LAPORAN TAHUNAN ALDP: 2010
English Bahasa Indonesia

24 Juli 2008

Memahami Nurani Orang Papua

Oleh: William Sabandar

Pengantar dari andawat:
Tulisan ini dibuat kurang lebih lima tahun lalu, namun isinya masih sangat relevan dengan kondisi sekarang ini.

Catatan buat Rizal Mallarangeng dan William Liddle

TULISAN Rizal Mallarangeng (Kompas, 5/9/2003) bertajuk Jalan California buat Papua, yang menanggapi artikel William Liddle di harian yang sama seminggu sebelumnya, menggelitik saya untuk memberi tanggapan. Ada mispersepsi yang sedang terjadi, khususnya pada artikel Mallarangeng, yang jika tidak segera diluruskan dapat menjadi opini yang diterima secara umum oleh kebanyakan orang Indonesia yang membaca artikel itu.

Saya bukan orang Papua, juga tidak dibesarkan di Papua, dan juga bukan aktivis pembela Papua. Pertemanan saya dengan banyak orang Papua pada berbagai aras, perjalanan ke daerah ini, dan terakhir melalui keterlibatan intensif dalam penelitian doktoral saya pada satu kawasan di Papua, telah menyadarkan saya akan pentingnya kita sebagai bangsa Indonesia memahami hakikat dan nurani orang Papua dari perspektif budaya dan kehidupan mereka.

Dalam artikelnya, Liddle terperangah ungkapan seorang kawan Indonesianya yang setuju dengan cara membangun Papua melalui mobilisasi sebanyak-banyaknya pendatang, termasuk membagi Papua atas beberapa provinsi. Meski tidak berkeberatan terhadap argumen itu, Liddle mengingatkan agar bangsa Indonesia, khususnya dalam kasus Papua, belajar dari kesalahan sejarah bangsa saat membangun kawasan barat Amerika yang dibayar mahal melalui pengorbanan orang Indian.

Mallarangeng tidak menggugat analogi itu, bahkan memperkaya dengan beberapa data sejarah. Kritik Mallarangeng justru pada catatan Liddle yang menilai metode memodernisasi Papua oleh kaum pendatang sebagai politically incorrect. Melalui beberapa argumentasi, Mallarangeng menyimpulkan, untuk menjadi sebuah komunitas modern, satu-satunya jalan bagi Papua adalah membuka luas pintu daerah ini bagi pendatang, demikian Mallarangeng.
CATATAN Mallarangeng atas artikel Liddle patut dikritisi. Paling tidak ada lima insensitivitas yang mengemuka.

Pertama, kalkulasi Mallarangeng akan hak adat orang Papua atas tanahnya, dengan menyebut proporsi 10 persen, 20 persen tetapi jangan sampai 50 persen adalah politically and culturally incorrect. Disertasi doktoral Mansoben (1994) yang diperkuat Healey (2002) membagi hampir habis wilayah Papua ke dalam lima sistem politik besar: sistem raja, sistem kepala klan, sistem campuran, sistem orang besar, dan sistem lain yang lebih bersifat lokal dan terdesentralisasi. Pembagian itu didasarkan data sejarah maupun konteks sosial dan geopolitik Papua sebagai daerah interpenetrasi dua kebudayaan besar: Melayu dan Melanesia. Kondisi ini menunjukkan, jauh sebelum Belanda datang ke Papua, di Papua sudah ada sistem politik valid yang mengatur hak orang Papua atas wilayahnya.
Selanjutnya, penelitian World Bank/UNDP (Walker, 1990) membagi habis, tanpa sisa, wilayah Papua kepada kurang lebih 240 kelompok suku asli Papua. Pembagian itu dilakukan berdasarkan zone lingkungan, keberadaan populasi suku asli, dan aktivitas subsisten orang Papua.

