LAPORAN TAHUNAN ALDP: 2010
English Bahasa Indonesia

31 Oktober 2008

Hari-hari DAP dalam Catatan POLDA Papua

Oleh: andawat


Pemeriksaan pada hari Senin, 27 Oktober 2008 dilakukan berdasarkan 2 LP (Laporan Polisi) yang berbeda yakni peristiwa 9 Agustus di lapangan Sinapuk Wamena dan peristwa tanggal 16 Oktober 2008 di Jayapura. Pasal yang dituduhkan pun berlapis-lapis, namun sasaran pidananya cuma satu: Makar.

Pak Forkorus Yaboisembut, mungkin karena latar belakang seorang guru, selalu mencoba untuk menjelaskan dengan detail dan tidak segan-segan meminta klarifikasi dengan nada tinggi atas pertanyaan yang disampaikan oleh penyidik. Pertanyaan berkaitan dengan peistiwa 16 Oktober 2008 di Jayapura. Pertama, sehubungan dengan surat pemberitahuan demo yang disampaikan oleh DAP di awal bulan Oktober 2008, kemudian pihak POLDA mengeluarkan surat larangan kepada DAP tertanggal 8 Oktober 2008, intinya karena DAP bukan merupakan organisasi yang sudah mendaftarkan diri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pihak DAP sempat membalas surat POLDA pada tanggal 13 Oktober 2008 yang menegaskan bahwa larangan tersebut dipandang tidak mendasar dan sebagai larangan terhadap kebebasan berekspresi.

Kedua, Forkorus Yaboisembut dimintai keterangan sehubungan dengan perannya saat demo berlangsung, terutama karena orasi yang dilakukannya. Orasi tersebut bagian dari keprihatinan akibat dari penderitaan yang dialami oleh rakyat Papua. Beliau juga diminta untuk menggambarkan suasana massa pada waktu itu, terutama di sekitar Expo Waena.

Sekretaris DAP, Leonard Imbiri, diperiksa berkaitan dengan peristiwa 9 Agustus 2008. Diketahui bahwa ini pemeriksaan pertama terhadap dirinya terkait dengan peringatan Hari Pribumi yang menewaskan Opinus Tabuni. Berdasarkan hasil keputusan Pleno V DAP awal tahun 2008 di Bapelkes Jayapura, Leonard Imbiri diberikan tanggung jawab sebagai Koordinator Pengarah pada acara Hari Pribumi. Saat acara dilakukan, salah satu tugasnya adalah membacakan sambutan Sekjen PBB pada Peringatan Hari Internasional Masyarakat Pribumi.

Leonard Imbiri setelah membacakan sambutan Sekjen PBB merasa sangat tidak enak badan dan sempat tertidur karena kondisi kesehatannya agak terganggu. Suara teriakan dan kemudian disusul dengan bunyi tembakan membuatnya kaget, apalagi massa kemudian bergerak sangat cepat. Leonard Imbiri teringat ada truk tentara di tengah lapangan (sudah ada sebelum acara perayaan) dan langsung mencegah massa yang akan bergerak ke arah truk. Tak lama kemudian dia mendengar ada orang yang tertembak. Mengenai siapa yang menancapkan bendera Bintang Kejora dan apakah bagian dari acara peringatan, jawaban Leonard Imbiri serupa dengan jawaban saksi lainnya yakni bahwa mereka tidak mengetahui dan itu bukan bagian dari acara yang disiapkan panitia. Leonard Imbiri menegaskan bahwa sebelumnya pada tanggal 1 Agustus 2008, pihak DAP sudah melakukan pertemuan dengan Kapolda Papua di Jayapura untuk memberitahukan kegiatan dimaksud

Sedangkan Buctar Tabuni mengalami pemeriksaan yang relatif lebih ‘keras’. Buchtar dikejar pertanyaan berkaitan dengan penggalangan massa dan terutama isi dari selebaran serta spanduk pada tanggal 16 Oktober 2008 yang di salah satu bagiannya ada gambar bendera Bintang Kejora. Buchtar juga ditanya mengenai selebaran yang beredar, karena ada 2 versi dan Buchtar hanya membuat satu saja. Penyidik meminta penjelasan dari hampir semua pernyataan yang tertera di selebaran seperti review Pepera 1969, International Parliements for West Papua, status politik Papua dalam NKRI serta ketidakadilan yang terjadi di tanah Papua. Nampaknya penyidik tidak cukup puas dengan jawaban yang diberikan oleh Buchtar, sehingga ada beberapa pertanyaan yang diulang sehingga sempat membuat Buchtar protes.

