LAPORAN TAHUNAN ALDP: 2010
English Bahasa Indonesia

14 Agustus 2008

”Tanpa Kekerasan, Dimulai dari Rumah . . .”

Oleh: Tim GBV - ICMC


Kekerasan berbasis gender bukanlah hal baru di Papua ini. Diskusi mengenai budaya patriakal sebagai salah satu akar dari adanya perbedaan kedudukan laki-laki dan perempuan, di mana melalui budaya ini laki-laki menjadi pihak yang diutamakan di dalam berbagai sektor kehidupan. Budaya patriakal ini yang tercermin pada budaya-budaya lokal (adat) yang masih sangat kental di Papua ini.

Hukum adat menjadi hukum yang masih dipertahankan dan digunakan oleh masyarakat di tanah ini untuk mengatur kehidupan sosial mereka. Budaya yang selama ini banyak dibicarakan sebagai budaya yang banyak mempengaruhi terjadinya tindak kekerasan berbasis gender adalah budaya pembayaran mas kawin. Budaya pembayaran mas kawin dari keluarga laki-laki kepada keluarga istrinya, yang awalnya berakar sebagai pembayaran terhadap biaya yang dikeluarkan oleh keluarga istrinya selama ini membesarkan perempuan tersebut pada kenyataannya membawa dampak yang cenderung negatif, seperti sikap sewenang-wenang yang dilakukan oleh suami dan keluarganya setelah merasa telah ’membeli’ istrinya dengan mas kawin yang sudah diberikan. Budaya lainnya yaitu adanya ’kekuasaan penuh’ kepada ’om’ (saudara laki-laki ibu) terhadap keponakan perempuannya.

Biasanya ’kekuasaan penuh’ ini tercermin ketika keponakan tersebut mau menikah, maka om-lah yang menjadi orang yang memiliki hak untuk menentukan jumlah mas kawin. Selain hak yang dimilikinya, om juga memiliki tanggung jawab untuk mendidik dan melatih keterampilan untuk keponakan perempuannya tersebut. Bahkan di Waris, termasuk memberikan keponakannya tersebut kepada keluarga calon istrinya sebagai salah satu syarat untuk bisa menikahi calon istrinya tersebut.

Selain faktor budaya, faktor seringnya terjadi perang suku pada waktu yang lampau juga menjadi hal yang menarik untuk dilihat, ujar kawan saya salah satu aktivis LSM. Papua yang banyak diwarnai dengan perang sekian waktu yang lalu membuat beberapa kebiasaan yang jika dilihat dari kaca mata sekarang termasuk kekerasan terhadap perempuan, contohnya adalah ketika seorang perempuan melakukan perannya sebagai ibu rumah tangga sekaligus pencari nafkah untuk keluarganya, sedangkan bapak tidak banyak melakukan tanggung jawab pada umumnya dalam keluarga, seperti mencari nafkah.

Hal ini tidak terjadi dengan otomatis atau disengaja, tapi muncul sebagai konsekuensi dari kebiasaan-kebiasaan di masa lampau ketika masih sering terjadinya perang suku, di mana laki-laki harus dalam keadaan siaga untuk berperang. Contoh lainnya adalah ketika laki-laki bisa memiliki lebih dari 1 istri. Ini juga terkait erat dengan situasi pada waktu perang di mana dalam peperangan mereka berpindah tempat, oleh karena itulah mereka memiliki istri di daerah yang berbeda-beda.

Faktor kebiasaan mabuk yang dilakukan laki-laki juga menjadi salah satu faktor pemicu terjadinya kekerasan terhadap perempuan, bukan hanya secara fisik, namun juga psikologis dan ekonomis. Faktor ekonomi dalam keluarga menjadi salah satu faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya tindak kekerasan dalam rumah tangga karena banyak perseteruan antara ibu dan bapak disebabkan oleh masalah ini.

Faktor-faktor di atas membuat fakta kekerasan berbasis gender bukanlah suatu hal yang mengherankan, artinya fenomena yang terjadi merupakan hasil bentukan dari kondisi-kondisi yang tidak terelakan tersebut. Oleh karena itu, kita tidak bisa melihat fenomena tersebut sebagai sesuatu yang benar atau salah. Pernyataan terakhir ini bukan berarti mendukung atau membiarkan situasi aktual ini, melainkan melihatnya sebagai kerangka dalam membuat perubahan-perubahan yang diperlukan.

Program ini lahir atas kepedulian terhadap situasi aktual tersebut. Oleh karena itu program pendidikan penyadaran, psikososial dan mendorong perekonomian masyarakat berupa penyediaan sebuah truk menjadi strategi untuk menunjukkan kepedulian tersebut. Program pendidikan penyadaran di sini lebih untuk memfasilitasi masyarakat untuk merefleksikan budaya dan kebiasaan yang ada dan dampak-dampaknya. Hal dari luar yang ingin diperkenalkan kepada masyarakat adalah adanya UU P-KDRT, yang disahkan sebagai UU No. 23 tahun 2004. Pendidikan penyadaran masyarakat ini akan berujung pada terbentuknya mekanisme berbasis komunitas untuk pencegahan dan penanganan kasus-kasus KDRT, yang diharapkan dapat dimotori oleh 3 tungku (Kepala suku, Kepala Kampung dan Pastur/Pendeta/Ustad).

Program psikososial lahir dari observasi dan diskusi awal mengenai program ini, bahwa salah satu dampak dan penyebab dari KDRT adalah faktor psikologis. Pengalaman akan kekerasan mempengaruhi aspek psikologis korban atau yang sekarang lebih banyak dikatakan sebagai orang yang selamat (survivor). Gejala psikologis seperti sedih, trauma, marah, takut dan benci merupakan aspek yang perlu diberi ruang dan diolah. Selain itu diskusi untuk mengidentifikasi situasi atau sikap yang dapat mendorong atau mencegah terjadinya kekerasan diharapkan bisa menjadi strategi lain untuk mengurangi terjadinya tindak kekerasan.

Hal lain yang direncanakan untuk dilakukan adalah penyediaan sebuah truk yang dimodifikasi untuk bisa digunakan sebagai truk penumpang sebagai salah satu alat transportasi masyarakat ke kota (khususnya untuk melakukan kegiatan perekonomian).
Program ini berlangsung di 9 kampung di 3 distrik yaitu Waris, Demta dan Arso dan akan berlangsung sampai April 2009 dengan donor dari Biro Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Buruh dari Pemerintah Amerika Serikat.

Program ini adalah satu bagian dari untaian besar yang sudah ada dan mudah-mudahan akan membesar lagi, bukan semata-mata untuk menjadi pembela kaum perempuan, khususnya perempuan di Papua, namun yang terpenting adalah mengusahakan rumah dan lingkungan masyarakat tanpa kekerasan demi kesejahteraan setiap orang di dalamnya.


Keterangan Foto:
Suasana diskusi bersama di kampung Banda, distrik Waris, Keerom.
(GBV – ICMC).