LAPORAN TAHUNAN ALDP: 2010
English Bahasa Indonesia

26 Oktober 2008

Demo Lagi, Represif Lagi

Oleh: andawat

Dalam beberapa minggu belakangan ini, situasi di Papua, terutama Jayapura diwarnai dengan beberapa peristiwa pengibaran bendera Bintang Kejora dan demonstrasi massa. Pengibaran bendera Bintang Kejora belum usai, kembali terjadi demonstrasi, seakan ritme ini dipacu oleh sebuah kekuatan tertentu yang tidak pernah pudar, datang dari perasaan terdalam orang Papua. Mungkin ini bukan gambaran yang tepat untuk menyatakan bahwa situasi keamanan di Papua cukup kondusif. Akan tetapi bukan juga alasan yang kuat untuk melancarkan (kembali) tindakan represif pemerintah Indonesia melalui aparat keamanannya dengan mencontoh praktek-praktek militer di jaman Orde Baru.

Demonstrasi kian meningkat setelah demo 17 September 2008 di DPRP yang saat itu mendesak pemerintah melalui Polda Papua untuk mengungkapkan kasus terbunuhnya Opinus Tabuni pada 9 Agustus 2008 lalu di lapangan Sinapuk, Wamena. Seperti biasa, pemerintah baru merespon setelah didesak, sebab sebelumnya hanya beberapa statement dari beberapa pejabat lokal, termasuk politisi DPRP, tetapi bukan sikap tegas pemerintah. Esok hari setelah demo, Polda Papua menyatakan hasil uji Puslabfor terhadap 47 pucuk senjata api yang dimiliki oleh Polres Jayawijaya, ternyata beda dengan peluru yang bersarang di jantung Opinus, yakni full metal jaket round nose, caliber 9 mm dari senjata api jenis pistol, sehingga “Bukan Pelor Polisi”, demikian headline salah satu surat kabar lokal di Jayapura, edisi 19 September 2008 merujuk pernyataan Polda Papua. Namun hingga kini, hanya berhenti sampai di situ.
Jika menggunakan logika hukum, justru seharusnya makin jelas siapa pembunuhnya karena bukti-bukti semakin banyak dan konkrit, tapi sebagaimana praktek impunity yang biasa terjadi “semakin kabur pelakunya justru di saat bukti-bukti semakin lengkap”.

Peristiwa demo kala itu juga mulai mem-blow up pembentukan solidaritas Parlement di Inggris terhadap rakyat Papua yang dikenal dengan sebutan International Parliement for West Papua (IPWP), yang digelar pada 15 Oktober 2008. Waktu itu, memang tidak ada wakil dari PDP yang datang dari dalam negeri (Tanah Papua). Disebutkan juga bahwa pembentukan itu hanya datang dari 2 orang anggota Parlement, namun acara tersebut tersiar luas dan fenomenal bagi orang Papua sehingga seolah-olah membuat semua warga Papua hadir saat itu. Maka respon dari berbagai pihak terus mengalir, termasuk dari kelompok yang menyatakan mendukung NKRI dan menolak IPWP di bawah pimpinan Ramses Ohee, 13 Oktober 2008, yang kemudian mempublikasikan statement tersebut satu halaman penuh di salah satu harian lokal.

Berlanjut dari demo 19 September 2008 tersebut, sesuai dengan janji DAP, mereka akan melakukan demo kembali pada 16 Oktober 2008. Untuk itu, DAP telah melayangkan pemberitahuan ke Polda Papua, namun ‘dilarang’ oleh pihak kepolisian dengan alasan klasik, bahwa DAP tidak terdaftar secara hukum. Padahal banyak lembaga yang tidak terdaftar secara hukum di kantor Kesbang, toh bisa melakukan demo dan tidak dipermasalahkan oleh pihak Polda Papua. Demo kemudian ‘diatur’ oleh Buchtar Tabuni dkk. Menurut Buchtar, pihaknya telah mengajukan surat pemberitahuan ke pihak Polda Papua 3 hari sebelum demo. Pemberitahuan juga diperluas ke banyak pihak dengan menghimbau agar semua aktifitas diliburkan pada tanggal 16 Oktober 2008.

