukan evaluasi yang menyeluruh atas kebijakan Otonomi Khusus termasuk mengevaluasi kebijakan baru bagi Papua (new deal for Papua) yang telah diamanatkan dalam INPRES Nomor 5 tahun 2007 tentang Percepatan Pembangunan Provinsi Papua, demikian dijelaskan oleh Staff Khusus SBY, Velix Wanggai(Cepos/27/9/2010)

Mengenai rencana Audit OTSUS adalah langkah yang positif dan jika dilakukan sebaiknya dilakukan oleh satu badan yang independen, demikian tanggapan dari Ketua A Komisi DPRP. Ide lainnya mengenai pelaksanaan OTSUS di Papua dan Papua Barat datang dari Koordinator Divisi Eksternal Komisi Pemantauan Otonomi Daerah. Menurutnya pelaksanaan OTSUS membutuhkan badan Khusus untuk mengawasinya alasannya adalah karena dana yang dikeluarkan cukup besar (Cepos/3/8/2010). Perkembangan terakhir beredar informasi bahwa beberapa menteri telah merekomendasikan dibentuknya badan khusus untuk mengelola dana OTSUS.

Perbincangan mengenai Evaluasi OTSUS meluas dan seolah para pihak lupa untuk merujuk pada acuan legalitas yang tertuang dalam Pasal 77 UU OTSUS : Usul perubahan atas Undang – Undang ini dapat diajukan oleh rakyat Provinsi Papua melalui MRP dan DPRP kepada DPR atau Pemerintah sesuai dengan peraturan Perundang – Undangan .

Dan Pasal 78 UU OTSUS : Pelaksanaan Undang – Undang ini dievaluasi setiap tahun dan untuk pertama kalinya dilakukan pada akhir tahun ketiga sesudah Undang – Undang ini berlaku.
Pasal 77 memuat mekanisme usulan perubahan UU OTSUS. Sedangkan pasal 78 menjelaskan kewajiban untuk melakukan evaluasi UU OTSUS, setiap tahun dan untuk pertama kalinya dilakukan pada akhir tahun ketiga. Mandat dari kedua pasal tersebut sangat jelas tapi justru tidak dilakukan. Perubahan atau evaluasi OTSUS itu bukanlah hal yang tabu karena dibolehkan oleh UU sehingga tidak tepat juga kalau dikatakan OTSUS is final solution. Perubahan atau evaluasi dapat menghasilkan apa saja.

Jika yang dimaksud adalah mengaudit dana OTSUS tentu sulit untuk dilakukan sebab selama ini alokasi dana OTSUS digabungan dengan sumber dana lainnya di dalam APBD seperti Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) ataupun Dana Bagi Hasil(DBH). Setiap tahunannya BPK juga sudah melakukan audit terhadap APBD secara keseluruhan, sayangnya tidak pernah diketahui tindak lanjut laporan audit tersebut.

Bila masalah kewenangan menjadi bagian dari yang diaudit di dalam OTSUS, maka harus juga dijelaskan bagian yang mana?. Apakah merujuk pada kewenangan yang dimiliki oleh lembaga-lembaga seperti MRP, DPRP, Pemerintah provinsi atau pemerintah pusat. Kewenangan yang memiliki kekuatan eksekutorial ataukah kewenangan sebatas untuk mengakomodir tetapi tidak untuk membuat keputusan final?. Kewenangan dengan pertanggungjawaban yang jelas ataukah kewenangan yang dualisme bersembunyi di balik aturan yang tumpang tindih?.

Persoalan OTSUS bukan hanya persoalan implementasi. Sejak awal norma dan substansinya saling bertentangan. OTSUS disusun tanpa pertimbangan yang rasional dan realistis hanya karena emosi takut kehilangan Papua. Sehingga tidak mampu mengkalkulasi dampak yang akan muncul dikemudian hari akibat pertentangan dengan norma dan substansi lainnya baik secara hukum, politik maupun sosial. OTSUS sebagai rahmat atau bencana, OTSUS menyelesaikan masalah atau bagian dari masalah. Pemerintah pusat memberikan OTSUS secara terpaksa karena rakyat Papua minta merdeka. OTSUS bukan juga kehendak murni rakyat Papua. OTSUS disusun mengatasnamakan rakyat tetapi sebenarnya tidak pernah disetujui oleh rakyat Papua. Sosialisasinya ditolak dimana-mana bahkan menimbulkan korban jiwa.

Tidak ada satu lembaga yang merasa harus mengambil tanggungjawab dengan sungguh-sungguh. Coba tanyakan kepada pemerintah pusat apakah mereka mengerti bagaimana melaksanakan OTSUS di Papua?. OTSUS diadu dengan begitu banyak peraturan atau kebijakan lainnya seperti UU sejenisnya secara umum (contoh UU Parpol, UU Pendidikan) , UU sektoral (contoh Peraturan Menteri Kehutanan) ,Peraturan Pemerintah (contoh PP 77 tahun 2007) termasuk berbagai INPRES (contoh INPRES nomor 1 tahun 2003 dan Nomor 5 tahun 2007) bahkan PERMENDAGRI dan OTSUS selalu dipaksa kalah. Simak juga situasi pemerintahan di daerah apakah mereka juga mengimplementasikan OTSUS. Lihat saja nasib berbagai PERDASI dan PERDASUS yang sudah dihasilkan. Kemudian perseteruan yang terus berjalan diantara eksekutif dan DPRP serta kegagalan MRP ketika membuktikan dirinya sebagai wadah bagi perjuangan hak-hak dasar rakyat Papua.

Kemudian OTSUS diubah melalui PERPU nomor 1 tahun 2008 dilanjutkan dengan UU Nomor 35 tahun 2008 untuk mengakomodir masuknya dana OTSUS ke Provinsi Papua Barat bukan untuk menciptakan dan sharing otoritas dan pertanggungjawaban diantara 2 provinsi tersebut. Misalnya dalam hal pengesahan PERDASUS juga pembuatan PERDASI. Lantas mengenai MRP, bagaimana peran dan posisinya di kedua provinsi tersebut? Bagaimana juga pembiayaanya?. Hingga kini provinsi Papua Barat masih terus merumuskan dirinya untuk masuk ke dalam UU OTSUS, misalnya dengan menyiapkan nomenklatur berbagai aturan dan lembaga termasuk penyebutan DPRD Provinsi Papua Barat ke DPR Papua Barat.

Jadi mana mungkin OTSUS dapat meningkatkan penghormatan terhadap hak asasi manusia secara khusus hak- hak dasar rakyat Papua dalam bentuk memberikan otoritas yang lebih kuat buat daerah untuk mengatur diri dan rakyatnya sesuai dengan kapasitas yang dimiliki. Lantas mengapa OTSUS masih dipertahankan ketika tidak ada pihak yang mau bertanggungjawab secara serius untuk melaksanakannya?. Ketika norma dan susbtansinya saling berbenturan?. Perdebatan mengenai OTSUS harus diakhiri dengan mencapai satu tahapan lebih maju, mencabutnya atau merevisinya dengan lebih aspiratif terhadap kewenangan dan konteks lokal untuk mengimplementasikannya secara maksimal. Bisa saja namanya bukan OTSUS lagi. Perjuangan hak- hak rakyat dan pembangunan tidak harus dengan OTSUS. Ruang untuk mendiskusikan dan menentukan pilihan harus selalu terbuka dan secara sadar mampu memberikan pendidikan demokrasi bagi kita semua.

Keterangan foto : Demo tanggal 18 Juni 2010 di Gedung DPRP,andawat