Pada bulan ini, kota Geneva, Swistzerland dipenuhi orang dari berbagai penjuru dunia, sebagai besar mereka adalah diplomat: para menteri, duta besar dan penjabat pemerintah lainnya, kaum profesional dan akademisi dalam berbagai disiplin ilmu serta aktifis berbagai organisasi non-pemerintahan, untuk menghadiri 7th session, Human Rights Council (HRC), salah satu badan bergengsi United Nations (UN), dari tanggal 3 – 28 Maret 2008.
HRC adalah badan khusus PBB yang diberi mandat untuk memonitor implementasi dari International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), atau Kovenan Hak-hak SIPOL . Sidang HRC ini berlangsung dalam 3 sesi setiap tahunnya, yakni pada bulan Maret, Juli dan November di 2 tempat: New York dan Geneva.
Sesungguhnya ini adalah proses state to state complaint, sebab pada sidang ini disampaikan pandangan negara, laporan dari special rapporteurs serta terjadi interactive dialogue yang kesemuanya berusaha menyampaikan pandangan masing-masing tentang implementasi hak SIPOL. NGO’s dan NHRI’s (National Human Rights Institution) berperan penting untuk turut memberikan masukan kepada berbagai pihak – termasuk negara lain – untuk mempertanyakan dan memberikan catatan rekomendasi atas implementasi hak SIPOL oleh negara manapun yang menjadi anggota PBB.
Pada sidang ini juga terdapat berbagai laporan yang yang disampaikan oleh Special Rapporteurs (Pelapor Khusus), atas perkembangan yang dilakukan, baik dalam bentuk country visit, maupun berbagai komunikasi yang mereka lakukan selama masa tugasnya.
Salah satu yang menarik adalah laporan dari Hina Jilani, Special Rapporteurs for Human Rights Defenders (HRD) atau Pelapor Khusus PBB untuk Pembela Hak Asasi Manusia. Hina Jilani, lawyer, yang pernah menjabat sebagai Ketua KOMNAS HAM di negaranya, Pakistan, menyatakan bahwa selama 8 tahun masa tugasnya, dia telah mengunjungi 12 negara, mengirim lebih dari 2000 komunikasi (surat menyurat) ke sekitar 120 negara anggota UN dan mempresentasikan sekitar 34 laporan ke General Assembly, The Commission on Human Rights dan The Human Rights Council.
Komunikasi yang dilakukan berhubungan dengan keberadaan lebih dari 3.300 HRD yang sekitar 22 persen adalah perempuan. Komunikasi ini bertujuan bukan saja agar adanya mekanisme proteksi untuk HRD tetapi juga sebagai media untuk melakukan identifikasi mengenai thema atau issu serta kecenderungan geografi tertentu dari situasi HRD di seluruh dunia.
Dia mendapatkan banyak pengalaman dan pengetahuan dan berharap hal tersebut sesuai dengan tujuannya, yakni menyiapkan kerangka analisa dan beberapa perangkat methodelogi buat pengantinya, juga buat orang-orang yang bekerja bagi perlindungan HRD dengan berbagai kapasitas yang berbeda, untuk dapat digunakan, diadaptasikan dan disesuaikan dengan aturan dan fungsi mereka.
Dia juga mendesak munculnya berbagai aturan atau kesepakatan dari berbagai stakeholder untuk mengimplementasikan rekomendasinya. Dia melihat mekanisme baru dari HRC, yakni Universal Periodic Revieuw (UPR), yakni semacam mekanisme untuk menguji atau mengevaluasi cacatan HAM setiap negara anggota atau bukan anggota HRC. Ini adalah kesempatan penting untuk memonitor situasi dari HRD. Baginya, situasi HRD adalah komponen yang fundamental dari keseluruhan situasi hak asasi manusia di beberapa negara. Tidak akan ada penghormatan terhadap hak asasi manusia jika aktifitas untuk melakukan pembela terhadap hak-hak tersebut dibatasi. Tidak akan ada kemajuan dalam perlindungan dan promosi hak asasi manusia tanpa kontribusi dari HRD.
