LAPORAN TAHUNAN ALDP: 2010
English Bahasa Indonesia

15 September 2008

Serba Serbi yang Ramai Menjelang Pemilu 2009

Oleh: andawat

Menjelang Pemilu Legislatif 2009, intensitas suhu politik sudah meningkat di Papua. Mulai dari panas dinginnya Partai Politik mengikuti tahapan verifikasi dari tingkat pusat hingga kota/kabupaten, tarik menarik antara sikap KPU dan keputusan MK, perdebatan soal seleksi calon anggota DPD, hingga perseteruan internal partai. Belum lagi beberapa pelanggaran yang sudah diindentifikasikan terjadi, namun hingga kini hampir sebagian besar Panwaslu kota/kabupaten belum juga terbentuk.

Beberapa pertanyaan juga dialamatkan ke KPU, seperti mengenai pembagian jumlah kursi yang melebihi kuota. Lihat saja contoh pada KPU Kota Jayapura, di daerah pemilihan (Dapil) 1 Jayapura Utara. Pada Pemilu sebelumnya diberi jatah 8 kursi, tapi kini menjadi 7 kursi, padahal jumlah penduduk berusia lanjut dan menikah, juga imigran pasti bertambah. Atau ketentuan mengenai jumlah kursi setiap Dapil antara 3 – 13 di kota Jayapura, namun KPU malah menetapkan 14 kursi untuk Dapil 3.

Kekhawatiran lain adalah soal penentuan pemenang berdasarkan suara terbanyak, ataukah nomor urut. Ketika hal tersebut ditanyakan oleh salah satu pimpinan partai politik (parpol) Kota Jayapura ke Ketua KPU kota Jayapura pada acara diskusi Problematika Pemilu 2009 yang digelar Lembaga Pers dan Otsus tanggal 10 September 2008 di hotel Axton Jayapura, Ketua KPU Kota Jayapura menyatakan bahwa hal tersebut masih harus diputuskan melalui rapat internal KPU. Padahal sebaiknya para calon legistlatif (caleg) sudah mulai ‘mawas diri’, sebab untuk parpol yang begitu banyak dengan jumlah pemilih yang terbatas dan pasti tersebar ke banyak parpol (caleg), maka sangat mungkin perolehan suara terbanyak tak mencapai BPP, jadi yang menentukan, jelas posisi nomor urut.

Di tingkat masyarakat, para caleg mengalami masalah yang juga tidak sedikit. Syarat administrasi berikut biaya yang ditimbulkan menyebabkan banyak caleg mengeluh, indikasi pungutan liar tanpa standar dan bukti yang jelas terjadi hampir di setiap institusi yang didatangi, sehingga pada beberapa partai mengalami penurunan drastis hingga 50% caleg dari yang mendaftar pertama hingga saat terakhir memasukan kelengkapaan administrasi. Di sisi lain, penipuan ijasah palsu juga membayangi proses administrasi tersebut.

Di tengah-tengah proses tersebut, yang sangat menarik adalah perdebatan serius soal 11 kursi di DPRP sebagai jatah orang asli Papua. Banyak pihak mencoba memberikan pandangannya termasuk DPRP, parpol, KPU dan MRP pun saling berargumentasi. Tanggapan yang tak kalah menarik datang dari Wakil Ketua Komisi A DPRP, bahwa 11 kursi itu tergantung kemurahan hati dari parpol. Di kesempatan lain, Dr. Agus Sumule berkomentar bahwa itu tergantung pada pendapat dari MRP saat melihat daftar caleg yang diusulkan oleh parpol dan juga sikap KPU (baca Cepos, April 2008).

Hampir semua tanggapan bersikap sangat reaktif dan melupakan pijakan aturan yang ada serta proses yang selama ini sudah terjadi. Seolah-olah 11 kursi itu ide yang baru muncul, padahal usianya sama tuanya dengan DPRD yang berubah jadi DPRP, dan lebih tua dari usia MRP.

