LAPORAN TAHUNAN ALDP: 2010
English Bahasa Indonesia

06 April 2008

Sumber Daya Alam: Milik Siapa?


Oleh: andawat

25 Maret 2008, kekayaan alam Papua kembali menjadi alasan untuk berkonflik. Ketika itu, di kampung Tablasupa, distrik Depapre, kabupaten Jayapura, sekelompok orang melakukan pengrusakan terhadap rumah
Ondoafi (kepala suku) Tablasupa, Obaja Apaseray, karena dianggap sebagai bagian dari PT Sinar Indah Persada (SIP), selaku perusahaan yang akan mengeksploitasi nikel di daerah tersebut. Untuk diketahui, saat ini kekayaan alam di daerah tersebut tengah menjadi ‘rebutan’ dua perusahaan tambang, PT SIP dan PT Tablasufa Nikel Mining (TNM). Sialnya, ini kemudian melahirkan faksi sekaligus konflik di kalangan masyarakat sendiri.


Bahwa ini adalah kisah lain dari lahirnya bibit konflik sumberdaya alam di Papua. Namun artikel ini tidak secara khusus membahas konflik di atas. Tulisan ini mencoba melihat dari sisi kondisi hutan yang pasti akan rusak, sebagai konsekuensi logis dari penambangan tersebut, kaitannya dengan keberlangsungan ekologi dan juga ketergantungan masyarakat terhadap hutan tersebut.

Kejadian di pesisir pantai Depapre tersebut hanya salah satu contoh dari sekian banyak sikap pelecehan terhadap hak-hak masyarakat adat atas tanah dan sumber daya alamnya. Secara yuridis formal, beberapa aturan hukum yang berkaitan dengan tanah dan sumber daya alam memang memberikan peluang yang menguntungkan pemilik modal, termasuk negara dibandingkan terhadap masyarakat adat.

Pasal 33 ayat (3) UUD 45, menyebutkan bahwa merupakan hukum negara untuk menguasai bumi air dan kekayaan alam yang merupakan milik rakyat. Negara yang diterjemahkan menjadi pemerintah tidak hanya memiliki hak untuk merumuskan kebijakan (beleid), mengatur (regelendaad) dan pengurusan (bestuursdaad), tapi juga hak sebagai pemilik dan melakukan pengelolaan (bebeersdaad) serta melakukan pengawasan (teozichthoundendaad) yang oleh sistem kepemilikan kolektif seperti dalam masyarakat hukum adat di Papua jelas-jelas sangat merugikan.

Dulu, Presiden Megawati pernah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPPU) No. 1 tahun 2004 untuk memperkuat UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, yakni melarang kegiatan penambangan di areal hutan lindung. Namun tidak tak lama kemudian, presiden di tanggal 12 Mei 2004 malah mengeluarkan Keputusan Presiden (KEPPRES) yang mengijinkan 13 perusahaan tambang (dari 22 perusahaan yang diajukan) untuk melanjutkan operasinya di kawasan hutan lindung.

Selain itu, salah satu regulasi yang paling berbahaya untuk menjaga dan mempertahankan hak masyarakat adat terhadap sumber daya alamnya adalah UU No.25 tahun 2007, tentang Penanaman Modal, dan Peraturan Presiden No. 77 tahun 2007, tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka, dengan persyaratan di bidang penanaman modal telah mendorong liberalisasi dalam pengelolaan sumber daya alam sekaligus mengurangi kedaulatan rakyat atas sumber daya alamnya. Termasuk ketentuan tentang kepemilikan maksimal hingga 95 persen modal asing dalam usaha penyediaan air mnim, budidaya beberapa komoditas pertanian strategis di atas tanah seluas lebih dari 25 hektar, pengeboran minyak dan gas bumi, perkebunan dan sebagainya.

