LAPORAN TAHUNAN ALDP: 2010
English Bahasa Indonesia

28 Februari 2008

Pastor ‘Ipoleksosbudhankam’ di Marvic

Oleh: andawat

Jika kita mendengar ‘Waris’, maka yang ada di benak kita tempat yang sunyi, sulit dijangkau, menyeramkan, jalan-jalan yang rusak, banyak pos tentara, daerah merah dan ‘kengerian-kengerian’ lain. Lantas kita juga teringat pada satu tokoh rohani yang fenomenal, mendiami ‘Marvic’ alias Markas Victoria. Dialah Pastor Jhon Jonga, PR. Pastor Jhon memang tinggal pas di lokasi markas yang dulu menjadi salah satu pusat gerakan kelompok OPM. Sebab kalau kita bilang Waris, itu penyebutkan untuk distrik yang terdiri dari 6 (enam) desa yakni Desa Banda, Kali Fam, Kali Pai, Pund dan Ampas, “sedangkan Marvic, ini sudah, di mana kita berdiri...”, ujarnya menunjukkan rumah tua pastorinya.

Waris hari ini memang tak banyak beda dengan beberapa puluhan tahun sebelumnya, bahkan jauh lebih mundur dari tahun di mana masih terdapat pemerintah Belanda. Di jaman Belanda, ada jalan yang cukup berfungsi baik, lapangan pesawat yang siap memperkenalkan Waris dan mendekatkannya pada realitas di luar mereka. Juga ada rumah sakit sederhana namun sangat membantu masyarakat terutama untuk jenis penyakit ISPA, malaria dan kaki gajah. Hingga kini, ke tiga jenis penyakit tersebut masih mendominasi di Waris namun rumah sakit itu sudah tidak terlihat, bahkan ‘bangkainya’ sekalipun. Perubahan berlangsung sangat lambat, termasuk juga bidang pendidikan, apalagi bagi anak perempuan akibat diskriminasi budaya. Penataan kehidupan sosialnya pun agak terganggu terutama dengan berbagai stigma yang diberikan hingga pernah terjadi gelombang eksodus besar-besaran di awal tahun 1980-an ke ‘sebelah’, PNG.

Masyarakat Waris yang terdiri dari suku Walsa dan Fermanggem suka berkebun dan juga berburu, kehidupan ekonomi mereka juga tak banyak berubah, interaksi ekonomi dengan wilayah luar hingga kini masih lebih banyak dilakukan oleh orang ‘amber’. Mereka menggunakan pinggir jembatan sebagai pasar yang lebih banyak dikunjungi guru, petugas kesehatan dan tentara pos, seminggu hanya 3 kali. Baru pertengahan tahun lalu pemerintah membangun pasar sederhana di seberang Pos TNI non-organik. Coklat dan vanili adalah tanaman yang sangat banyak dan mudah tumbuh, tapi toh tidak juga bisa berkembang secara maksimal.

Di tengah situasi yang demikian sulit, kehadiran Pastor Jhon Jonga membuat Waris mulai ‘terbuka’ kembali walau tidak dengan membuka lapangan terbang atau membangun rumah sakit, namun dengan kekuatan kampanye dan perspektif kemanusiaannya, mengembalikan relasi antara masyarakat Waris dan dunia luar.

Di pastorinya orang tak berhenti datang mengadu dan berharap padanya. Dia mengurus apa saja, mulai dari gereja, ‘pemerintahan’, pendidikan, kesehatan, ekonomi juga perempuan. Seorang teman baiknya, Dr. Muridan Satrio Widjojo, pernah menyebutnya sebagai Pastor ‘Ipoleksosbudhankam’. Banyak ujian yang dihadapinya karena mengabdi di Waris, wilayah perbatasan antara Papua (RI) dan PNG, termasuk intimidasi dari tentara pos non organik yang dialaminya pada September hingga November 2007 lalu.

Hari Minggu, 24 Februari 2008 kemarin, Pastor Jhon Jonga meresmikan rumah Pastori barunya yang langsung berhadapan dengan gereja St. Mikail, Waris. Rumah Pastori ini berdiri setelah sekitar 7 tahun masa pengabdiannya di Waris. Sebelumnya, Pr Jhon Jonga tinggal di sebuah rumah pastori tua. Dulu, di samping kanan pastori tuanya ada 4 rumah penduduk tapi lama kelamaan akibat melebarnya aliran Kali Pai, maka rumah-rumah itu sudah rubuh digusur air. Suatu saat, ketika kami diajak ke Waris, dengan bercanda, kami sempat bertanya, “apakah kami mesti membawa perahu, sebab kami khawatir rumah pastor akan mengalami nasib yang sama”. Pastor Jhon lalu tertawa keras dan berkata, “Aiiih... pukama....”, itulah jawaban khas-nya, yang sampai sekarang kami sendiri belum paham apa arti kalimat itu.

Pada peresmian pastorinya, banyak orang yang hadir mulai dari berbagai aktifis HAM, peneliti, Wakil Ketua DPRP, Komaruddin Watubun, Bupati Keerom hingga pejabat lainnya. Masyarakat pun tak terhitung jumlahnya.

Dari tamu-tamu yang hadir, dapat dinilai kehebatannya dalam membangun komunikasi dan relasi yang istimewa, bukan saja terhadap ummatnya tetapi juga terhadap banyak orang yang mengaguminya sebagai tokoh berpengaruh yang sulit dilakukan oleh banyak orang.

Pertanyaannya, apakah Pastor Jhon Jonga akan tetap di Waris? “Ya..!” Jawab masyarakat Waris yang benar-benar ingin menahannya, bahkan berseloroh ingin memindahkan Dekenat Keerom, tempat yang direncanakan bakal diisi oleh Pastor Jhon Jonga dalam waktu dekat. Sesungguhnya, yang jauh lebih penting adalah semangat pengabdiannya pada perjuangan kemanusiaan tanpa batas serta kemampuannya membangun komunikasi, membuat kami bangga, karena pernah mengenalnya.

Keterangan Foto:
Pastor Jhon Jonga, PR (baju batik) bersama Ketua ALDP, Anum Siregar dan aktivis mahasiswa, sesaat setelah peresmian Pastori Baru.
(andawat).