LAPORAN TAHUNAN ALDP: 2010
English Bahasa Indonesia

10 April 2008

Universal Periodic Review (UPR): Mekanisme Baru dalam Human Rights Council



Tulisan Latifah Anum Siregar, dari Inggris

Pada bulan April 2008, di Human Rights Council (HRC), Geneva, akan dimulai proses Universal Periodic Review (UPR), yakni salah satu mekanisme baru untuk mereview situasi dari kewajiban dan komitmen hak asasi manusia dari 192 negara anggota PBB. Setiap tahun akan ada 3 sesi UPR, dan setiap sesi akan digelar selama 2 minggu, dengan mengagendakan 16 negara untuk melakukan UPR.

Sebenarnya konsep dari UPR tidaklah begitu baru, karena sebelumnya telah ada beberapa aktifitas seperti: Periode Review dari treaty body, reform proposal dari Secretary General dalam ‘large freedom’, pembahasan pada UN World Summit 2005. Ada juga proses di New York dengan sebutan the peer review mechanism. Kemudian keluarlah General Assembly Resolution 60/251 pada March 2006 mengenai UPR.

Secara prinsip proses UPR dialamatkan kepada:
1. Promosi mengenai keadaan umum, saling ketergantungan, keadaan yang tak dapat dibagi-bagi serta keadaan saling berhubungan dari seluruh hak asasi manusia.
2. Proses UPR juga mengandung prinsip sebagai mekanisme dasar untuk bekerjasama dan berbagi informasi yang dapat dipercaya melalui dialog yang interaktif berlangsung secara transparan dan diharapkan tidak mengandung maksud-maksud politik, serta saling melengkapi dengan berbagai mekanisme hak asasi manusia lainnya. Sehingga proses ini juga membantu berbagai Treaty Body seperti Committe Againts Torture (CAT) untuk memonitoring situasi hak asasi manusia.
3. Dalam proses review, diharapkan ada perbaikan dari kondisi hak asasi manusia. Pada tingkat dasar ada pemenuhan kewajiban serta komitmen negara melalui perkembangan-perkembangan yang positif. Juga sharing pengalaman terbaik yang dapat dijadikan pelajaran untuk mendukung proses promosi dan peningkatan perlindungan hak asasi manusia.

Proses UPR sendiri di dalam Office of the High Commissioner for Human Rights (OHCHR) dikerjakan oleh Working Group atau Kelompok Kerja. Working Group yang akan melaksanakan proses tersebut bersama dengan staf dari OHCHR, diberikan kesempatan selama 3 jam untuk me-riview laporan tiap negara dengan waktu tambahan selama 1 jam untuk hasil dari sesi pleno serta 30 menit untuk menggabungkan laporan dari tiap negara dalam Working Group. Untuk menjalankan proses tersebut, Working Group dipilih dari anggota council yang berbeda group regionalnya dari negara pelapor UPR (Troika), akan tetapi negara pelapor UPR diberikan kesempatan untuk menentukan 1 pelapor dari regional yang sama dan juga dalam keadaan tertentu diperbolehkan meminta ganti pelapor. Setiap negara bebas memutuskan komposisi dari delegasinya termasuk juga untuk memasukan para ahli ataupun delegasi dari masyarakat sipil.


Materi atau dokumen untuk UPR terdiri dari 3 sumber:
Pertama, informasi yang disiapkan oleh negara dengan menggunakan pedoman umum yang diadopsi dari council dan informasi lainnya yang dianggap relevan oleh negara sehingga menjadi laporan nasional/negara (tidak lebih dari 20 halaman).

Kedua, kompilasi informasi yang disiapkan oleh OHCHR yang berisi ringkasan informasi, laporan dari Treaty Body, special procedure (Special Rappourteurs,Working Group, Advisor Committe dll) dan dokumen PBB lainnya yang relevan untuk menguji catatan hak asasi manusia (tidak lebih dari 10 halaman).

Ketiga, adalah dokumen lainnya yang merupakan informasi yang dapat dipercaya dari berbagai sumber stakeholders, termasuk NGO’s dan akan disiapkan atau diringkas oleh OHCHR (tidak lebih dari 10 halaman).

Laporan negara dan ringkasan yang disiapkan oleh OHCHR harus sudah siap dalam waktu 6 minggu sebelum UPR berlangsung. Hal ini juga untuk menjamin Working Group mendistribusikan ke dalam 6 bahasa resmi yang digunakan di PBB, sebagaimana dimandatkan dalam General Assembly Resolution 53/208 pada 14 Januari 1999.

Proses ini menjamin keterlibatan semua pihak yang relevan, termasuk berbagai NGO dan institusi hak asasi manusia lainnya dengan mengacu pada General Assembly Resolution 60/251. Pihak-pihak tersebut dapat pula menghadiri review dalam Working Group. Serta dalam Resolusi A/HRC/RES/5/1 memungkinkan NGO’s untuk melakukan Tanggapan Umum sebelum dilakukan sesi pleno.

Sehingga peran yang dapat dilakukan oleh NGO’s dan National Human Rights Institution (NHRI’s) adalah:
  1. Di tingkat nasional turut mendukung dan berpartisipasi pada konsultasi publik ataupun kampanye melalui media massa, sebelum setiap negara menghasilkan laporan nasionalnya.
  2. Memberikan informasi yang relevan langsung ke Office of the High Commissioner for Human Rights (OHCHR).
  3. Mengajukan pernyataan tertulis kepada Working Group serta selama proses UPR dapat melakukan: [1]. Lobby terhadap anggota Working Group dan negara pengamat untuk turut mengangkat issu-issu yang relevan dalam review; [2]. Lobby Troika (anggota council yang berbeda kelompok regional) untuk mengangkat issu-issu pokok guna melengkapi laporannya; [3]. Lobby dengan Working Group untuk menyakinkan hasil laporan benar-benar memuat issu-issu pokok yang diangkat pada saat review.
  4. Menyelenggarakan paralel meeting ataupun side events dengan Special Rapporteurs, berbagai delegasi, para ahli, akademisi, institusi hak asasi manusia lainnya untuk mendapatkan dukungan dari berbagai pihak.

Pada bulan April 2008 ini, Indonesia bersama, antara lain India dan Philipina merupakan negara yang akan mendapatkan jadwal melakukan UPR pertama kali. Sebelum proses tersebut dilakukan, banyak pihak dari berbagai kalangan di Indonesia maupun pihak luar yang memberikan perhatian terhadap perkembangan hak asasi manusia di Indonesia, telah membahas materi UPR dari pemerintah Indonesia, termasuk salah satu kegiatan yang diselenggarakan pada tanggal 17 Maret 2008 di Palais des Nations (PBB) dengan thema ‘Civil Society Involvement UPR the Example of Indonesia’. Diperkirakan, akan banyak pula yang hadir pada saat UPR Indonesia ini dilaksanakan.

Kita berharap, bahwa proses tersebut menciptakan peluang yang lebih besar untuk menuntut tanggungjawab dan komitment pemerintah Indonesia dalam memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Hal lain yang sama pentingnya, adalah bagaimana berbagai institusi hak asasi manusia, termasuk NGO’s/LSM bersinergis dan terus mencari terobosan baru untuk memperjuangkan penegakan hak asasi manusia di Indonesia, khususnya di tanah Papua, melalui mekanisme UPR dan mekanisme lainnya, baik di tingkat lokal, regional, nasional maupun international.

Foto: Latifah Anum Siregar