Pemerintahan Megawati pun secara tegas mengatur hak adat orang Papua terhadap 100 persen wilayah Papua. Sebelum Reformasi, hampir tidak dapat ditemukan satu pun produk undang-undang pemerintah pusat (bahkan termasuk UUD 1945, Pasal 33) yang mengatur soal hak adat masyarakat asli Indonesia (Sumule, 2002). Namun, UU No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua menjamin secara total hak adat penduduk asli Papua terhadap tanah Papua berikut hasil bumi yang terkandung di dalamnya, untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Papua. Tanah Papua tidak dikuasai oleh "kepala suku, pentolan-pentolan suku, [atau] dukun", seperti yang disinggung Mallarangeng, tetapi oleh penduduk asli Papua; demikian bunyi undang-undang.

Kritik kedua, menyangkut pernyataan Mallarangeng, Papua harus dibuka untuk memungkinkan masuknya orang Indonesia lain (seperti migrasi dari Jabar). Pernyataan ini mengabaikan kenyataan, migrasi besar-besaran ke Papua telah terjadi sejak daerah ini menjadi bagian wilayah NKRI tahun 1963. Program resmi transmigrasi sejak 1960-an, diperkirakan sebesar 75.200 keluarga (Sumule, 2002). Katakan, satu keluarga terdiri atas empat anggota, maka jumlah transmigran resmi yang sudah ada di Papua (tidak termasuk yang beranak-pinak setelah menetap di Papua) melebihi angka 300.000 orang, atau sekitar 20 persen dari total penduduk Papua hari ini. Sebagai counter check, data resmi sensus penduduk 2000 menyebutkan, 19.6 persen penduduk Papua adalah imigran permanen yang datang dari luar Papua. Proporsi ini tergolong besar dibanding provinsi lain di Indonesia. Sebagai perbandingan, angka yang sama untuk Jabar (provinsi yang disebut Mallarangeng) hanya 9,2 persen (BPS, 2001).

Namun, yang datang resmi ini tidak se powerful para imigran yang datang tidak dalam bentuk transmigrasi. Mereka yang datang karena economic opportunities yang tersedia di Papua, baik sebagai pengusaha, pegawai swasta, dan pemerintah, jauh lebih kuat menggarap potensi ekonomi Papua. Sebelum runtuhnya rezim Soeharto, Papua boleh dikata dikuasai orang-orang non-Papua. Mereka menduduki posisi eselon pada kantor pemerintah, atau posisi-posisi profesional dan pemilik pada institusi swasta. Lebih dari itu, banyak tanah di Papua dimiliki orang non-Papua yang berdomisili di Jakarta. Orang Papua saat itu tidak lebih sebagai penonton setia, yang melihat oportunity mereka dieksploitasi kaum pendatang. Sebagai misal, pembagian HPH di Kabupaten Sorong era 1990-an, seluas lebih dari sejuta hektar kepada enam perusahaan HPH dari Jakarta dilakukan tanpa sedikit pun melibatkan suku Moi dan Klabara, pemilik adat tanah itu (http://www/cs.utexas.edu/users/cline/papua, 2003).

Lalu jika hari ini, orang Papua menjadi sedikit resisten dengan kehadiran kaum pendatang di Papua, janganlah ini dilepaskan dari sejarah keserakahan kaum pendatang di masa lalu. Orang Papua jelas tidak alergi terhadap pendatang. Banyak orang Jawa, Bugis, dan Toraja hidup damai bersama dengan komunitas asli di daerah-daerah terisolasi, karena mereka merasa menjadi bagian integral dari orang Papua.

Ketiga, pemekaran wilayah menjadi beberapa provinsi tidak dapat dilihat hanya dari sisi "kebutuhan praktis". Pemekaran boleh saja, sepanjang ada jaminan bahwa hak adat orang Papua tetap terjamin pascapemekaran. Kondisi pemekaran yang saat ini berproses tidak sejalan dengan, bahkan secara terselubung membatalkan eksistensi, UU No 21 Tahun 2001. Padahal, justru UU itulah yang menjamin terpenuhinya kebutuhan pembangunan orang Papua. Dalam UU No 21/2001 pemerintah mengakui dan melindungi hak ulayat orang Papua akan tanah, air, dan kekayaan yang terkandung dalam Bumi Papua: prasyarat untuk mengangkat orang Papua dari ketertinggalannya.

