LAPORAN TAHUNAN ALDP: 2010
English Bahasa Indonesia

09 Agustus 2008

Konflik Agama di Papua . . . ?

oleh: andawat

Hari Kamis (7 Agustus 2008) lalu, saya sedang berada di Demta, daerah yang menjadi dampingan kami selama ini. Waktu itu kami sedang menuntaskan diskusi tentang struktur pemerintahan adat sub suku Warry. Agenda ini adalah lanjutan dari proses pendataan hukum adat yang kami lakukan bersama dengan DAS Jouw Warry. Tiba-tiba seorang peserta diskusi, sambil bergurau, mengatakan setengah bertanya, “jadi, kita perang agama ini?”

Pertanyaan ini cukup mengagetkan saya dan juga beberapa peserta diskusi lain yang kesemuanya adalah tua-tua adat. Tapi kemudian semua tertawa dengan pertanyaan itu, sang penanya juga bahkan ikut tertawa, termasuk saya. Diskusi kami sempat terhenti, dan seperti sepakat, diskusi dialihkan kepada pertanyaan tadi. Pertanyaan bapak ini rupanya menyitir adanya aksi demonstrasi Forum Komunikasi Kristen Indonesia (FKKI) provinsi Papua. Saya juga kemudian teringat dengan wawancara Thaha M. Alhamid, Penggagas Majelis Muslim Papua (MMP) di radio Nederland beberapa waktu lalu, yang menyinggung tentang potensi konflik agama di Papua.

Yah, Senin, 4 Agustus 2008 lalu, ribuan massa FKKI menggelar aksi unjuk rasa di kantor Gubernur Provinsi Papua dan kantor DPR Papua. Tuntutan mereka cukup beragam, antara lain penolakan terhadap SKB 5 Menteri di Papua, penolakan terhadap Bank Syariah, penutupan pesantren dan Islamic Center di Buper Waena, serta pencopotan DR. Ahmad Hatari dari jabatannya sebagai Kepala Biro Keuangan Provinsi Papua, juga desakan terhadap pengesahan sejumlah Raperdasus dan Raperdasi.

Aksi ini dimotori oleh beberapa pendeta di bawah Koordinator Umum Salmon M. Yumame, SE, MM. Rencana aksi ini sendiri sudah ‘disosialisasikan’ beberapa minggu sebelumnya di kalangan masyarakat umum, bahkan juga disampaikan lewat gereja-gereja, sehingga tidak heran aksi ini diikuti oleh ribuan massa. Kapolres Kota Jayapura, AKBP Robert Djoenso, mengatakan pada salah satu media di kota Jayapura, bahwa sebenarnya aksi ini sudah tidak diizinkan, karena proses administrasinya terlambat, tapi karena adanya jaminan keamanan dari para pendeta dan mengingat jumlah massa yang besar, maka pihak keamanan terpaksa ‘mengalah’.

Menilik aspirasi FKKI, ada beberapa kejanggalan pada beberapa tuntutannya. Pertama, penolakan terhadap SKB 5 Menteri di Papua. Untuk diketahui, SKB 5 Menteri (Menteri Perindustrian, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Negara BUMN) ini mengatur pengoptimalan beban listrik melalui pengalihan waktu kerja pada sektor industri di daerah Jawa dan Bali.

Terkait dengan hal ini, seorang aktivis HAM mengatakan begini:
“Krisis energi dan cara penanggulangan oleh Pemerintah memang mengundang pro dan kontra di Jawa dan Bali sendiri. Termasuk oleh serikat-serikat buruh yang menuduh pengalihan hari kerja di hari Sabtu dan Minggu adalah pelemahan pemerintah terhadap gerakan buruh. Tapi pada prakteknya, pengalihan hari kerja di industri Jawa dan Bali ke hari Sabtu dan Minggu sebagaimana dimandatkan oleh SKB 5 Menteri sampai sekarang pun juga masih belum berjalan”.

Kawan ini masih menambahkan, “malah kalau mau dibilang syariah terkait dengan kerja, dalam syariah Islam itu ada aturan bahwa majikan harus membayar gaji buruh tepat waktu (Nabi Muhammad SAW bersabda, "bayarlah upah buruhmu sebelum kering keringatnya"). Di Aceh yang penerapan syariahnya sangat ketat saja hanya mewajibkan orang-orang tidak berniaga pada hari Jumat waktu sholat dhuhur, ini sekitar jam 12-13 siang, untuk melakukan ibadah sholat Jumat, setelah sholat dipersilahkan pada masing-masing, apakah akan melanjutkan ibadah atau meneruskan kerja kembali. Minggu pun menjadi hari libur di Aceh. Di daerah-daerah yang memberlakukan perda syariah pun tidak ada ketentuan libur Jumat dan wajib kerja pada hari Sabtu dan Minggu”.

“Jadi kecemasan bahwa SKB 5 Menteri adalah akal-akalan penguasa Jakarta untuk memaksakan aturan syariah kepada umat Kristen di seluruh Indonesia, termasuk di Papua, sangat tidak masuk akal. Tidak ada aturan syariah dalam SKB ini. Yang ada hanyalah kegagalan pemerintah dalam mengelola pemanfaatan sumber-sumber energi dan ‘agama Kapitalisme’ yang dianut penguasa, yang tidak kenal hari libur untuk menjalankan ibadah. Kapitalisme tidak akan peduli hari ibadah bagi umat Islam, Kristen, atau umat-umat beragama yang lain. Yang penting modal terus berakumulasi”. Demikian kawan ini menegaskan.

