LAPORAN TAHUNAN ALDP: 2010
English Bahasa Indonesia

20 Maret 2008

Peristiwa 16 Maret: Kita Berduka

Oleh: andawat

Peristiwa 16 Maret 2006, di depan Universitas Cenderawash (Uncen) Abepura, adalah salah satu kasus HAM yang memberikan implikasi signifikan pada gerakan masyarakat sipil yang ada di Papua, khususnya Jayapura. Dalam insiden yang menewaskan 4 anggota POLRI dan 1 anggota TNI AU tersebut, berakibat membanjirnya tudingan terhadap mahasiswa, kelompok etnis tertentu, tapi juga gerakan masyarakat sipil. Hal ini ditunjukkan tanpa henti dalam rekaman media massa. Bahkan pengambaran tersebut berhasil men-cap gerakan sipil sebagai gerakan yang anarkis dan menakutkan, sehingga menurunkan simpati yang drastis dari berbagai elemen sipil lainnya.

Kondisi ini mengakibatan situasi yang sungguh hati-hati dari gerakan sipil untuk memberikan respon terhadap peristiwa tersebut, tertutama minggu pertama setelah kejadian tersebut. Hal ini bukan saja karena peristiwa tanggal 16 Maret tersebut, tapi juga karena respon ‘solidaritas’ yang ditunjukkan oleh korps POLRI akibat meninggalnya 4 anggota POLRI. Lantas terjadi sweeping, intimidasi, penyisiran ke berbagai asrama mahasiswa dan pemukiman masyarakat pengunungan. Maka setelah itu pun, terjadi penyiksaaan serta pengrusakan yang dialami oleh masyarakat sipil. Namun sayangnya, peristiwa tersebut tak banyak yang bisa diungkapkan oleh media massa. Hal ini dapat dimengerti, sebab media massa pun berada pada situasi yang sulit ketika itu.

Sesungguhnya, pembunuhan, penganiayaan, penyiksaan dan pengrusakan tidak dapat dibenarkan dengan alasan apapun dan oleh siapapun, entah itu aparat Polisi, TNI AU maupun masyarakat sipil. Sehingga seharusnya semua akibat yang ditimbulkan oleh kejadian tersebut serta kejadian lain yang mengikutinya dibawa pada proses hukum. Ada fakta mengenai terbunuhnya 4 anggota POLRI dan 1 anggota TNI AU serta ada fakta penyisiran, penyiksaan dan pengrusakan terhadap masyarakat yang harus sama-sama dipertanggungjawabkan, equality before the law. Sehingga tidak menimbulkan ketimpangan: kejahatan yang dilakukan oleh masyarakat sipil terhadap aparat dilakukan proses hukum, namun kejahatan aparat terhadap masyarakat sipil dibiarkan, tidak boleh ada excuse. Segala bentuk restitusi semisal ganti rugi atau perbaikan tempat tinggal dalam pertanggungjawaban hukum kita, harus dilakukan setelah ada putusan pengadilan yang bersifat tetap dan mengikat.

Catatan penting yang juga mesti dikaji lebih mendalam dari peristiwa tersebut adalah beberapa peristiwa hukum yang seharusnya ditindaklanjuti oleh pihak kepolisian. Pertama, soal insiden penembakan yang dilakukan oleh seorang oknum polisi terhadap seorang ibu di sekitar lingkaran Abepura, kira-kira 2 jam sebelum peristiwa 16 Maret pecah. Menurut seorang sumber informasi, oknum polisi tersebut sebenarnya sedang dalam hukuman untuk tidak diperbolehkan membawa senjata. Lantas dari mana dia mendapatkan senjata?

Kedua, peristiwa penembakan mahasiswa asal Sorong di daerah Buper, tanggal 21 Maret 2006. Terhadap peristiwa tersebut sempat dilakukan uji balistik terhadap sekitar 127 pistol buatan Pindad, jenis kaliber 38 milik dari anggota Polsek, Polresta Jayapura, Polres Jayapura dan Polda Papua. Namun hingga kini tidak pernah diberitahukan kepada publik dari ‘mulut pistol’ siapa peluru itu ditembakan. Dalam ilmu forensik balistik, setiap peluru yang dikeluarkan dari sebuah pistol memiliki guratan semacam ‘sidik jari’ yang tidak sama dengan pistol lainnya, sehingga seharusnya dengan mudah diketahui dari pistol siapa peluru itu ditembakkan. Pertanyaan berikutnya, apakah ada jenis pistol buatan Pindad jenis Kaliber 38 yang beredar di luar kewenangan formal pihak POLDA Papua?

Ketiga, ada beberapa barang bukti dan alat bukti yang sebenarnya dapat dikembangkan untuk mengungkapkan secara tuntas peristiwa tersebut, seperti mobil berlabel salah satu minuman berenergi, kumpul-kumpul di bawah jembatan penyebarangan Uncen pada tanggal 15 Maret malam, komunikasi melalui HP, dll. Sehingga tidak saja mengadili para pelaku yang sekarang sedang menjalani proses pemidanaan di LP Abepura, tapi lebih dari itu untuk membongkar secara mendalam faktor-faktor lain yang bisa saja berpengaruh secara substantif terhadap peristiwa tersebut ataupun pihak lain yang mungkin saja terlibat secara konsep, berjaringan atau secara sendiri-sendiri, dipandang wajib bertanggungjawab. Termasuk saat mengelaborasi fakta-fakta lain yang ada, baik saat penyidikan maupun pemeriksaan perkara di pengadilan sehingga sedapat mungkin mengungkapkan peristiwa dengan lebih jelas dan detail.

Tujuan lain dari pendekatan ini dilakukan adalah agar bisa memutuskan mata rantai jaringan kelompok-kelompok tertentu yang secara sosiologis terbentuk dan berangkat dari kesamaan hobi dan profesi, misalnya sebagai pekerja tidak tetap, memiliki peluang untuk bertemu di waktu yang sama, kendati mungkin secara strutural tidak memiliki organisasi, tapi kesamaan yang ada dan rutinitas pertemanan serta pertemuan yang terjadi di antara mereka sangat dimungkinkan terjadi mobilisasi (juga provokasi) untuk kegiatan yang bisa saja berdampak negatif. Dalam beberapa peristiwa ‘amuk massa’ di Indonesia, jenis kelompok seperti ini berpeluang terlibat, baik secara senjaga maupun tidak. Pertanyaannya, mengapa rentetan ‘benang merah’ dari peristiwa tersebut tidak berhasil diungkapkan?

Peristiwa 16 Maret 2006 yang menewaskan 4 anggota POLRI dan 1 anggota TNI AU serta, penyiksaan dan pengrusakan yang dialami oleh masyarakat sipil menjadi pelajaran berharga bagi kita semua untuk taat pada proses hukum tanpa alasan pemaaf dan pembenaran atas apa yang sudah kita alami dan kerjakan serta responsif dalam mengantisipasi berbagi realitas sosiologis di masyarakat yang terus menerus mengalami perubahan serta melahirkan kemungkinan-kemungkinan.

Keterangan Foto:
Proses pemindahan tersangka kasus 16 Maret 2006, dari Polda Papua ke LP Abepura.
(Koalisi LSM).