LAPORAN TAHUNAN ALDP: 2010
English Bahasa Indonesia

04 April 2008

Setelah Hutan Tak Terlindungi


Sumber: Majalah Tempo, Edisi. 04/XXXVII/17 - 23 Maret 2008

Perusahaan tambang di daerah berebut masuk ke kawasan hutan. Menteri Lingkungan Hidup berjanji menindak pengusaha yang bandel. Bundel map itu tergeletak di meja Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Murung Raya, Kalimantan Tengah. Sipet Hermanto, si pemilik meja, sudah selesai memproses permohonan izin pinjam kawasan hutan yang diajukan PT Marunda Graha Mining. Kini ia menunggu empat permohonan serupa yang akan segera masuk. ”Departemen Kehutanan baru memberikan izin untuk PT Marunda,” kata Sipet, Senin pekan lalu.


Izin bagi empat perusahaan ini, Menurut Sipet, bakal segera turun. Bahkan prosesnya akan jauh lebih cepat bagi perusahaan lain yang telah menyatakan minatnya. Semangat Sipet untuk menarik perusahaan tambang masuk hutan melambung setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan peraturan pemerintah pada 4 Februari lalu.

Peraturan Nomor 2 Tahun 2008 itu mengatur jenis dan tarif penerimaan negara bukan pajak dari penggunaan kawasan hutan. Dengan aturan baru tersebut, perusahaan tambang amat dimudahkan meminjam kawasan hutan. Tak perlu lagi repot-repot mencari lahan pengganti di tempat lain. Cukup membayar Rp 1,8 juta sampai Rp 3 juta per hektare sebagai biaya pinjam pakai kawasan hutan selama setahun.

Aturan ini menyelesaikan masalah yang selama ini mengganjal perusahaan tambang di areal hutan. Dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 14 Tahun 2006, perusahaan tambang wajib menyediakan areal kompensasi seluas dua kali wilayah yang dipinjam-pakaikan. ”Kami sulit mencari lahan kompensasi,” ujar Sipet kepada Tempo.

Alhasil, kehadiran PP Nomor 2 Tahun 2008 bagi Sipet menjadi berkah tersendiri. Dia mempunyai jalan keluar dari pengajuan izin beberapa pengusaha yang menghubunginya. Ternyata tidak hanya di Murung Raya, sejumlah kabupaten lain juga kebanjiran proposal perusahaan tambang. Di Provinsi Gorontalo, Gubernur Fadel Muhammad bahkan membentuk Dinas Kehutanan dan Pertambangan.

Andai kata usul itu disetujui, tak pelak lagi bakal makin banyak industri tambang yang merambah hutan. Menurut catatan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), sejak tahun 2000, sudah keluar 154 izin konsesi pertambangan di kawasan hutan dengan luas keseluruhan 11,4 juta hektare. Lokasi itu tersebar di 85 kabupaten di 26 provinsi.

Kehadiran PP ini menuai banyak kecaman. Apalagi penentuan tarif kelewat murah, yakni Rp 120 sampai Rp 300 per meter persegi per tahun. ”Lebih murah dari harga sepotong pisang goreng,” kata Koordinator Jatam Siti Maemunah. Untuk memprotes aturan ini, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Senin pekan lalu, berunjuk rasa di Departemen Keuangan. Direktur Eksekutif Nasional Walhi, Chalid Muhammad, menyerahkan uang Rp 1.614.000 ke instansi pemerintah ini. ”Uang itu sumbangan masyarakat guna penyelamatan hutan Indonesia,” Chalid. Mereka juga mempersoalkan pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bahwa aturan itu untuk meningkatkan kontribusi 13 perusahaan tambang yang telah mendapat izin.

Dalam konferensi pers di gedung Manggala Wanabakti, kantor Departemen Kehutanan, Rabu dua pekan lalu, Yudhoyono memang menjelaskan soal itu. ”Mereka sudah berada di sana, tentu harus diatur kontribusinya kepada negara, yaitu untuk tujuan pelaksanaan rehabilitasi dan penghutanan kembali.” Peraturan itu, ujarnya, kelanjutan Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 2004 yang diteken Megawati Soekarnoputri.

Ketika itu Presiden Megawati mengatur perizinan untuk 13 perusahaan tambang yang sudah berada di kawasan hutan lindung sebelum keluarnya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Perusahaan yang beroperasi semenjak awal Orde Baru itu antara lain Freeport di Papua, Inco di Sulawesi, dan Ineterex di Kalimantan. Ternyata dalam PP Nomor 2 Tahun 2008 dan penjelasannya, tidak ada kalimat soal 13 kongsi tambang itu.

Kepala Pusat Pembentukan Wilayah Hutan Sutrisno menjelaskan bahwa PP itu dirumuskan selama setahun. ”Kantor Menteri Koordinator Perekonomian sebagai dirigennya,” ujarnya. Tim harmonisasi itu melibatkan wakil dari Departemen Kehutanan, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Departemen Keuangan, serta Kementerian Lingkungan Hidup.

