Negara Gagal Memenuhi Hak-hak EKOSOB Warganya
‘172 warga Dogiay Dilaporkan Tewas’, ‘172 Warga Kamuu Mati Sia-sia’, demikian headline dua koran lokal di Jayapura, Cenderawasih Pos dan Bintang Papua. Kedua media cetak ini sama-sama mengangkat berita tentang meninggalnya warga Lembah Kamuu di Kabupaten Dogiay akibat penyakit Muntaber dan Kolera sebagai laporan utamanya.
Berita yang diturunkan dua media lokal tersebut dikutip dari laporan yang disampaikan Biro Keadilan Perdamaian Keutuhan Ciptaan (KPKC) Sinode Kingmi Papua, melalui DR. Benny Giay. Disebutkan, bahwa angka 172 jiwa yang meninggal itu terhitung sejak 6 April 2008 lalu yang menyebar pada tujuhbelas kampung di dua distrik di Kabupaten Dogiay, dan dua kampung lainnya di Kabupaten Paniai, dan akan menjadi ancaman beberapa kampung di sekitarnya.
Pemerintah dianggap lambat, karena kejadian ini sendiri telah disampaikan kepada pihak Dinas Kesehatan Nabire pada awal bulan Mei lalu, tapi korban masih terus berjatuhan hingga mencapai angka 172, dan tidak mustahil angka ini masih terus bertambah. Pihak Gereja sendiri, melalui Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Timika pada bulan Juni lalu telah menurunkan tim medis, tapi karena minimnya pembiayaan dan tenaga, membuat mereka tidak bisa berbuat maksimal untuk membantu masyarakat.
Di lain pihak, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua, Dr. Bagus Sukaswara, tidak terima jika dikatakan pihaknya lambat menganggulangi wabah ini, bahkan dia mempertanyakan angka yang disodorkan oleh KPKC Sinode Kingmi Papua tersebut. Dikatakan, bahwa pihaknya telah menurunkan tim kesehatan di daerah ini pada Mei lalu dan berhasil menurunkan angka penderita, namun ini kembali meningkat pada bulan Juni. Dalam pernyataan pers-nya, pihak Dinas Kesehatan Provinsi Papua menyebut angka 80 orang yang meninggal karena diare. Dinas Kesehatan juga menyinggung bahwa perilaku masyarakat dalam hal memperhatikan kesehatannya menjadi faktor penting.
Bantahan angka yang disampaikan pihak Gereja ini juga datang dari Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Nabire, Yosina Manuaron, SKM. Bahkan Yosina sendiri menolak permintaan obat-obatan dari Kelompok Peduli Kesehatan. Menurutnya, ini upaya untuk menjatuhkan dirinya. Terhadap data yang disampaikan pihak Gereja, menurutnya harus dilakukan cross check terlebih dahulu.
Ini memang pernyataan klise dan terkesan melepaskan tanggung jawab. Apa juga urusannya menghubungkan meninggalnya 172 orang, atau berapa pun jumlahnya, dengan kursi jabatan? Lantas siapa yang harus bertanggungjawab?
Mari kita sedikit menengok beberapa fakta di belakang. Pada Januari 2004 lalu, Media Indonesia Online melaporkan 30 orang di distrik Borme, Pegunungan Bintang, meninggal dunia karena serangan diare. Untuk kasus yang sama, Cenderawasih Pos bahkan mencatat 38 orang meninggal dunia dan 1,857 warga terserang diare.
Sebelumnya, Tabloid Jubi melaporkan pada Februari 2002, di kampung Amoma, distrik Kurima, Kabupaten Jayawijaya (ketika itu), 61 orang dilaporkan meninggal dunia karena malaria klinis dan Amuba. Ini belum juga kasus demam berdarah pada tahun 2004 lalu di Jayapura, atau kasus-kasus TBC dan malaria serta kasus-kasus lainnya.
Situasi kesehatan di Papua memang sangat memprihatinkan. Dinas Kesehatan Papua, pada September 2003 lalu mencatat 27,3 persen balita masih menderita kekurangan gizi. Prevalensi gizi kurang tertinggi terdapat di Kabupaten Puncak Jaya, yakni 61,8 persen dan yang terendah di Kabupaten Sorong, yaitu 20,2 persen. Sedangkan rata-rata, prevalensi gizi buruk di Provinsi Papua sebesar 16 persen, dan gizi kurang 28,9 persen. Data ini dikutip Cenderawasih Pos pada 15 September 2003.
