Hari ini, 29 Februari 2008, Polda Papua melakukan uji coba ide baru dalam menyelenggarakan Pendidikan Bintara Polri melalui program Bintara Khusus dengan mengirim 1500 casis (calon siswa) Bintara Polri yang ada di Papua untuk dididik di 3 kota yakni: SPN Singaraja, Bali, SPN Mojokerto, Jawa Timur dan SPN Purwokerto, Jawa Tengah.
Ide ini sesungguhnya bergulir cukup panjang dengan berbagai pertimbangan, termasuk dari segi pendanaan yang sempat mengalami penundaan di level DPRP dan Pemerintah Daerah, yang setuju dengan gagasan tersebut namun terhambat waktu diminta untuk merealisasikan dukungan dana. Hingga menimbulkan kekhawatiran dari casis yang lulus seleksi pada tahap pertama, karena mereka harus menunggu proses seleksi casis berikutnya, dan ini pertama kali dalam proses seleksi harus menunggu sekitar 4 bulan. Tapi juga sempat menimbulkan polemik jika dana belum turun, karena bisa-bisa terjadi seleksi ulang dengan menggabungkan seleksi reguler dan non reguler, dan kemungkinan besar akan terjadi pergeseran tanpa mempertimbangkan lagi ‘putra daerah’ atau bukan. Syukur, tidak terjadi seleksi ulang, walau sempat juga terjadi pergeseran dan beredar tawaran diperlukan dana sekitar 50 – 60 juta rupiah, plus 3 – 5 juta rupiah per tahapan seleksi, untuk memuluskan jalan menuju pendidikan Bintara tersebut (semoga cuma isu!).
Casis Bintara Polisi non reguler ini terdiri dari anak yang memiliki orang tua asli Papua atau anak yang lahir di tanah Papua. Dari ide ini yang dapat dipahami adalah untuk mendekatkan polisi Papua dengan realitas sosial budaya masyarakat setempat. Diharapkan, berkembang pandangan yang positif antara masyarakat dan polisi, sebab masyarakat yang ada itu terdiri dari tante, om, nenek, kakak, adik, tete, dll. Masyarakat pun menyadari kalau yang jadi polisi itu ‘sa pu anak’, ‘sa pu kaka’, ‘sa pu saudara’.
Kenyataan kekerabatan seperti ini hendaknya membangun sinergis yang baik untuk menciptakan keamanan dan ketertiban sebagai milik dan tanggung jawab bersama, bukan justru menjadi sumber bencana dari meningkatnya penyakit sosial “karena masyarakat sa pu keluarga jadi sulit untuk ditindak, atau karena polisi sa pu keluarga jadi gampang urusannya...”.
Kita tetap berharap pada proses pendidikan casis Bintara Polri tersebut tetap menyediakan sumber-sumber pembelajaran untuk terus menjaga kesadaran dan pemahaman akan nilai-nilai sosiologi dan antropologi yang ada di masyarakat Papua. Semoga pendidikan itu juga menjadi tempat untuk meningkatkan profesionalitas, kemampuan dan daya kritis polisi dalam memahami dan menyelesaikan masalah sehingga mereka mengerti apa yang harus mereka lakukan jika lulus pendidikan, langsung pegang senjata dan juga dikasih ‘otoritas’, agar setiap orang yang melihatnya tetap bisa merasa dekat dan bersahabat, bukan seperti gambaran yang sering kita saksikan selama ini: “awas, dia polisi, punya senjata, nanti bisa tembak ko...”.
Ujian untuk membuktikan kemampuan phisik, akademis dan moralitas yang bisa dipertanggungjawabkan pun menjadi sangat penting sehingga bisa memutuskan mata rantai sejarah buruk yang pernah dilakukan oleh (oknum) polisi seperti mem back up tempat pejudian, bisnis narkoba, miras, ilegal logging dll. Kira-kira bisa kah?
Foto: andawat