Alasan utama keluarnya PP ini, selama ini Departemen Kehutanan tidak mendapat uang sepeser pun dari pemakaian hutan untuk aktivitas di luar urusan kehutanan. Misalnya untuk pertambangan, jalan, pemancangan jaringan listrik dan komunikasi. ”Kini, ketika kami mau mendapatkan dana, semua meributkan,” ujar Sutrisno. Dia menjelaskan penentuan formula dan besarnya tarif berdasarkan kajian dinamis, yakni kunjungan ke-13 perusahaan.

Awalnya tim membuat simulasi perhitungan berdasarkan biaya operasional, keuntungan, dan beban pajak lainnya. Muncul angka Rp 9 juta per hektare per tahun, sehingga pendapatan negara bukan pajak (PNBP) yang harus dibayarkan perusahaan mencapai Rp 150 miliar per tahun. Para pengusaha menjerit. Setelah melakukan beberapa simulasi, akhirnya keluar perhitungan dan formula seperti yang ada dalam PP Nomor 2 Tahun 2008.

Sutrisno membantah inisiatif aturan itu dari kalangan pengusaha. ”Justru mereka yang keberatan,” katanya. Alasannya, setelah keluarnya tiga Peraturan Menteri Kehutanan—yang kini sedang disiapkan—ke-13 perusahaan itu harus membayar PNBP. Departemen Kehutanan menargetkan penerimaan Rp 600 miliar dari tarif penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan nonkehutanan.

Menteri Negara Lingkungan Hidup Rahmat Witoelar mengaku mendengar rancangan peraturan pemerintah itu dalam rapat kabinet. ”Kami akan menjaga analisis mengenai dampak lingkungan dan terus memantau di lapangan,” ujarnya seusai rapat kerja dengan DPR, Selasa pekan lalu. Menurut dia, aturan itu hanya untuk 13 perusahaan. Jika ada perusahaan lain yang menyusul masuk, ”Laporkan ke kami,” katanya kepada Tempo sambil menunjuk Ilyas Assad, Deputi Menteri Lingkungan Hidup Bidang Penegakan Hukum.

Salah satu Deputi Menteri Lingkungan Hidup membantah instansinya ikut dalam penyusunan peraturan tersebut. ”Aturan itu dibuat tergesa-gesa sehingga tidak sinkron antara formula dan besarnya tarif,” ujar pejabat yang tidak bersedia disebut namanya. Mereka akan mengawasi Peraturan Menteri Kehutanan agar tidak menabrak UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, khususnya soal bukaan tambang di bawah tanah.

Bagi Hendro Sangkoyo, peraturan baru itu mensabotase Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim yang tiga bulan lalu berlangsung di Bali. ”Ini kejahatan internasional dan memalukan Indonesia,” kata doktor di bidang sumber daya alam dari Universitas Cornell ini. Ia merujuk posisi Rahmat Witoelar sebagai presiden konferensi.

Lebih dari itu, PP Nomor 2 menjadi bukti bahwa rezim pemikiran yang menyamakan hutan sebagai komoditas ekonomi semakin eksis. ”Mereka mencari rente dengan cara apa pun, termasuk mengeksploitasi hutan lindung,” kata Hendro, yang beberapa kali menjadi anggota delegasi Indonesia di Konferensi Perubahan Iklim. Pemberian izin kepada perusahaan Freeport masuk ke Papua pada 1967 menjadi awal berkuasanya rezim itu.

Padahal, kata Hendro, 13 kongsi tambang yang mengantongi izin telah membuka hutan lindung di wilayahnya secara sembarangan. Dia pernah meneliti dua perusahaan tambang di Papua. ”Limbahnya tidak diolah, langsung dibuang ke laut,” ujarnya. Alhasil, aturan baru tersebut, tuturnya, semakin memperjelas peran negara sebagai lokomotif perusakan hutan. [ Untung Widyanto, Karana Wijaya (Palangkaraya), Verrianto Madjowa (Gorontalo)].

Daftar 13 Kongsi Tambang:

1. Freeport Indonesia (Papua)
Bahan galian: Tembaga dan emas
Luas: 212.950 ha
2. Karimun Granit (Kepulauan Riau)
Bahan galian: granit
Luas: 2.761 ha
3. Inco Tbk (Sulawesi Selatan, Tengah dan Tenggara)
Bahan galian: nikel
Luas: 218.528 ha
4. Indominco Mandiri (Kalimantan Timur)
Bahan galian: batu bara
Luas: 25.121 ha
5. Aneka Tambang Tbk. (Maluku Utara)
Bahan galian: nikel
Luas: 39.040 ha
6. Natarang Mining (Lampung)
Bahan galian: emas
Luas: 12.790 ha
7. Nusa Halmahera Mineral (Maluku Utara)
Bahan galian: emas
Luas: 29.622 ha
8. Pelsart Tambang Kencana (Kalimantan Selatan)
Bahan galian: emas
Luas: 210.000 ha
9. Interex Sacra Raya (Kalimantan Selatan dan Timur)
Bahan galian: batu bara
Luas: 15,650 ha
10. Weda Bay Nickel (Maluku Utara)
Bahan galian: nikel
Luas: 76.280 ha
11. Gag Nikel (Papua)
Bahan galian: nikel
Luas: 13.136 ha
12. Sarikmas Mining (Sumatera Utara)
Bahan galian: emas
Luas: 66.200 ha
13. Aneka Tambang Tbk. (Sulawesi Tenggara)
Bahan galian: nikel
Luas: 14.570 ha