Bahkan muncul juga PP No. 2 tahun 2008, tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berasal penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang berlaku di departemen kehutanan. Artinya, pemerintah juga berusaha keras untuk mendapatkan berbagai keuntungan terhadap sumber daya alam yang tersedia.

Hal ini dapat kita cermati juga melalui kebijakan Gubernur Papua dan Gubernur Papua Barat yang mengeluarkan Surat Keputusan Bersama pada tanggal 18 September 2007, dengan nomor 16 tahun 2007, tentang tentang Peredaran Hasil Hutan, yang di antaranya berisi penghentian pemasaran kayu log ke luar dari Tanah Papua, namun pada bulan Maret tahun ini, Gubernur Papua malah memberikan ijin kepada investor untuk kembali mengekspor kayu log tersebut. Walaupun kuota ditentukan oleh pemerintah daerah, akan tetapi tidak ada mekanisme kontrol yang dapat menjamin adanya batasan jumlah produksi kayu log guna menyelamatkan hutan masyarakat adat.

Dalam berbagai proses negosiasi terkait dengan pengelolaan sumber daya alam, sikap pemerintah cenderung melemah dan juga kadang memposisikan diri sebagai ‘broker’ dari pemilik modal, apalagi terhadap keberadaan perusahaan Multi National Coorporate (MNC). Akibatnya pemerintah bersama pemilik modal mengambil posisi untuk secara terus menerus menekan masyarakat adat melalui berbagai ‘kesepakatan dagang’ sehingga menyebabkan masyarakat terikat untuk memberikan tanahnya sekaligus kehilangan atas penguasaan dan ganti rugi yang memadai.

Misalnya ketika proses pembebasan tanah oleh Perusahaan British Petroleum (BP) Indonesia sekitar tahun 2001. Saat itu dilakukan kontrak jual beli melalui kesepakatan antara pemerintah daerah Manokwari, pemilik modal dan pemiliki hak ulayat, dan ‘disepakati’ harga jual tanah sebesar Rp 15,-/m2. Harga yang lebih murah dari harga 1 buah permen kopiko – konon pihak perusahaan sebenarnya membayar Rp 30,-/m2, tapi tidak diketahui ke mana larinya yang Rp 15,-/m2.

Kita bisa bayangkan, bahwa dalam waktu seketika, tanah seluas 10.000 m2 sumber kehidupan turun temurun dibayar seharga Rp 150.000,- dan uang tersebut akan habis paling lama 5 hari.

Sebenarnya prinsip-prinsip investasi tidak ditolak oleh masyarakat adat, kita dapat baca dari hasil keputusan sidang Dewan Adat Papua, Juli 2007, yang dalam salah satu point Komunike menyebutkan bahwa “... Masyarakat adat Papua bersikap ramah terhadap investasi yang menghargai dan menghormati kepemiliki kolektif masyarakat adat...”. Juga dalam praktek di lapangan sejak dulu, masyarakat adat Papua membuka diri terhadap investasi. Sayangnya, sikap terbuka dari masyarakat adat tersebut justru dijadikan peluang untuk membatasi dan menutup ‘keterlibatan’ masyarakat adat secara maksimal. Kerendahan hati mereka diserang dengan berbagai kebijakan pemerintah, juga melalui bujuk intimidasi yang dilakukan oleh aparat polisi, militer yang mempersonafikasikan diri sebagai utusan negara dan juga wakil perusahaan. Serta dengan mengkriminaliasasikan upaya reklaiming yang dilakukan oleh masyarakat adat dengan sebutan perlawanan politik terhadap negara, alias separatis.