Karena kebutuhan praktis itulah, maka proses pemekaran wilayah di Papua telah memicu konflik horizontal. Hal ini seharusnya bisa dihindari jika pemerintah pusat lebih sabar dan berhati-hati dalam melaksanakan proses pemekaran wilayah. Konsep pemekaran yang prematur, tidak tersosialisasi baik, bahkan cenderung ditunggangi berbagai kepentingan politik praktis, telah memperlambat upaya ke arah percepatan pembangunan Papua.

Keempat, argumen untuk membuka pintu Papua seluas-luasnya untuk membiarkan iklim konflik dan kompetisi memproses orang Papua menjadi komunitas modern adalah sesuatu yang sulit dipahami. Kompetisi sepak bola saja mengenal pembagian divisi. Tim yang ada di divisi utama tidak akan dihadapkan dengan tim dari divisi empat. Saya bukan tidak setuju dengan ide membuka pintu Papua seluas-luasnya. Namun untuk itu, pemerintah harus menyiapkan regulasi yang mengatur bagaimana pelaku ekonomi dari luar Papua harus bermain di kandang pelaku ekonomi lokal orang Papua. Sejalan dengan itu, paket-paket pembangunan yang berpihak pada peningkatan kapasitas ekonomi orang Papua harus dipacu.

KRITIK terakhir saya kepada Mallarangeng, juga satu-satunya catatan saya kepada Liddle adalah romantisasi mereka atas orang Papua. Liddle menyosok orang Papua lewat profil suku Dani yang dilihatnya di dataran tinggi Wamena. Sementara Mallarangeng memotretnya dengan ucapan: "Haruskah mereka terus hidup di gunung dan lembah, tanpa perlu tahu dunia bergerak cepat?" .

Analogi ini tidak terlalu tepat. Tidak semua orang Papua tertinggal dan terbelakang. Banyak dari mereka hidup terpandang dan berintelektualitas. Kehidupan maupun akses mereka tidak hanya terbatas dalam wilayah Indonesia, bahkan ke seluruh penjuru dunia. Dengan informasi yang semakin canggih, konflik yang terjadi di daerah pedalaman Papua akan termonitor dengan baik di bagian dunia manapun. Hari ini, mata dunia tertuju ke Papua, mencermati pelaksanaan otonomi khusus. Bahkan solidaritas kemerdekaan untuk Papua telah mulai dibangun di negara-negara Pasifik Selatan. Dunia yang telah menjelma menjadi a global village, membuat analogi orang Indian di abad ke-19 tidak kontekstual untuk Papua hari ini.

Akhirnya, bila argumen Mallarangeng diterapkan dalam pembangunan Papua, akan lebih tepat menganalogikan Papua dengan Timor Timur. Kalkulasi matematis yang dilakukan persis sama dengan ketika pemerintah kita menghitung kekuatan Indonesia di Timor-Timur, sebelum jajak pendapat. Pendekatan formal pembangunan (formal development) yang dilakukan pemerintah pusat di Timor-Timur selama lebih dari 20 tahun telah terbukti gagal dalam menarik hati orang Timor-Timur untuk merasa menjadi bagian Indonesia. Apa yang hari ini dilakukan di Papua dalam bentuk formal development, bukan tidak mungkin akan bermuara ke penolakan orang Papua untuk tetap menjadi bagian dari wilayah NKRI. Semoga kita semua siuman untuk tidak membiarkan hal ini terjadi.


William Sabandar (ketika tulisan ini dibuat – red), Kandidat Doktor Studi Pembangunan University of Canterbury

URL Source: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0309/15/opini/560661.htm

Keterangan Foto:
Aksi Mahasiswa dan Masyarakat menolak perdagangan kayu Gaharu di distrik Assue Gondo, Merauke.
(andawat)