Pada satu kesempatan, ketika saya mencari-cari referensi tentang kodifikasi hukum adat di internet, ada satu situs (multiply) yang ‘disuguhkan’ Google. Alamatnya di http://laurensgawing.multiply.com/. Pada salah satu postingannya, kawan ini mencoba mengkritisi upaya masyarakat adat Dayak Punan Uheng-Kereho di kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, yang mencoba menuliskan kembali hukum adat mereka.
Pertanyaan kawan ini begini: “Apakah menjadi tepat jika aturan adat yang hakikinya tidak tertulis, dibukukan menjadi aturan tertulis, apalagi jika hal tersebut terkodifikasi dengan rapi layaknya sebuah aturan formal (produk perundangan)?”.
Kawan ini menganggap bahwa pengkodifikasian merupakan ‘jebakan-jebakan’ terhadap masyarakat adat. Dia tidak menjelaskan makna dan arti dari kata ‘jebakan’ yang dia maksud. Dia hanya melanjutkan, bahwa jika hukum adat ini tertulis, masyarakat adat akan lebih terpaku pada teks yang tertulis di buku, daripada pertimbangan-pertimbangan yang lahir dari mulut perangkat adat.
Yang menarik, ada kawan dari Papua yang mengomentari pertanyaan ini. Alamat kawan Papua ini di http://papuapost.multiply.com/. Beliau mengatakan bahwa, dalam interaksinya dengan masyarakat modern, masyarakat adat memang harus menuliskan hukum adatnya, tapi hanya hukum yang terkait dengan hak ulayat atas tanah. Selain itu, “tidak ada kepentingan orang luar mengetahui adat kami. Ditulispun tak usah”. Demikian kawan Papua ini menegaskan.
Penegasan kawan yang terakhir ini membuat saya berpikir. “Apa iya, orang Papua bisa terus mengingat dan melestarikan adatnya di tengah arus modernisasi dan globalisasi yang begitu besar? Apa iya, hukum adat orang Papua bisa terus tersusun rapi di pikiran mereka, ketika entitas-entitas baru begitu banyak menguasai kehidupan sosial mereka? Apa ada jaminan, bahwa hukum adat itu bisa ter-transfer dengan baik ke generasi selanjutnya di saat apresiasi generasi muda orang Papua terhadap eksistensi hukum adatnya justru tengah mengalami degradasi?”.
Untuk tidak memunculkan perdebatan baru terhadap pikiran saya di atas, saya ingin menyuguhkan hal-hal nyata yang saat ini ada di satu kampung di daerah Jayapura. Namanya distrik Demta, letaknya di daerah pesisir utara kabupaten Jayapura, berbatasan dengan kabupaten Sarmi. Dari kota Jayapura, distrik ini bisa ditempuh selama kurang lebih 3 – 4 jam. Distrik ini memiliki 7 kampung, di mana yang 6 kampung (Kamdera, Ambora, Demta, Yaugapsa, Muris Kecil dan Yakore) masih berada dalam 1 suku, Jouw Warry. Sedangkan 1 kampung lainnya, Muaif, ini berasal dari suku Namblong, yang di masa kehidupan nomaden dulu kemudian berada di daerah ini.
Pada beberapa kesempatan ketika berdiskusi dengan para tetua adat di kampung-kampung di distrik ini, saya mengetahui bahwa minat generasi muda terhadap hal ini sudah tidak ada sama sekali. Ini terlihat dalam pertemuan-pertemuan yang kami gelar, tidak ada satupun dari mereka yang berusia kurang dari 35 tahun. Bahkan, kami juga mengetahui bahwa 3 dari 6 kampung yang masih dalam 1 suku ini, yakni Demta, Muris Kecil dan Yakore, sudah tidak lagi menggunakan bahasa daerah, yang artinya juga adalah bahasa adat mereka. Degradasi bahasa ibu ini tidak saja terhadap kelompok generasi muda, melainkan juga umum terjadi di kalangan orang tua.