16 Oktober 2008, didahului dengan sweeping malam sebelumnya, hari itu aktifitas kantor benar-benar sepi dan diganti dengan meningkatnya aktifitas aparat keamanan mulai dari pusat kota, taman Imbi, Abepura, Waena hingga Sentani. Mulai dari aparat kepolisian, TNI AD, TNI AU hingga TNI AL, semua menggunakan senjata lengkap seperti hendak berperang. Massa ditahan untuk tidak turun dan terkonsentrasi di DPRP. Ketika itu perdebatan cukup lama, bahkan sempat dilakukan orasi hingga kemudian massa membubarkan diri dan merencanakan akan demo kembali pada 20 Oktober 2008.

Menurut penanggungjawab demo 20 Oktober 2008, surat pemberitahuan telah dilayangkan ke pihak Polda pada 17 Oktober 2008. Akan tetapi situasi tanggal 20 Oktober 2008 berubah seketika pada saat aparat kepolisian berusaha menghadang massa di sekitar taman Imbi, pas di depan gedung DPRP. Tindakan kekerasan mulai dilakukan, massa dibubarkan paksa dan lebih dari itu kemudian polisi awalnya menangkap 1 orang yang berpakaian tradisional, setelah itu menangkap 13 orang dan menyusul 3 orang. Mereka dipaksa dengan pukulan dan todongan popor senjata naik ke mobil polisi, ada yang mengalami penyiksaan phisik seperti Buchtar Tabuni karena sempat dipukuli dengan popor senjata, juga ditendang. Beberapa lainnya mengalami intimidasi dengan senjata.

Terhadap Buchtar sendiri, seorang aparat kepolisian mengatakan bahwa ke Polresta karena akan bertemu dengan Kapolresta Jayapura. Namun sesampai di Polresta, massa yang berjumlah 18 orang, dipaksa naik ke ruang intel, beberapa di antara mereka masih sempat dipukuli. Saat itu hanya ada Faisal Tura, SH dari ALDP, salah seorang anggota Tim PH yang diminta sejak awal oleh para pendemo untuk mendampingi. Setelah beberapa PH dari ALDP dan Kontras Papua datang, barulah pihak Poresta melalui Kasatreskrim meminta agar Buchtar Tabuni dibawa ke Polda. Sedangkan yang lain tetap di Polresta bersama beberapa orang PH. Sempat terjadi perdebatan, namun pihak Polresta tetap melakukan pemeriksaan terhadap 14 orang yang ada di Polresta, kemudian 4 di antaranya ditahan dengan alasan karena membawa senjata tajam, hingga Rabu22 Oktober 2008 mereka dibebaskan dengan jaminan dari pihak keluarga.

Alasan penangkapan terhadap Buchtar sendiri sangat aneh, di tempat terpisah, polisi menyampaikan pendapat yang berbeda-beda. Pertama, Buchtar ditangkap karena tidak memenuhi panggilan pemeriksaan sebagai saksi di Polda pada Senin, 20 Oktober 2008 atas peristiwa demo tanggal 16 Oktober 2008. Menurut Buchtar, dia sudah menyampaikan permintaan untuk menunda pemeriksaan yang sempat juga dirilis oleh media massa. Walaupun Buchtar tidak menyampaikan permintaan penundaan, ada prosedur hukum untuk memanggil saksi, mulai dari panggilan pertama, kedua dan ketiga. Kedua, pihak kepolisian menyatakan bahwa demo tanggal 20 Oktober 2008 tidak ada pemberitahuan, sehingga Buchtar Tabuni ditangkap. Logikanya, kalau pihak kepolisian tidak mengetahui ada surat pemberitahuan, bagaimana mungkin pihak kepolisian menyakini bahwa Buchtar adalah penanggungjawab demo tanggal 20 Oktober 2008? Menurut pendemo, surat pemberitahuan sudah disampaikan ke pihak Polda dan penanggungjawab demo tersebut, atau yang menandatangani surat tersebut bukan Buchtar Tabuni. Artinya, penangkapan dan penyiksaan yang dilakukan terhadap Buchtar Tabuni dkk, tidak dapat dibenarkan dengan alasan apapun tanpa menempuh prosedur hukum yang sebenarnya.

