LAPORAN TAHUNAN ALDP: 2010
English Bahasa Indonesia

18 September 2008

Opinus Tabuni, Bukan Saja Duka Orang Balim

Oleh: andawat

Tragedi lapangan Sinapuk, Wamena, itu terjadi pada 9 Agustus 2008 lalu, ketika masyarakat adat Papua merayakan Hari Bangsa Pribumi Sedunia. Namun hingga kini, pengungkapan motif dan pelaku atas penembakan terhadap Opinus Tabuni terkesan hanya berjalan di tempat. Belum ada perkembangan berarti atas penyelidikan yang dilakukan oleh Polda Papua yang di-back up sepenuhnya oleh Mabes Polri.

Aksi Damai Karenanya, pada Rabu (17/9), sekitar seribu orang masyarakat adat Papua melakukan demonstrasi damai. Massa demonstran yang dikomandoi oleh Dewan Adat Papua (DAP) ini mulai bergerak dari titik kumpul di kantor DAP di Waena dan lingkaran Abepura sekitar pukul 10.00 WP dan berjalan kaki hingga tiba di titik tujuan di kantor DPRP sekitar pukul 14.00 WP. Aksi yang dikawal ketat oleh satuan Penjaga Tanah Papua bersama satuan Brimobda Papua ini dilengkapi dengan beberapa spanduk dan pamflet yang intinya memuat tuntutan terhadap pengungkapan kasus penembakan Opinus Tabuni dan penghargaan terhadap hak hidup orang Papua.

Hadir bersama-sama dengan demonstran ketika itu adalah Ketua Umum DAP, Forkorus Yaboisembut, Sekretaris Umum DAP, Leonard Imbiri, Ketua II DAP, Sayid Fadhal Alhamid, Ketua Dewan Adat Balim, Lemok Mabel dan beberapa tokoh masyarakat adat Papua lainnya.

Orasi yang membakar semangat massa terus disuarakan dari atas mobil komando oleh beberapa perwakilan massa. Orasi antara lain dilakukan oleh koordiantor lapangan aksi, Buktar Tabuni dan Markus Haluk. Hingga sekitar 1 jam berlangsung, tidak ada satu pun anggota DPRP yang hendak menemui mereka. Rupanya sebelum massa demonstran tiba di DPRP, telah tersiar kabar bahwa Ketua DPRP, Jhon Ibo, telah memerintahkan Ketua Komisi F untuk menemui demonstran, padahal pada saat yang sama ada Ketua DPRP, lengkap dengan 3 Wakil Ketua DPRP.

Orasi selanjutnya kemudian dilakukan oleh Sayid Fadhal Alhamid yang memaksa John Ibo untuk segera menemui mereka, karena massa tidak ingin ditemui oleh Wakil Ketua DPRP ataupun Ketua Komisi. Sekitar 30 menit, barulah Ketua DPRP menemui massa setelah sebelumnya Wakil Ketua II DPRP, Paskalis Kossy diusir oleh para demonstran.
Massa kemudian meminta Ketua DPRP untuk memanggil Kapolda Papua hadir bersama-sama dengan para demonstran untuk menjelaskan upaya pengungkapan kasus penembakan Opinus Tabuni. Kapolda yang tidak sedang berada di Jayapura menyatakan kesanggupannya melalui Ketua DPRP untuk mengundang tokoh-tokoh masyarakat adat Papua setibanya di Jayapura.

Pernyataan dan Tuntutan DAP
Penyataan DAP yang dibacakan oleh Sayid Fadhal Alhamid didahului dengan pertanyaan: “Mengapa rakyat papua dibunuh saat merayakan Hari Internasional Bangsa Pribumi se-Dunia?” Penyataan DAP terdiri atas 5 point: pertama, insiden penembakan terhadap Opinus Tabuni adalah kejahatan kemanusiaan yang telah menginjak-injak harkat dan martabat manusia sebagai makhluk Tuhan yang mulia. Kedua, penancapan bendera (Merah Putih, PBB, SOS dan Bintang Fajar) adalah ekspresi protes rakyat Papua terhadap ketidakadilan, marginalisasi dan kemiskinan struktural yang terus dirasakan oleh masyarakat adat Papua.

Ketiga, tewasnya Opinus Tabuni bukan masalah adat, melainkan masalah politik. Keempat, tewasnya Opinus Tabuni harus menjadi tragedi yang terakhir. Kelima, kasus lapangan Sinapuk adalah masalah kemanusiaan, bukan masalah orang Balim, melainkan masalah bagi seluruh rakyat Papua, dan juga Indonesia. Dan karena terjadi pada saat peringatan hari internasional, karena itu hal ini menjadi masalah internasional juga.