Pada sisi bahasa ini saja, yang mestinya bisa terus hidup dalam lingkungan sosial mereka karena (mestinya) terus menjadi bahasa pengantar, mereka sudah tidak mampu menjaganya, apatah lagi terhadap nilai-nilai adat lain yang kita yakini itu benar-benar memiliki nilai yang begitu tinggi. Contohnya adalah Bobatu. Di daerah Maluku, kebiasaan ini disebut Sasi. Ini adalah budaya ketika semua orang tidak diperbolehkan untuk mengambil hasil laut pada daerah-daerah dan waktu-waktu tertentu.
Setidaknya ada 2 hal yang sangat penting dari budaya ini. Pertama, penghargaan terhadap lingkungan. Orang Papua pada umumnya dan masyarakat adat Papua yang bermukim di distrik Demta pada khususnya, begitu arif memperlakukan alam yang menurut orang Papua adalah ibu yang menjaga, melindungi dan memberi makan mereka. Hasil alam tidak boleh digunakan semaunya, mesti ada aturan khusus memperlakukan alam. Ini sekaligus untuk menjaga keseimbangan alam itu sendiri.
Kedua. Ada nilai sosial yang begitu besar yang tercermin dari budaya ini. Ketika waktu panen tiba, semua orang, tanpa terkecuali, boleh memanfaatkan hasil alam ini bersama-sama. Tidak ada satu kelompok pun yang diperlakukan secara khusus. Meski demikian, ada keistimewaan terhadap kelompok masyarakat adat yang dianggap tidak mampu untuk bersama-sama melakukan panen pada waktu yang ditentukan. Kelompok ini biasanya terdiri dari para orang tua yang sudah jompo, mereka yang cacat secara fisik, atau mereka yang dalam keadaan sakit. Terhadap kelompok ini, menjadi kewajiban para tetua adat dan masyarakat adat secara umum untuk memperhatikan mereka. Dalam kasus ini, di Demta, sudah ada orang yang bertugas untuk mengatur hal ini.
Saya yakin, tidak akan ada perdebatan terhadap keluhuran nilai dari budaya yang satu ini. Tapi mau bilang apa lagi? Ini semua sudah tidak lagi dilakukan, semua sudah hilang. Semua boleh mengambil hasil alam tanpa aturan, seenaknya, semaunya. Tidak perlu memikirkan keseimbangan alam. Tidak perlu memikirkan orang lain yang tidak mampu secara fisik. Yang ada hanyalah persaingan, kalau perlu saling sikut. Lambat laun, ikatan kekerabatan juga menjadi longgar dengan sendirinya.
Nah. Apa jadinya 10 atau 20 tahun ke depan? Bahasa ibu hilang, kearifan lokal pun tiada. Nilai-nilai adat kini tergantikan oleh kebiasaan baru yang (mungkin saja) membuat kaku masyarakat lokal untuk menjalaninya. Akhirnya, kita semua tidak lagi memanen hasil alam yang kaya, melainkan kekacauan hubungan sosial dan ketidakseimbangan alam yang ada di depan mata kita.
Inilah yang mendasari pemikiran kami (ALDP) dan Dewan Adat Suku Jouw Warry, Demta, dengan dukungan dari Dewan Adat Papua, mulai melakukan pendokumentasian (kodifikasi) hukum adat suku Jouw Warry, mulai dari tata pemerintahan adat, hubungan kekerabatan, perkawinan, pewarisan, bentuk dan proses penyelesaian masalah, dan tentunya soal-soal menyangkut hak ulayat sebagaimana ditekankan kawan Papua di atas. Ini sudah berlangsung kurang lebih 2 tahun terakhir. Jika tak ada aral, Insya Allah, awal Agustus buku ini akan diterbitkan.
Pasti akan ada perdebatan atau pro dan kontra terhadap hal ini. Mungkin saja ada yang tidak setuju, tapi juga mungkin saja ada yang mendukung ini. Tergantung dari ‘kaca mata’ mana kita mau melihat upaya ini. Yang pasti, kami ingin anak cucu di masa depan tidak hanya mendengar lewat tutur dan dongeng pengantar tidur mereka tentang kejayaan nenek moyang dan keluhuran nilai-nilai adat yang menjadi pegangan hidup leluhur mereka, namun bisa membaca dari tulisan, syukur jika bisa diimplementasikan dan terus dijaga.
Keterangan Foto:
Salah satu sudut ketika para tetua adat serius melakukan pembahasan hukum adat di sub suku Souw.
(andawat).