Beberapa kenyataan sudah terjadi. Cermati saja kasus Wasior di desa Wondiboy pada tanggal 13 Juni 2001. Reklaiming hak atas pengapalan kayu log oleh masyarakat adat, ditanggapi perusahaan CV Vatika Papuana Perkasa dan CV Trima Jaya Sukses Lestari (kontraktor perusahaan HPH di wilayah Wondiboy) dengan mengundang kesatuan pengamanan, Brimob, maka konflikpun terjadi. Masyarakat diperhadapkan dengan aparat keamanan. Pada kasus tertentu, ternyata dengan mudah investor memicu konflik antara pemerintah (aparat keamanan) dengan masyarakat adat, selain bahwa memang sudah terbangun stigma tertentu dari pemerintah (aparat keamanan) terhadap masyarakat adat.

Di sisi perusahaan, berbagi upaya pembelaan terus dilakukan dalam bentuk rekruitmen sebanyak banyaknya masyarakat adat dengan posisi tertentu atas nama ‘pengakuan dan penghormatan’, kenyataannya justru semacam pembatasan atas sikap inklusif perusahaan (juga toleransi atas desakan dari luar perusahaan) guna memenuhi salah satu kriteria keterwakilan masyarakat adat.

Ketidaksungguhan sikap perusahaan seperti ini akan teruji, misalnya pada tahap lanjut perusahaan akan lebih banyak memperkerjakan orang luar pada posisi strategis dengan alasan ketidakmampuan sumber daya lokal, muncul berbagai reaksi dari pekerja, seperti akumulasi kekecewaan dan protes yang dilakukan oleh pekerja orang Papua di PT Freeport pada bulan Maret 2007, serta bisa juga menjadi tuntutan yang meluas dari elemen civil society. Misalnya untuk melakukan moratorium atau menghentikan aktifitas perusahaan.

Kewajiban lain yang dilakukan oleh perusahaan, adalah Corporate Social Responsibility (CSR) sebagai bentuk pertanggungjawaban sosial terhadap masyarakat terutama di wilayah konsesi. Upaya ini sungguh sangat bagus jika niatnya tidak ditujukan untuk memperkuat praktek liberalisasi, meng-alienasi sistem dan nilai-nilai lokal, apalagi mereduksi supremasi pemilik tanah demi kepentingan pemilik modal. Sejatinya CSR diletakkan dengan tujuan mulia, yakni mulai ‘mencicil’ utang perusahaan terhadap masyarakat adat.

Pertama, utang ekologi. Karena secara otomatis terjadi kerusakan lingkungan pada saat perusahaan masuk, saat beroperasi, bahkan setelah operasi, atau pasca tambang untuk pertambangan. Bencana ekologi pasti akan terjadi, daya fungsi tanah akan berkurang secara kwantitas dan kualitas. Limbah pertambangan beracun dan berbahaya akan menetap selamanya dan menjadi ancaman bagi generasi yang mendatang.

Kedua, perusahaan juga harus membayar utang sosial melalui pendidikan dan ketrampilan yang disediakan. Bukan saja dengan mendirikan bangunan sekolah dan memberikan beasiswa, tetapi juga membantu merekonstruksi pemahaman akibat perubahan pola pikir dan perilaku yang berimplikasi kepada tatanan kehidupan sosial masyarakat adat.

Meminjam istilah Cak Nur (DR. Nurcholis Madjid), masyarakat adat mengalami disorientasi nilai dan disorientasi lokasi. Perusahaan sebagai eksistensi yang datang dari luar akan membenturkan sistem, nilai dan mungkin juga simbol-simbol lama yang ada di masyarakat adat. Pasti akan muncul pertanyaan, perdebatan dan juga kebingungan. Bisa saja mereka berpikir sesuatu yang baru dan datang dari luar itu lebih baik, menarik untuk diikuti, membuat mereka lebih bisa ‘diterima’ dalam pergaulan di luar komunitas mereka atau membuat mereka terlihat lebih jika berada di tengah komunitas mereka. Di mana posisi mereka sekarang? Kalau dulu punya tanah 10.000 m2, lantas setelah ada perusahaan, apakah saya pemilik atau hanya pekerja golongan rendah? Atau hanya menjadi penonton saja...