Data yang disampaikan lembaga PBB, UNICEF, pada Februari 2003 lalu lebih mencengangkan lagi. Dikatakan bahwa angka kematian bayi dan balita di Papua adalah tertinggi di dunia, yakni mencapai 186/1000 kelahiran hidup dan angka kematian bayi 122/1000 kelahiran hidup. Selain itu, bahwa 12% anak-anak balita di Papua menderita kekurangan berat badan yang parah. Untuk angka kesehatan ibu dan anak, UNICEF memperkirakan 3,000 orang anak dari 60,000 bayi yang baru lahir meninggal sebelum mencapai usia satu tahun, sedangkan untuk balita, dari 1000 anak, 60 di antaranya meninggal dunia, begitu pun ibu, dari 100.000 kelahiran hidup, 500 di antaranya meninggal dunia. Data-data lembaga PBB ini dikutip oleh Cenderawasih Pos pada 22 Februari 2003 dan 17 Juli 2002.
Yang memprihatinkan, semua kondisi ini terjadi ketika di Papua telah diberlakukan status Otonomi Khusus, dengan dana triliunan rupiah setiap tahunnya. Padahal, status Otonomi Khusus ini sendiri menekankan kesehatan, bersama dengan pendidikan dan peningkatan ekonomi, sebagai bidang yang harus didahulukan pemenuhannya.
Terus, kenapa kondisi buruk ini masih terus terjadi? Kenapa APBD Papua tahun 2003, untuk pos kesehatan hanya dianggarkan sebesar 15%? Apakah ini sudah sesuai dengan situasi dan kondisi Papua dengan segala keterbatasannya? Apakah ini sudah sejalan dengan amanah Otonomi Khusus? Kenapa pula para tenaga kesehatan di Kabupaten Fakfak pada tahun 2004 mengancam untuk angkat kaki dari Fakfak? Kenapa pula petugas kesehatan di Wamena melakukan hal yang sama? Bahkan pernah melakukan aksi mogok kerja? Atau petugas kesehatan di UGD Abepura, Jayapura, yang sudah beberapa kali melakukan mogok dan tidak melayani pasien?
Apakah masyarakat yang harus disalahkan karena dianggap tidak mampu menjaga kebersihan? Atau karena tidak mampu menerapkan pola hidup sehat? Bahwa hal ini memang harus juga menjadi catatan kita bersama, tapi pernyataan ini sendiri menunjukan sikap untuk lepas tangan dari tanggung jawab. Tidak sepantasnya negara, melalui aparatnya, melemparkan tanggung jawab dengan menyalahkan warga negaranya sendiri. Karena bagaimanapun juga, adalah kewajiban negara untuk memenuhi hak-hak warga negaranya.
Kembali ke kasus Lembah Kamuu. Bahwa lepas dari perdebatan soal angka, mau 172 jiwa yang meninggal, atau 80 orang, atau berapa pun, tapi satu yang pasti adalah mereka manusia, mereka adalah warga negara, yang berhak untuk dipenuhi hak-hak EKOSOB-nya oleh negara. Ini fakta yang membuktikan betapa negara gagal memenuhi hak-hak kesehatan warga negaranya.
Dalam kasus ini sendiri, negara bahkan terkesan membiarkan kasus ini terus terjadi. Karena wabah ini sendiri sudah pernah dilaporkan kepada instansi terkait sebulan setelah wabah ini menggejala di kalangan masyarakat, tapi tidak adanya penanganan yang segera, menyeluruh dan berkelanjutan dari pemerintah telah mengakibatkan korban terus berjatuhan. Inilah akibat dari kebiasaan buruk: tidak mau belajar dari pengalaman-pengalaman sebelumnya. Padahal hanya keledai dungu yang jatuh di lubang yang sama untuk keduakalinya. Saya pikir kita semua sepakat, bahwa kita adalah manusia yang memiliki akal dan budi pekerti, dan yang paling penting, kita semua (mestinya) memiliki nurani.
Keterangan Foto:
Masyarakat Papua di kampung Banda, Waris, Kabupaten Keerom.
(andawat)