Ketika di Polda, Buchtar dipaksa untuk diperiksa sebagai saksi atas peristiwa demo tanggal 16 Oktober 2008. Awal pemeriksaan sempat berbelit-belit dan terjadi silang pendapat antara pihak penyidik dengan PH. Nampak sekali bahwa pihak penyidik berusaha untuk memeriksa Buchtar pada hari itu juga. Ketika Buchtar menyatakan tidak sehat, penyidik langsung memanggil tim medis untuk memeriksa Buchtar, setelah dicek tekanan darahnya, tim medis memberikan rekomendasi bahwa Buchtar dalam keadaan baik, namun Buchtar menyatakan tetap keberatan karena masih merasa kecewa akibat pemukulan yang diterimanya. Tim PH menyampaikan argumentasi yang sama, namun penyidik justru mengatakan, “mau diperiksa secara kekeluargaan atau professional?”. Tim PH menyatakan bahwa seharusnya penyidik memperhatikan kesiapan phisik dan mental SAKSI. Penyidik lantas melontarkan pertanyaan yang lebih aneh, “apakah kamu waras atau tidak waras?”. Mendengar pertanyaan ini semua tim PH menjadi sangat marah, “kecewa, sedih itu juga bagian dari perasaan jiwa yang sakit, penyidik seharusnya tidak melontarkan pertanyaan intimidatif seperti itu. Kami selama mendampingi klien belum pernah mendengar ada penyidik yang bertanya seperti itu…”. Jika dibilang professional, seharusnya penyidik yang menunjukkan sikap professional, kenyataannya malah mengintimidasi, belum siap memeriksa klien, karena BAP yang ada juga masih menggunakan nama orang lain. Beberapa penyidik lainnya sempat kaget dengan perdebatan antara penyidik dan PH, mungkin juga terasa aneh melihat temannya sesama penyidik yang berpangkat Kompol, melakukan penyidikan seperti itu.

Setelah mendapat protes seperti itu, barulah disetujui pemeriksaan ditunda hingga Senin, 27 Oktober 2008 dengan merujuk pada surat panggilan pertama. Maka tanggal 27 Oktober 2008, akan ada pemeriksaan terhadap (1). Buchtar Tabuni terkait dengan demo 16 Oktober 2008, (2). Leonard Imbiri (Sekretaris DAP), terkait peristiwa 9 Agustus 2008 di Wamena, dan (3). Forkorus Yaboisembut (Ketua DAP), terkait demo 16 Oktober 2008. Semua pemanggilan berdasarkan dugaan pasal-pasal makar (Pasal 106), permufakatan jahat (pasal 110), melawan penguasa dan tidak taat pada UU (pasal 160), serta menyatakan permusuhan di muka umum (161) dari KUHP peninggalan pemerintah Belanda lalu yang oleh pemerintah Belanda sendiri justru sudah tidak lagi digunakan. Tetapi karena hingga kini belum ada KUHP made in Indonesia, maka KUHP Belanda tetap dipakai, atau mungkin karena pasal-pasal tersebut dengan gampang bisa mengkriminalisasikan semua sendi-sendi kehidupan orang Papua?



Keterangan Foto:
Butar Tabuni ketika diperiksa di Polda Papua beberapa waktu lalu.
(andawat)