Lantas bagaimana dengan masyarakat adat itu sendiri? Eksistensi luar yang melahirkan sejumlah perubahan baik yang terjadi by design, yang secara sistemik melemahkan kepemimpinan dan mekanisme adat – dilakukan oleh perusahaan juga berbagai kebijakan, semisal penetapan batas wilayah administrasi yang bertentangan dengan batas wilayah adat atau domestifikasi institusi adat melalui pembentukan LMA oleh pemerintah – dan juga akibat interaksi perilaku menyebabkan berbagai permasalahan di antara masyarakat adat sendiri. Untuk itu, konsolidasi dan penguatan masyarakat adat pada multi level (mata rumah, klan, keret, suku, wilayah dan lain-lain), multi pihak (pemerintahan adat, peradilan adat, dan lain-lain) dan multi issu (hukum, ekonomi, politik, demokrasi dan lain-lain) wajib dilakukan untuk meminimalisir upaya destruktif dari dalam dan luar serta mendapatkan kembali pengakuan baik melalui berbagai mekanisme formal maupun informal.

Khusus terhadap tanah dan sumber daya alam, masyarakat adat harus bisa merumuskan peran dan posisi mereka dalam memperjuangkan:
Pertama: hak untuk menggunakan aset. Apakah benar bahwa tanah dan sumber daya alam yang ada masih merupakan milik dari masyarat adat ataukah kehadiran investor telah memutuskan mata rantai phisik, historis dan emosional antara masyarakat adat dengan tanah dan sumber daya alamnya? Kenyataanya, pada saat masyarakat pergi mencari kayu bakar di hutan, mereka menemukan tulisan: ‘Dilarang Masuk, Ini Areal Hutan Tanam Industri’, atau ‘Hutan HPH’, ‘Hutan Lindung’, atau juga ‘Areal Penambangan’.

Kedua: hak untuk menggunakan akses. Artinya masyarakat adat diberikan hak khusus untuk memanfaatkan berbagai fasilitas yang disediakan oleh investor. Misalnya menggunakan fasilitas sekolah, kesehatan, pasar ataupun memanfaatkan sisa-sisa hasil olahan utama dari sumber daya alam mereka. Kenyataannya justru dikenakan kewajiban tertentu kepada masyarakat adat. Misalnya, membayar uang agar bisa masuk karena tempat tersebut dikuasai oleh kelompok tertentu. Seperti kasus pemungut sisa olahan tambang PT. Freeport di Timika, yang hanya bisa masuk areal tersebut kalau mampu membayar kepada militer yang menjaga areal tersebut.

Ketiga: hak untuk melakukan kontrol. Masyarakat adat harus tahu luas dan batas wilayah konsesi, cara dan fasilitas kerja, fasilitas keamanan dan berbagai fasilitas lainnya yang dimiliki dan digunakan oleh investor by legal dan de facto sebagai instrument kontrol terhadap perusahaan. Misalnya, PT. Freeport dalam waktu dekat akan mengakhiri penambangan terbuka dan terfokus pada penambangan tertutup. Penambangan tertutup selalu menggunakan prinsip terowongan sehingga beresiko terhadap luas wilayah konsesi, apakah bisa dikontrol oleh masyarakat adat?

Sekali lagi, pemilik modal harus memberikan pengakuan dan penghargaan terhadap kepemilikan masyarakat adat sejak awal investasi hingga pasca investasi dalam ’Kesepakatan Dagang’, Kontrak Karya, atau apapun namanya, tertera dengan rinci dan jelas, mengikat dan dapat diminta pertanggungjawaban hukumnya. Ini juga merupakan bagian dari upaya antisipasi berbagai kemungkinan konflik antara masyarakat adat dan pemilik modal di kemudian hari.

Dalam kasus di Tablasupa, kearifan semua pihak, terutama investor dan pemerintah, harus lebih dikedepankan untuk menghindari persoalan yang lebih rumit di kemudian hari.