Buchtar juga ditanya sehubungan dengan surat pemberitahuan yang disampaikan dalam 2 versi, kepada pihak Polda dan juga yang ditujukan kepada masyarakat. Diketahui bahwa ketika pihak DAP mendapat surat larangan dari pihak Polda Papua, maka Panitia Nasional Papua Barat untuk IPWP yang dikoordinir oleh Buchtar Tabuni menyampaikan surat permohonan yang sama mengenai Pemberitahuan Aksi Damai tanggal 16 – 17 Oktober 2008 dengan nomor 01/PNPB/P.P/IX/08. Malam sebelum demo, Buctar Tabuni sempat mendapat informasi lisan dri pihak Polda Papua, bahwa aksi Damai tersebut dilarang dan harus memenuhi sejumlah persyaratan. Ketika itu, Buchtar Tabuni menyampaikan bahwa pihak mereka tidak punya waktu untuk memenuhi persyaratan tersebut.

Setelah melalui pemeriksaan yang panjang dan melelahkan hingga malam hari, maka untuk sementara pemeriksaan buat Leonard Imbiri dan Buchtar Tabuni dianggap selesai dan akan dipanggil sewaktu-waktu apabila masih dibutuhkan keterangannya. Setelah pemeriksaan, tanggal 27 Oktober 2008, Polda Papua telah mengeluarkan surat panggilan pemeriksaan sebagai Saksi kepada Viktor Yaimo dan Sebbi Sabom, namun hingga hari ini belum diketahui kapan pemeriksaan akan dilakukan.

Forkorus Yaboisembut menjalani pemeriksaan tambahan pada tanggal 29 Oktober 2008. Pemeriksaan hari itu tidak terlalu panjang dan lebih banyak berkaitan dengan bukti-bukti korespondensi antara pihak DAP dengan Polda Papua mengenai demo tanggal 16 Oktober 2008. Pada kesempatan tersebut, Forkorus Yaboisembut menunjukkan surat DAP dan juga bukti ekspedisi penerimaan surat dari pihak Polda Papua.

Sejauh ini dari hasil pemeriksaan yang berkembang, kita belum tahu persis ke arah mana target yang sedang diincar oleh pihak kepolisian. Kita hanya bisa menduga bahwa apabila penyidik tidak mampu membuktikan siapa pelaku yang menancapkan bendera Bintang Kejora pada tanggal 9 Agustus 2008, ada kemungkinan Polda Papua akan meminta pertanggungjawaban dari panitia, terutama DAP. Target jangka panjangnya adalah DAP akan terus ‘dipaksa’ diberikan label ilegal bahkan mungkin separatis. Hal ini terbukti dengan materi larangan Polda Papua terhadap aksi demo DAP, yakni karena DAP belum terdaftar di Kesbang, dan tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan RI. Dengan demikian, maka pasal-pasal makar yang dituduhkan akan lebih mudah untuk dibuktikan. Dari Laporan Polisi yang ada, sudah jelas menunjukkan bahwa Aksi Demo DAP dan mahasiswa = Makar. Jadi kebebasan berekspresi = Makar.

Catatan lainnya dari Aksi Damai tanggal 16 Oktober 2008 dan 20 Oktober 2008, menunjukkan sikap pemerintah yang makin represif, terbukti dengan sweeping dan masuknya aparat kepolisian dan TNI di kampus Universitas Cenderawasih sebelum dan pada saat tanggal 20 Oktober 2008, sehingga memunculkan aksi protes mahasiswa Universitas Cenderawasih tanggal 21-22 Oktober 2008 dengan cara memalang kampus dan ‘menghiasi’ kampus dengan spanduk dan pamflet yang berisi protes.

Di sisi lain yang perlu disimak juga adalah dari hampir semua proses penyidikan, penyidik selalu ‘berhasil’ mendapatkan foto-foto, bahkan rekaman video mengenai aksi yang digelar oleh DAP. Seperti peristiwa 9 Agustus 2008 maupun aksi Damai 16 Oktober 2008, kendati kita tahu bahwa penjagaan yang dilakukan sangat ketat oleh Petapa (Penjaga Tanah Papua). Apakah ada orang yang sengaja menyusup?
Bisa jadi foto dan rekaman tersebut didapat dari sejumlah jurnalist yang bisa jadi juga ‘dibujuk dan dipaksa’ agar memberikan dokumen yang mereka miliki. Sampai di sini, timbul pertanyaan: sejauh manakah kebebasan pers dilundungi oleh UU (aparat) dan sejauh manakah pers mampu menghargai subyek foto atau rekaman? Ataukah memang semuanya harus diberikan atas ‘perintah undang-undang?’



Keterangan Foto:
Ketua DAP, Forkorus Yaboisembut, Buchtar Tabuni dan Sekretaris Umum DAP, Leonard Imbiri.
(Andawat)