LAPORAN TAHUNAN ALDP: 2010
English Bahasa Indonesia

18 Agustus 2008

Catatan atas Buku LIPI: Bagian 2

Jalan Rekonsiliasi di Papua:
Antara Pengungkapan Kebenaran dan Pembuktian di Pengadilan

oleh: andawat

Maka untuk kepentingan reparasi tidak dapat pemenuhannya disubsitusikan, sebab keempat kebutuhan itu saling mempengaruhi dan menjadi prasyarat utama rekonsiliasi, untuk meminta pertanggungjawaban dan mencegah pelaku dari kemungkinan impunity.

Pada penjelasan mengenai Proses pengadilan HAM, sangat menggambarkan kenyataan praktek mafia dan intervensi kekuasaan di satu sisi dan lemahnya perangkat hukum di sisi yang lain. Sebenarnya stuasi ini adalah praktek yang juga sangat umum di Peradilan umum. Untuk peradilan HAM yang masih perlu diperjelas adalah: Pertama, Yurisdiksi Peradilan HAM yang hingga saat ini masih pada 4 kota saja (Jakarta, Surabaya, Medan dan Makasar) padahal dalam pasal 104 Bab IX UU No. 39/1999, menyatakan bahwa peradilan HAM dibentuk di wilayah Peradilan Umum dan dibentuk paling lama 4 tahun setelah UU No. 39/1999. Artinya, sebenarnya sangat mudah membentuk peradilan HAM di setiap Provinsi, termasuk di Papua.

Kedua, soal kewenangan penyidikan antara Kejaksaan Agung dan Komnas HAM misalnya. Apakah pada hal-hal yang bersifat formil saja, ataukah juga materil. Jika bersifat formil, maka seharusnya tidak terjadi perdebatan pengembalian berkas yang sifatnya materil. Bahkan untuk kekurangan yang sifatnya formil, kedua institusi tersebut seharusnya bisa melengkapi, sehingga tidak terjadi perdebatan saling mengembalikan berkas seperti pada berkas KPP HAM Wamena dan KPP HAM Wasior, akibatnya korban yang dirugikan.

Ketiga, beberapa pasal dalam UU No. 26/2000 seharusnya diamandemen, yakni [1]. Pada alur Peradilan HAM Ad Hoc sebelum terbentuk. Di sini mewajibkan adanya rekomendasi dari DPR RI untuk dikeluarkan Keputusan Presiden. Kendati fakta peristiwa dan korban ada, namun upaya memperoleh keadilan (hukum) harus melalui lembaga politik dan keputusan yang sangat politis. [2]. Pembuktian unsur ‘sistematis dan meluas’, sepanjang peradilan masih mensyaratkan alat bukti yang ditunjukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU), secara formil dan bukan berdasarkan pemeriksaan materil di persidangan, sama artinya dengan memberikan peluang bagi terus terjadinya pelanggaran HAM dan bebas bagi pelaku. Setidaknya 2 hal inilah yang turut memelihara impunity di Peradilan HAM.

Keempat, perlu diperkuat upaya perlindungan saksi termasuk institusi dan perangkatnya. Rumitnya pengungkapan pelanggaran HAM di Papua yang sudah terjadi puluhan tahun yang lalu, bukan saja karena banyak saksi yang meninggal, namun juga karena lemahnya perlindungan bagi saksi. Masih banyak orang yang bisa memberikan kesaksian karena sekian lama menetap pada tempat yang sama dengan komunitas yang hampir tidak berubah, tapi apakah keselamatan mereka dilindungi oleh hukum?

Pada bagian lain, UU Otsus dinilai sebagai alternatif untuk memperbaharui relasi antara Papua dan Jakarta. Pertanyaannya, konsensus antara siapa? Apakah ada orang di Papua yang dipercaya oleh Jakarta untuk menjalankan UU Otsus di Papua, atau sebaliknya, apakah ada orang di Jakarta yang dipercayai orang di Papua untuk menjalankan UU Otsus? Mengikuti perjalanannya kita memahami bahwa tidak ada satu pihak pun yang sebenarnya sepakat dan percaya bahwa UU Otsus sebagai bentuk memperbaharui relasi (ke arah yang ‘baru dan baik’).

Di bagian akhir disinggung soal pentingnya Pelurusan Sejarah Papua dalam Indonesia. Isu ini sangat krusial dan mengundang banyak perdebatan. Ada yang berpikir bahwa dengan menambahkan kata ‘dalam Indonesia atau NKRI’ setelah menuliskan ‘Pelurusan sejarah Papua’, adalah sikap ‘tidak memihak’, apalagi dalam tulisan-tulisan yang sangat ilmiah. Pertanyaannya, jika dibandingkan antara konsep ‘Pelurusan Sejarah Papua dalam Indonesia’ dengan ‘Pelurusan sejarah Papua’, manakah yang justru berkonotasi tidak memihak? Jika pelurusan sejarah direkomendasikan sebagai salah satu agenda, maka harus diuraikan dengan jelas, apakah yang dimaksudkan itu proses atau hasil? Atau mulai dari proses hingga hasil?

Mengenai demiliterisasi, mestinya juga merumuskan bentuk demiliterisasi yang ideal dalam membangun dan menjaga rekonsiliasi. Apakah sekarang sudah terjadi demiliterisasi TNI di Papua? Jika DOM dicabut, tapi pasukan nonorganik masih banyak. Beberapa pos yang ditarik hanya dipindahkan di wilayah lain di Papua, sementara bekas pos yang ada berubah menjadi Koramil. Batalyon bertambah, Kompi diperluas, intervensi pada pemerintah sipil meningkat serta jaringan bisnis militer tetap jalan. Di sisi OPM, tentu rekomendasi yang jauh lebih penting bukan sekedar agar OPM meletakkan senjata, karena identifikasi OPM tidak terletak pada bersenjata atau tanpa senjata. Yang jauh lebih penting adalah upaya ‘melucuti’ pikiran OPM dari orang Papua dengan menghargai eksistensi orang Papua.

Mengenai pemetaan dari komponen civil society di Papua, semestinya juga lebih diperhatikan secara cermat, seperti kapasitas, relasi dan kemandirian, sehingga bisa dipahami gerakan yang dibangun secara organisatoris semata atau secara organik juga bagian dari gerakan massa dan gerakan sosial. Dalam hal ini tidak bisa dipungkiri bahwa Dewan Adat Papua (DAP) masih memiliki kemandirian yang luar biasa, dapat kita lihat dengan beberapa kegiatan yang dilakukan dengan inisiatif dan kontribusi dari masyarakat adatnya, nyaris tanpa kontribusi dari lembaga lain termasuk pemerintah, pertemuan secara periodiknya juga tetap jalan, terlepas dari soal-soal internal yang mereka hadapi yang hampir sama dihadapi oleh civil society lainnya di Papua.

Keseluruhan proses diskusi mengenai Agenda Rekonsiliasi dalam Papua Road Map yang dilakukan pada tanggal 31 Juli 2008 lalu di LIPI Jakarta, berlangsung sangat aktif namun lebih banyak bersifat umum dan informatif. Maka masih sangat perlu dilakukan kajian kembali, bertemu dengan lebih banyak pihak, mengoptimalisasikan waktu dan peserta diskusi serta dilengkapi pokok-pokok materi yang relevan, sehingga semua proses berjalan lebih efektif dan rumusan hasilnya lebih maksimal.

Download Buku Papua Road Map di sini