Sedangkan Tuntutan DAP ditujukan kepada 5 lembaga: Polda Papua, untuk secara berani dan jujur mengungkap kasus tewasnya Opinus Tabuni (siapa, menggunakan senjata apa dan alasan penembakannya) dan menghentikan proses hukum terhadap pimpinan DAP dan masyarakat adat secara umum. Gubernur Papua, agar memfasilitasi delegasi Papua yang akan menghadap Presiden RI, Kapolri, Ketua MPR RI, Ketua DPR RI, Ketua DPD RI, Komnas HAM dan pihak terkait lainnya.

DPRP, untuk menyurati Gubernur Papua agar memfasilitasi delegasi Papua yang akan menghadap Presiden RI, Kapolri, Ketua MPR RI, Ketua DPR RI, Ketua DPD RI, Komnas HAM dan pihak terkait lainnya. MRP, segera mengadakan Rapat Umum Dengar Pendapat dengan komponen rakyat Papua pada bulan Oktober 2008. PBB, meminta perhatian dan tanggung jawab PBB terhadap insiden lapangan Sinapuk.

Opinus Tabuni, Martir Identitas Ke-Papua-an. Yang menarik, aksi damai ini tidak saja dilakukan di Jayapura, melainkan juga dilakukan serentak di beberapa Kabupaten di tanah Papua, di antaranya di Biak, Serui, Sorong dan Manokwari. Seluruh masyarakat adat di daerah ini mendatangi kantor DPRD-nya masing-masing guna meminta pertanggungjawaban negara terhadap tewasnya seorang anak adat Papua.

Yah, Opinus Tabuni telah menjadikan orang Papua ke dalam satu bahasa, yakni bahasa perjuangan akan hak hidup dan bahasa perjuangan akan hak-hak masyarakat pribumi dan bahasa identitas ke-Papua-an. Ini menjadi sangat bermakna di saat identitas ke-Papua-an tengah berada pada titik keterpurukan. Opinus Tabuni adalah berkas cahaya di dalam lorong gelap yang diharapkan mampu merubah makna identitas ke-Papua-an yang sempit, seperti yang selama ini begitu kental ada di dalam diri setiap orang Papua.

Opinus Tabuni, Bukan Saja Duka Orang Balim Bahwa Opinus Tabuni adalah anak adat dari daerah Balim, Jayawijaya adalah sebuah keniscayaan yang tidak terbantahkan hakekatnya. Meski demikian, kesedihan atas gugurnya Opinus Tabuni tidak lagi menjadi duka orang Balim. Opinus Tabuni telah menjadi milik semua orang Papua dan milik semua orang di muka bumi ini yang masih percaya akan nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan. Karenanya, kesedihan atasnya bukan saja duka orang Balim, melainkan duka seluruh insan yang masih percaya dengan keagungan nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan.

Ini karena pertama, Opinus Tabuni wafat ketika mengekspresikan hak-hak demokrasinya, sebagai seorang Papua dan sebagai seorang manusia yang merdeka. Kedua, Opinus Tabuni dibunuh tanpa memahami apa alasannya. Ketiga, Opinus Tabuni hadir bersama dengan jutaan bangsa pribumi di dunia yang menyatakan hak-hak yang telah diakui oleh dunia internasional.

Apakah salah jika kehadirannya ketika itu hanya untuk berbagi kebahagiaan dengan seluruh masyarakat pribumi di negeri ini? Apakah salah jika dia menyatakan apa yang menjadi haknya? Apakah di negeri ini tak ada lagi ruang untuk sekadar berbeda pendapat? Dan apakah perbedaan pendapat menjadi sah jika diselesaikan dengan menghujamkan timah panas ke tubuhnya?
Siapapun yang tidak mampu menalari pertanyaan-pertanyaan di atas, maka duka Opinus Tabuni adalah juga menjadi duka baginya.

Apa pun alasannya, menembak mati seorang masyarakat sipil tak berdosa adalah kejahatan kemanusiaan dan sebuah pelanggaran HAM. Tragedi ini pasti menohok wajah Indonesia di mata internasional dan justru merongrong kewibawaan negara di dalam pergaulan internasional.

Jika ingin mengubah keadaan sedikit lebih baik, aparat kepolisian harus berani mengungkap siapa pelaku penembakan yang menewaskan Opinus Tabuni dan membongkar motif di baliknya. Selain itu, pemerintah harus lebih bijak membaca ekspresi warga negara yang diungkapkan lewat simbol-simbol tertentu serta tidak lagi memberikan stempel separatis kepada warga negaranya sendiri, apalagi lantas menyikapinya dengan laras senjata dan penjara.

Tragedi kemanusiaan ini harus segera diakhiri dan integritas kemanusiaan sudah saatnya ditempatkan pada posisinya yang termulia.



Keterangan Foto
Sayid Fadhal Alhamid, ketika membacakan Penyataan dan Tuntutan DAP.
(andawat).