Hari Minggu kemarin, 6 Juli 2008, seorang kawan di Biak mengabarkan kepada andawat lewat pesan singkat di handphone, bahwa mereka baru saja melangsungkan peringatan kekerasan kemanusiaan, kasus Biak Berdarah. Di bawah Tower air dekat Puskesmas Biak Kota, kawan ini, bersama rekan-rekannya, berdoa dan berpuisi sekaligus mengutuk kekerasan yang pernah terjadi di tempat di mana saat itu mereka berada.
Pakaian hitam yang mereka kenakan tidak saja mengingatkan kepada kita akan kelamnya peristiwa tersebut, tapi juga menegaskan betapa gelapnya upaya pencarian keadilan bagi korban kekerasan kemanusiaan yang timbul karena peristiwa tersebut.
Biak Berdarah, itu peristiwa yang terjadi 10 tahun lalu. Ketika itu, sekelompok orang berkumpul di bawah tower air, menyampaikan aspirasinya dan tuntutan untuk kemerdekaan Papua. Sementara di puncak tower, berkibar bendera Bintang Kejora yang terpasang sejak tanggal 2 Juli 1998. Di masa itu, Papua dan Bintang Kejora adalah 2 kosa kata yang masih sangat tabu diucapkan, apalagi Bintang Kejora yang dikibarkan.
Upaya negosiasi dengan pihak massa ini bukannya tidak dilakukan. Pihak Gereja, Bupati, Danrem, bahkan orang tua Filep Karma sekalipun telah coba dibawa oleh aparat pemerintah untuk mencoba menghentikan aksi kelompok yang dikomando Filep Karma ini, namun tetap saja gagal. Upaya negosiasi yang dilakukan ketika itu hanyalah melucuti senjata (tradisional) yang dimiliki massa. Selebihnya, gagal. Alih-alih menurunkan Bintang Kejora, membubarkan massa saja tidak berhasil.
Lemahnya negosiasi antara aparat keamanan dan pemerintah daerah di satu sisi dan massa Papua yang mencoba mempertahankan kelompok yang berada ‘di bawah Bintang Kejora’ di sisi lain, akhirnya berujung pada ‘operasi fajar’. Aparat keamanan yang terdiri dari satuan Birmob dan Polres Biak Numfor, Yonif 733, Korem 173, dan Kodim 1703 Biak Numfor serta pasukan Marinir akhirnya melakukan upaya pembubaran paksa terhadap kerumunan massa serta menurunkan Bintang Kejora.
Akibat dari peristiwa tersebut, setidaknya tercatat 8 orang langsung meninggal dunia di tempat kejadian, ratusan lainnya menjadi korban luka dan puluhan orang dinyatakan hilang. Hal yang tidak terduga adalah, adanya laporan pemerkosaan terhadap beberapa perempuan yang kebetulan berada di dalam kerumunan massa tersebut. Seorang korban pemerkosaan bahkan mengaku diperkosa oleh lebih dari satu oknum aparat keamanan.
Sekitar 2 – 3 minggu pascaperistiwa tersebut, di beberapa daerah perairan laut Biak, ditemukan 32 mayat yang telah rusak dan tidak dapat dikenali. Ada yang laki-laki, tapi juga ada yang perempuan. Ada mayat perempuan yang kemaluannya telah rusak, ada yang payudaranya telah terpotong dan ada yang kepalanya telah botak. Yang menarik, beberapa di antara mayat-mayat tersebut ada yang mengenakan kaos kuning Partai Golkar, dan seragam sekolah dengan logo OSIS di saku kirinya. Pemerintah daerah setempat, ketika itu menyatakan bahwa mayat-mayat tersebut adalah orang-orang Papua New Guinea (PNG), yang menjadi korban gempa bumi. Ketika itu memang terjadi gempa bumi di salah satu daerah di negara tetangga kita ini.
Apa iya? Mungkin benar, bahwa mayat-mayat tersebut adalah korban gempa bumi di PNG. Karenanya, mungkin juga tidak aneh jika ditemukan mayat dengan baju kaos kuning Golkar dan baju sekolah dengan logo OSIS di tubuh-tubuh korban tersebut, karena orang Papua di Indonesia dan orang Papua di PNG masih memiliki ikatan kekerabatan dan sering saling mengunjungi. Hanya saja, ini mestinya perlu dibuktikan lewat serangkaian penyelidikan yang profesional dan dapat dipertanggungjawabkan.
Karena setidaknya ada 2 alasan mendasar yang bisa menggugurkan pernyataan pemerintah Indonesia ini. Yang pertama, (bahkan) sampai saat ini, tidak ada sama sekali pernyataan resmi dari pemerintah PNG bahwa mayat-mayat tersebut adalah benar korban gempa bumi yang terjadi di negara mereka. Yang kedua, jika pernyataan pemerintah Indonesia ini benar, maka mayat-mayat tersebut adalah mayat yang begitu ‘hebat’ karena mampu melawan hukum alam. Patut diketahui, bahwa di antara PNG dan Biak terdapat aliran sungai Mamberamo dengan arus yang begitu besar. Logikanya, mestinya mayat-mayat tersebut dihempaskan oleh arus Mamberamo ke lautan Pasifik, bukannya di pantai Biak.
Peristiwa ini banyak mengundang kecaman dari banyak kalangan, dalam dan luar negeri. Kalangan mahasiwa, LSM dan Gereja serta DPR Papua (Irian Jaya ketika itu), kemudian melakukan penyelidikan yang kesemuanya menyimpulkan adanya pelanggaran HAM Berat. Desakan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok ini berhasil memaksa Komnas HAM yang ketika itu dipimpin oleh almarhum Baharudin Lopa, menurunkan tim penyelidikan untuk kasus kekerasan kemanusiaan pertama di Papua di masa reformasi.
Sayangnya, hingga kini, hasil penyelidikan yang dilakukan oleh kalangan mahasiswa, LSM dan gereja serta Komnas HAM tidak pernah ditindaklanjuti oleh pemerintah Indonesia. Kenyataan ini semakin pahit setelah lahirnya UU No. 26 tahun 2000 tentang Peradilan Hak Asasi Manusia. Karena UU ini mensyaratkan adanya rekomendasi dari DPR RI terhadap sebuah peristiwa pelanggaran HAM Berat sebelum diundangkannya UU tersebut. Hal ini menjadi bukti, betapa hukum di negeri ini masih belum lepas dari kungkungan ketiak penguasa.
Kondisi ini menandakan bahwa perjuangan para korban pelanggaran HAM kasus Biak Berdarah untuk mendapatkan hak-haknya menjadi semakin berat, tapi wajah hak asasi manusia Indonesia di mata dunia internasional akan semakin bopeng, bahkan bernanah dan mengeluarkan bau busuk.
Seperti kawan yang hari Minggu lalu mengirimkan SMS-nya, tulisan ini bermaksud untuk mengingatkan kepada kita semua, baik aktivis kemanusiaan dan terutama pemerintah Indonesia atas kekejaman aparatnya. Karena ‘Penyakit Lupa’ semakin akut di negeri ini. Kalaupun tidak, tulisan ini mungkin bisa berguna untuk mencegah agar peristiwa kekerasan tidak lagi menjadi bagian dari sejarah tanah ini.
Terima kasih kawan, kalian telah mencoba mengingatkan kita semua terhadap banyaknya kekejaman dan kekejian di negeri ini. Teruslah berjuang.
Keterangan Foto:
Tower air, tempat terjadinya peristiwa Biak Berdarah.
(andawat).