LAPORAN TAHUNAN ALDP: 2010
English Bahasa Indonesia

01 Maret 2008

Realitas Penjara

Oleh: andawat


Selamat Jalan, Sahabatku . . .

Sahabatku...
Aku menangis di malam ini meratapi jasadmu yang dingin,
Saat kehilangan arti dirimu merejam ketiadaanku
Aku tenggelam dalam kenangan dan warna warni hari-hari kita di tempat ini
Dan ketika ketiadaan memilukan hatiku

Aku meronta tercekik kesedihan
Mengharap engkau hadir lagi
Aku meratap terhimpit kerinduan
setelah tersadar akan hilangnya engkau di dalam malamku.

(Enos Lokobal, Lapas Gunung Sari, Makassar, 28 Agustus 2007)


Enos Lokobal, membuat secara khusus puisi ini untuk salah satu temannya sesama napi, Maikel Haselo yang meninggal tanggal 28 Agustus 2007 di RS Bhayangkara Makasar. Dia mengharapkan kata-kata itu mewakili kesedihan mereka, teman-teman Maikel Haselo yang mendekam bersama di LP Makasar, atas tuduhan pembobolan gudang senjata KODIM/PJW, Wamena tahun 2003 lalu.

“Saya ingin pulang, saya bosan di sini…”, ini kalimat yang dikeluarkan oleh Maikel Haselo ketika ditemui di RS Bhayangkara tanggal 17 Agustus 2007. Pantas saja kalau Maikel Haselo merasa bosan di rumah sakit, dia dan ada 2 orang napi lainnya ditempatkan di ruang paling belakang, dekat kamar mayat dari RS Bhayangkara. Bangsal itu layaknya sel, terkunci rapat dengan gembok besar, pintunya dilapisi jeruji besi dan selembar plastik transparan untuk menebak apakah ada orang di dalam. Hanya beberapa anak mahasiswa asal Papua yang berdomisili di Makasar yang setia menjenguknya serta beberapa orang luar yang sering memberikan pelayanan di gereja di LP Makasar. Maikel berada di rumah sakit sejak tanggal 30 Juli 2007 hingga kematiannya tanggal 28 Agustus 2007. Dalam keterangan kematian yang ditandatangani oleh Kepala RS Bhayangkara Makassar, Dr. Syafrizal, MM, disebutkan: ‘akibat penyakit sirosis hati decompensasi + sesak nafas (efusi pleura)’.

Maikel Haselo memang sakit, wajahnya tirus, napasnya sesak, kedua kakinya membengkak, perutnya membesar melebihi perut orang normal dan dokter pun telah berkali-kali mengeluarkan cairan dari dalam tubuhnya. Tetapi yang lebih jelas terlihat, dia sakit secara psikologis. “Saya hampir bosan berdoa…”, katanya.

Maikel Haselo mewakili banyak napi yang mengalami penyiksaan sejak ditangkap hingga di penjara. Berbagai penyiksaan di LP tidak hanya berupa pukulan ataupun tendangan, tetapi juga caci maki yang bermakna mendiskreditkan atas nama suku tertentu. Minimnya fasilitas dan pelayanan yang diberikan seperti standar pelayanan kesehatan, kurangnya air bersih, tidak berfungsinya sarana MCK, tempat tidur lantai tanpa kasur, menu makanan yang tidak bikin subur, dll.

Penyiksaan di LP maupun di institusi hukum lainnya, bisa terjadi karena langsung dilakukan oleh aparat institusi tersebut, atau oleh orang lain, misalnya sesama penghuni LP, tapi bisa juga sebagai akibat dari ketidakberdayaan aparat setempat dalam melaksanakan tanggungjawabnya melakukan pembinaan. Kalau air bersih tidak ada, kalau dokter atau obat-obatan tidak tersedia, atau tersedia tapi tidak gratis, kalau kasur tidak ada, kepada siapa para napi itu harus minta dan mengeluh di negara yang katanya menjunjung tinggi hukum dan hak asasi manusia ini?

Di sisi lain, penjara tampak bak ‘institut kriminal’, sebab di sanalah justru paling mudah terjadi transformasi kejahatan antara sesama penghuninya, apalagi dengan model penjara yang hampir sama di seluruh Indonesia: jarang ada tembok pembatas sel berdasarkan kualifikasi pemidanaan, jarang ada penjara yang terpisah untuk perempuan dan anak anak ataupun LP narkoba. Kenyataan lainnya adalah bahwa hampir 80% dari napi akan kembali ke masyarakat setelah menghabiskan masa pemidanaannya, bahkan hampir 40% dari napi telah sering keluar penjara sebelum masa pemidanaannya berakhir.

Sungguh tidak ada batasan yang konkrit antara penjara dan dunia luar, antara orang yang di penjara hari ini dan esok. Maka sangat penting untuk melakukan pembenahan sistem dan manegement penjara/Lembaga Pemasyarakatan, mulai dari bangunan phisiknya, petugas penjaga, sarana kesehatan, olahraga dan sosial, agar: [1]. Menghapuskan kesan penjara sebagai tempat untuk ‘melegalisasikan’ penyiksaan ataupun kejahatan lainnya; [2]. Menjaga hak-hak yang masih sepantasnya dimiliki oleh narapidana sebagai manusia; dan [3]. Supaya tidak kaget kalau suatu saat kita yang masuk penjara.


Keterangan Foto:
Kunjungan Komisi F DPRP ke LAPAS Abepura
(andawat)