“Di Papua ada potensi konflik antaragama dan golongan, karena hubungan antara muslim dan kristen di kawasan itu makin tegang”. Demikian tertera di laporan International Crisis Group (ICG).
Menurut Thaha Muhammad Alhamid, Sekjen Presidium Dewan Papua, di Papua belakangan ini berdatangan apa yang disebut orang (sebagai) ‘Kristen Baru’ dan ‘Muslim Baru’. Mereka ini beraliran keras dan bisa menyulut konflik seperti yang pernah terjadi di Maluku. Apa yang dimaksud dengan Muslim Baru dan Kristen Baru itu? Ikutilah keterangan penggagas Majelis Muslim Papua ini kepada Radio Nederland.
Thaha Mohammad Alhamid [TMA]: Secara terbuka, memang konflik itu belum kelihatan. Tapi bahwa potensi itu ada, saya percaya. Karena memang terakhir ini, atau paling tidak dalam sepuluh tahun terakhir, kita kenal, mungkin istilah yang pas adalah ‘Islam Baru’ dan ‘Kristen Baru’, yang ada di Papua memang menunjukkan gejala-gejala atau tanda-tanda yang jelas, bahwa ruang perbedaan itu semakin tajam, semakin terbuka.
Kita lihat tiba-tiba tumbuh di tanah Papua ini berbagai kelompok pengajian yang eksklusif, kemudian ada juga gereja-gereja seperti di Sorong yang sangat mewah dan tidak banyak masyarakat Papua yang masuk di situ. Kemudian juga ada pesantren-pesantren yang tiba-tiba bermunculan, bahkan banyak dipertanyakan. Kenapa ada pesantren di komunitas yang non muslim? Juga organisasi seperti Hizbut Tahrir, kemudian juga ada kelompok-kelompok Salafi dan lain-lain. Itu sangat jelas sekali di Sorong, di daerah-daerah seperti Manokwari juga di Fakfak, di Kaimana dan di Jayapura.
Radio Nederland Wereldomroep[RNW]: Inikah yang Anda maksud, ‘Muslim Baru’ dan ‘Kristen Baru’ itu ya?
KETEGANGAN
TMA: Ya. Kami memakai pandangan itu lantaran muslim Papua, yang sekarang ini tergabung di dalam Majelis Muslim Papua adalah masyarakat Papua, masyarakat asli yang beragama islam dan tumbuh dalam semangat religiusitas, yang moderat, yang ada di dalam pelataran budaya bersama-sama dengan saudara-saudaranya yang beragama nasrani.
Demikian juga sebaliknya pada saudara-saudara yang beragama nasrani, yang memang tumbuh dalam semangat Papua bersama-sama dengan masyarakat muslim tanpa membangun perbedaan-perbedaan. Ini terbukti sekian puluh tahun tidak pernah ada ketegangan, tidak pernah ada konflik. Ketakutan itu baru mulai terasa sekarang ini.
RNW: Kalau begitu, ini akan bisa mengarah kepada konflik seperti terjadi di daerah lain seperti di Maluku, begitu ya?
TMA: Potensinya sangat pas. Menurut saya justru berada di puncak kekhawatiran, dan ini kalau memang ada trigger (penyulut, red), bisa meledak. Satu contoh misalnya ketika tahun yang lalu rencana pembangunan masjid raya di Manokwari yang kemudian ditentang dengan sangat keras oleh saudara-saudara kaum nasrani. Dan sesudah itu muncul apa yang dikenal dengan Perda Kota Injil. Itu juga direspon beragam oleh beberapa kelompok-kelompok garis keras dari muslim yang berada di luar Papua. Mereka itu merespon dengan pandangan jihad.
RNW: Apakah ada upaya-upaya seperti Anda yang muslim lama, dan yang sudah lama di sana, yang berakar di sana untuk mengusahakan supaya jangan terjadi eskalasi?
MEMBANGUN DIALOG
TMA: Tahun lalu, setelah pada tahun 1999 sejumlah aktivis dari kalangan muslim Papua mendorong terbentuknya itu Solidaritas Muslim Papua. Dan tahun yang lalu digelar muktamar yang pertama dan terbentuklah Majelis Muslim Papua dengan platform yaitu moderat, toleran, dialog, partisipasi dari masyarakat adat. Yang notabene itu lebih banyak masyarakat nasrani, sangat besar sekali.
Kita harap bahwa kelak lembaga ini melakukan proses penjembatanan hubungan antarsubkultur. Tapi juga komunikasi dalam kerangka ‘Papua Tanah Damai’ yang selama ini didukung oleh pimpinan agama, gereja-gereja, juga majelis ulama, dan seterusnya. Itu terus-menerus membangun dialog-dialog walau pun saya percaya bahwa di dalam kegiatan itu belum semua komponen-komponen ini terlibatkan. Tetapi ada komitmen yang kuat dari masyarakat Papua untuk menjaga agar Papua menjadi tanah damai.
RNW: Apakah ada peranan pemerintah dalam hal ini supaya menghindari jangan terjadi eskalasi?
TMA: Ya, seharusnya banyak peran yang harus dilaksanakan oleh pemerintah, agar supaya tidak terjadi konflik. Tetapi kita juga tahu di lain pihak, pemerintah punya kepentingan. Menjelang pemilu sebentar lagi dengan begitu banyak partai, itu tentu menawarkan banyak kemungkinan. Hal yang utama saya kira adalah komitmen yang sungguh-sungguh dari masyarakat dari kelompok-kelompok civil society. Pemerintah diharapkan menjadi fasilitator.
Download:
Laporan ICG
Rekaman Wawancara