Untuk tuntutan penutupan Bank Syariah di Papua. Kawan yang sama juga mengomentari begini:
“Ini juga sama sekali tidak ada hubungannya dengan Perda Syariah. ‘Bank syariah’ itu hanya salah satu istilah dalam sistem perbankan yang mengambil konsep Islam yang mengharamkan bunga bank dan kewajiban aturan bagi hasil yang adil. Konsep itu justru melindungi nasabah bank karena tidak membebankan pembayaran bunga pada nasabah. Di daerah-daerah yang memberlakukan Perda Syariah juga banyak bank-bank yang tidak memberlakukan sistem perbankan syariah, misalnya BCA, dll. Pemerintah Daerah dan masyarakat di daerah yang ber-Perda Syariah juga tidak meminta bank-bank konvensional ditutup dan diganti dengan sistem perbankan syariah”.

Seorang pegawai Bank Syariah Mandiri Jayapura mengatakan ketidaktahuannya, kenapa mereka menjadi sasaran. Padahal selama ini, perbandingan antara dana yang dihimpun dengan dana yang dikeluarkan ke masyarakat, atau Financing Deposit Ratio (FDR) bank syariah di atas 90%. Artinya, kontribusi bank syariah terhadap pembangunan ekonomi di Papua lebih baik jika dibandingkan dengan bank-bank konvensional, yang memiliki FDR di bawah 50%.

Terhadap penolakan berdirinya Islamic Center di Papua. Yang dimaksud ini sebenarnya adalah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Al Fatah Jayapura. Isu ini sebenarnya sudah ada sejak tahun 2007 lalu, ketika itu Asosiasi Pendeta Indonesia (API) menyampaikan keberatannya langsung kepada pimpinan STAIN dan juga kepada MRP dan gubernur Papua.

Yang patut dicermati di sini adalah pernyataan salah satu sumber, yang menyampaikan bahwa ketika pihak STAIN mengkomunikasikan perihal ini kepada Gubernur Papua, justru yang didapat adalah dukungan dari ‘Kaka Bas’ terhadap pembangunan STAIN. Bahkan ketika itu beliau menyatakan komitmennya untuk membantu pembangunan gedung STAIN.

Terhadap tuntutan pencopotan DR. Ahmad Hatari dari Kepala Biro Keuangan. Ini juga sebenarnya isu yang sudah lama. Beberapa bulan lalu, di kalangan terbatas di lingkungan Pemda Provinsi Papua beredar isu bahwa Ahmad Hatari menyimpan dana Otsus dalam jumlah yang sangat besar di salah satu bank Syariah. Isu ini dibantah oleh salah satu pegawai Bank Muamalat Jayapura. Menurutnya, isu itu tidak benar, karena asset Bank Syariah Mandiri Jayapura dan Bank Muamalat Jayapura serta Bank Muamalat Sorong ‘hanya’ berjumlah Rp. 127 M (Cenderawasih Pos, 5 Agustus 2008). Kalau dirata-ratakan, setiap bank hanya memiliki asset sekitar Rp. 40 M. Apakah mungkin dana Otsus hanya berjumlah segitu?

Bahwa memang ada Perdasi tentang pembagian dana Otsus yang tidak dijalankan, itu benar adanya. Tapi apakah itu atas kewenangan Kepala Biro Keuangan untuk tidak menjalankannya? Sangat mustahil seorang pembantu Gubernur mengambil keputusan yang menyalahi Perdasi jika tidak atas ‘perintah’ pimpinan eksekutif, dalam hal ini Gubernur Provinsi Papua.

Tulisan ini sama sekali tidak bermaksud memberikan pembelaan terhadap oknum atau kelompok tertentu yang menjadi fokus pembahasan di atas. Juga tidak dimaksudkan sebagai tandingan terhadap aksi yang dilakukan FKKI. Tulisan ini mesti dilihat sebagai bentuk pengayaan dan pencerahan bersama terhadap beberapa perkembangan di Papua.

Patut diketahui, bahwa 2 hari sebelum aksi FKKI ini, pada Sabtu, 2 Agustus 2008 di Jayapura juga terjadi konflik berlatar etnik. Ketika itu sekelompok masyarakat Wamena yang bermukim di sekitar Koya menyerang masyarakat di kampung Nafri. Kedua daerah ini masih di dalam wilayah Kota Jayapura. Konflik ini sendiri menewaskan 1 orang penduduk dari kampung Nafri dan melukai beberapa orang lainnya, serta menghancurkan beberapa rumah penduduk.

Setiap kita mesti cerdas membaca isu dan berhati-hati menanggapinya. Jika tidak, derita Maluku dan tangis duka di Poso tidak mustahil akan menjadi bagian dari kisah tanah yang diberkati Tuhan ini. Kisah sedih Maluku dan Poso mesti menjadi pelajaran yang sangat berharga buat kita semua. Tidak ada satu agama pun di dunia ini yang mewajibkan penganutnya untuk membunuh penganut agama lain. Toh, Tuhan sendiri tidak akan menjadi kecil atau semakin besar keagungan-Nya hanya karena kita saling meniadakan satu sama lain.

Untuk itu, dialog dan pertemuan-pertemuan lintas sektoral yang konstruktif mesti terus dikedepankan agar tidak ada kesalahpahaman dan kecurigaan. Termasuk senantiasa mengedepankan penjelasan yang mencerahkan sekaligus menyejukan kepada setiap saudara kita, baik yang Islam maupun yang Kristen, seperti bapak peserta diskusi kami di Demta di atas.


Keterangan Foto:
Ketua Majelis Muslim Papua, Arobi Ahmad Aituarauw, berfoto bersama DR. Neles Tebay, dan Pdt. Herman Awom.
(mmp.file)