Di dalam UU Otsus pasal 6 ayat (4) yang menyebutkan “… jumlah anggota DPRP adalah satu seperempat kali dari jumlah anggota DPRD, diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan ...”. Jika kita mengacu kepada UU No. 10 tahun 2008 tentang Pemilu, khusus pada bagian Jumlah Kursi dan Daerah Pemilihan Anggota DPRD Provinsi, pasal 32 ayat (2) huruf b menyebutkan: Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 1.000.000 (satu juta) sampai dengan 3.000.0000 (tiga juta) jiwa, memperoleh alokasi 45 (empatpuluh lima) kursi ...”.
Maka sebenarnya dengan jumlah anggota DPRP sekarang, itu sudah mengakomodir 11 kursi sesuai dengan amanat Otsus. Sebab sebelumnya, jumlah kursi DPRD sebanyak 45 (empat puluh lima). Sehingga kalau tuntutannya menambah jumlah kursi (lagi), ini telah menyalahi UU No. 10 tahun 2008.

Artinya jatah 11 kursi itu sudah dilaksanakan pada saat Pemilu 2004. Hanya saja tidak ada yang mau melihat kembali proses ini. Kala itu kebijakan diambil oleh KPU bersama Parpol karena saat itu MRP belum terbentuk. Setelah itu memang tidak ada penjelasan lagi, baik dari KPU maupun parpol atau mungkin sengaja dilupakan. ‘Persekongkolan’ itu tidak pernah dipublikasikan secara bertanggungjawab hingga menjelang Pemilu 2009. Kita juga yakin bahwa tidak ada satu pun anggota legislatif yang merasa bahwa mereka bagian dari 11 kursi atau ‘mewakili kepentingan tertentu’.

Ruang pilihan adalah jumlah kursi DPRP dikembalikan menjadi 45 kursi tanpa 11 kursi hingga ada landasan operasional dan mekanisme yang jelas tentang 11 kursi atau tetap 56 kursi dengan mendistribusikan 11 kursi berdasarkan jumlah pemilih pada setiap Dapil. Perebutan 11 kursi harus dilakukan secara terbuka sehingga yang terpilih memahami dengan jelas posisi dan tanggungjawabnya.

Nampaknya dalam waktu dekat, upaya untuk mengembalikan jumlah kursi menjadi 45 sama sulitnya dengan merumuskan aturan dan mekanisme pemilihan 11 kursi sebab upaya yang selama ini terkesan justru memaksakan ada penambahan 11 kursi lagi. Apalagi Parpol sejak awal juga sudah ikut mencurangi jatah 11 kursi tersebut. Namun jika soal ini tidak dicarikan jalan keluarnya, maka untuk kesekian kalinya, hak berdemokrasinya rakyat hanya digunakan untuk memuaskan keinginan kekuasaan parpol akibat ketidaktahuan dan kekeliruan yang dibuat oleh KPU, DPRP dan MRP.

Pada perkembangan terakhir, kita berharap KPU Provinsi Papua dan MRP tidak mengambil langkah-langkah inskonstitusional, sebab itu akan membuat ruang keputusan makin tidak jelas pertanggungjawabannya dan dengan mudah dapat direduksi kembali oleh parpol yang memang sudah ‘aman’ mengincar (mendapatkan) kursi tersebut.

KPU harus lebih tegas dan taat serta wajib membuka kembali catatan Pemilu 2004 yang relevan dengan 11 kursi tersebut. MRP pun diharapkan tidak menggunakan ajang ini untuk menunjukkan kewenangan yang berlebihan apalagi menjadikan isu 11 kursi sebagai komoditi baru bagi anggota MRP menjelang masa akhir tugas.

Kalau memang benar 56 kursi itu bagian dari 11 kursi, maka ini juga lucu, karena belum ada Perdasus tetapi sudah dipraktekkan, tapi di sisi lain yang sudah ada Perdasus malah diabaikan. Kewenangan memang berbahaya kalau tidak disertai mekanisme kontrol apalagi dipegang oleh orang-orang yang haus kekuasaan dan tidak mengerti aturan. Mereka beranggapan, dirinya adalah hukum itu sendiri, sehingga semua kegiatan harus diabdikan untuk kepentingannya, dan hukum di luar itu boleh ditiadakan.


Keterangan Foto:
Suasana pemilihan kepala kampung Kamdera, distrik Tarfia, Kabupaten Jayapura, Papua.
(andawat).