Dulu, waktu UU No. 21 tahun 2001 tentang Status Otonomi Khusus untuk Provinsi Papua (UU Otsus) mulai dibahas dan disosialisasikan, terjadi protes di mana-mana. Di beberapa tempat, tim Asistensi RUU Otsus yang melakukan pertemuan untuk sosialisasi bahkan dibubarkan oleh rakyat. Sebenarnya ini ekspresi dari kekecewaan serta ketidakpercayaan rakyat Papua akan kesungguhan pemerintah Jakarta dalam memberikan pengakuan dan penghargaan terhadap rakyat Papua sebagai warga Indonesia.
Akan tetapi, dengan semangat ‘tanpa menyerah’ dan seolah-olah tidak paham dengan apa yang dikhawatirkan rakyat, tim asistensi Otsus, yang sebagian besar terdiri dari para intelektual Papua, berusaha keras menyelesaikan draft RUU Otsus, dengan semangat 1969 dan pengakuan akan hak-hak dasar rakyat Papua. Namun ketika hal ini diperhadapkan dengan otoritas Jakarta, yang dimenangkan tetap semangat 1945 dan sentralisasi.
Beberapa pasal krusial tidak diubah, namun dilengkapi dengan semangat NKRI, seperti pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsialiasi untuk pelurusan sejarah dalam bingkai NKRI serta beberapa pasal lainnya tetap dipajang, akan tetapi diberikan password oleh otoritas Jakarta. Dalam istilah hukum dikenal dengan ‘escape clause’ karena kewenangan absolute terhadap pasal-pasal tersebut diserahkan bukan kepada subyek di mana peraturan tersebut diperuntukkan, melainkan kepada kepentingan kekuasaan untuk memparalelkannya atau mengintepretasikannya.
Akibatnya dapat kita lihat, beberapa pasal harus diberikan defenisi operasional melalui Peraturan Pemerintah (PP) seperti kasus Lambang Daerah yang ditabrakan dengan UU yang lain (seperti pasal mengenai pembentukan Parpol dan KKR), ataupun dipreteli kewenangannya sehingga kehadirannya justru bak buah simalakama, seperti kewenangan yang dimiliki oleh Majelis Rakyat Papua (MRP).
Dalam prinsip ketatanegaraan, Undang-undang atau Peraturan Pemerintah memang merupakan kesepakatan-kesepakatan untuk mengatur (baca: mengintervensi) berbagai sumber daya yang ada: ekonomi, sosial, hukum, pendidikan, kesehatan dan terutama akses terhadap kekuasaan.
Menariknya, UU Otsus ketika disosialisasikan hingga diimplementasikan, bukan saja tidak ditolak oleh rakyat – termasuk penolakan masyarakat adat Papua yang diorganisir oleh Dewan Adat Papua pada 15 Agustus 2005 lalu – tetapi juga sebenarnya tidak dikehendaki oleh Jakarta. Penolakan dari Jakarta ini terus menerus muncul dengan berbagai aturan yang sama sekali tidak mempertimbangkan isi, substansi dan juga semangat lahirnya UU Otsus. Sehingga sebenarnya sejak awal tidak ada pihak yang bersepakat tentang ‘kesepakatan’ tersebut.
Hasil dari proses evaluasi dan refleksi kalangan ‘moderat’: para pengamat, pimpinan agama, beberapa NGO’s dan (lagi-lagi) akademisi, melalui berbagai diskusi seminar dan juga statement, menghendaki UU Otsus untuk direvisi. Namun pemerintah pusat lebih tertarik menggunakan kewenangannya untuk mulai memanfaatkan ‘escape clause’ dalam UU Otsus untuk mempreteli ‘aspirasi-aspirasi yang keramat’ di dalam UU Otsus tersebut. Mulai dengan dikeluarkannya Inpres No. 1 tahun 2003 untuk memecahkan dukungan geopolitik ke-Papua-an, kemudian lahir Inpres No. 5 tahun 2007 tentang Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Secara sistemik, Inpres ini menjegal kewenangan Gubernur.
Kemudian muncul juga PP No. 77 tahun 2007 tentang Lambang Daerah, sebagai upaya disintegrasi antara lembaga kultural, yakni MRP dengan rakyat Papua dan sekaligus instrument untuk mengkriminalisasikan semua aspirasi rakyat yang tidak sejalan dengan kehendak pemerintah. Termasuk juga dengan memaksa penggunaan PERMENDAGRI No. 59 tahun 2007 yang merupakan lanjutan dari PERMENDAGRI No. 13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah untuk menyusun APBD tahun 2008, walaupun pemerintah provinsi telah memiliki Perdasus No. 1 tahun 2007 tentang Pembagian Dana Otsus.
Terakhir, dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPPU) terkait dengan keberadaan Provinsi Irian Jaya Barat. Secara subtansi, PERPPU tersebut dikeluarkan apabila negara dalam keadaan genting/darurat, sehingga isinya hanya berisi respon hukum (cepat) atas situasi yang terjadi untuk dan dalam waktu tertentu serta hanya menyangkut hal tertentu. Namun apabila PERPPU tetap dikeluarkan, akan memberikan multi effect untuk mendorong kabupaten lain membentuk propinsi baru di luar mekanisme yang ditentukan oleh pasal 76 UU Otsus.
Artinya, PERPPU tersebut tetap akan menjadi preseden buruk dari suatu kesepakatan penyelesaian masalah pemekaran propinsi yang dilakukan oleh pemerintah Jakarta bersama elit Papua.
Ironisnya juga, elit Papua hanya dipajang untuk justifikasi melalui berbagai pertemuan dan komentar di media massa, mulai dari Gubernur Papua, Gubernur IJB, Ketua DPRP dan Ketua MRP. Tetapi apakah mereka juga tahu persis hal-hal yang diatur dalam PERPPU tersebut? Ataukah mungkin saja mereka tahu, akan tetapi hal tersebut merupakan bagian dari ‘kesepakatan-kesepakatan politik’, siapa dapat apa, misalnya dalam rangka Pemilu 2009 yang tidak ada kaitannya dengan kepentingan rakyat.
Jika demikian begitu kenyataanya, maka berarti energi perlawanan rakyat akan makin bertambah terhadap Jakarta sekaligus menurunkan dukungan politis terhadap elit Papua.