Menurutnya, yang sangat penting adalah adanya mekanisme regional untuk perlindungan terhadap HRD. Negara, dan juga berbagai stakeholders harus mendukung pengembangan regional dan juga saling koordinasi. Mekanisme regional sangat potensial dan melengkapi usaha-usaha international untuk menjamin dan mengefektifkan sistem perlindungan bagi HRD melebihi batas-batas nasional.
Secara khusus, Hina melaporkan kunjungan kenegaraannya ke Indonesia, yang dilakukannya pada 5 – 12 Juni 2007 lalu, ke Jakarta, Aceh dan Provinsi Papua Barat (West Papua Provinces). Baginya, kunjungan tersebut sebagai langkah positif untuk memperkuat hukum dan kerangka institusional negara untuk melindungi HAM, membuat kesadaran baru dalam aturan HRD dan memudahkan kerja mereka.
Dia mengamati bahwa kerangka tersebut dirusak oleh beberapa gap dan mengurangi kontribusi yang dihasilkan oleh HRD. Kesalahan terbesar adalah karena tidak ada peraturan yang secara langsung melindungan HRD. Sebagian besar tantangan dari HRD dalam melakukan tugas HAM mereka adalah beberapa aktifitas yang dilakukan oleh polisi, militer dan pihak keamanan serta intelejen. Ada juga non-state actor yang ikut melakukan intimidasi dan untuk mempersulit akses HRD terhadap korban dan situasi di mana kejahatan telah terjadi.
Hina memberikan perhatian yang sangat serius terhadap situasi HRD di West Papua dan menyimpulkan bahwa kondisi ketakutan tidak dapat disangkal tersebar luas di provinsi ini, membatasi keterlibatan hak dari masyarakat Papua untuk berpartisipasi dalam pemerintahan, melakukan kontrol terhadap berbagai sumber daya dan proses demiliterisasi di provinsi Papua. Dia menyambut baik terhadap kemajuan situasi dan HRD di Aceh, walaupun masih terdapat batasan hukum, pemaksaan otoritas, stigmatisasi, pembatasan buat aktifis Woman HRD dan beberapa persoalan lainnya.
Rekomendasinya terhadap pemerintah Indonesi agar melakukan usaha yang intensif untuk lebih meningkatkan kemajuan perlindungan terhadap HRD dalam semua bidang, keanekaragaman populasi dan kekayaan budaya dapat menjadi inspirasi yang positif.
Dalam pesan terakhirnya, mengingat masa tugasnya direncanakan akan berakhir pada akhir April 2008, dia merasa makin penuh komitmen. Pada laporan pertamanya tahun 2001, dia hanya melakukan 13 komunikasi, tahun ini dia membuat lebih dari 400 halaman dengan 372 komunikasi. Sebab itu, mandat ini sangat penting dan harus dilakukan peningkatan, dalam arti memperluas ruang dari HRD dan bermakna pada pengakuan dan perlindungan diri mereka. Hal ini merupakan kemajuan yang luar biasa dan sangat memperkaya pengalaman.
Hal ini tidak mungkin terjadi tanpa kontribusi yang fundamental dari HRD terhadap diri mereka dan berkerjasama dengan pemerintah. Dia juga menyatakan penghargaan yang mendalam dan berhutang budi atas dukungan serta advis yang besar terhadapnya dan mandat dari HRC serta mengucapkan terima kasih kepada staff di HRC dan semua pihak.
Hina Jilani menyampaikan laporan selama 15 menit dengan sangat mengesankan, dia memberikan penekanan dan meminta perhatian dari setiap negara yang dia kunjungi serta kerja kerasnya memberikan kesan yang luar biasa dari anggota HRC maupun semua peserta sidang HRC.
Semoga semua ini menjadikan pekerjaan HRD di mana saja menjadi sedikit lebih bermakna dan makin mendapatkan tempat.
Foto:
Latifah Anum Siregar, bersama Hina Jilani di sela-sela pertemuan HRC.
(Anum Siregar).