LAPORAN TAHUNAN ALDP: 2010
English Bahasa Indonesia

24 Oktober 2008

Hukum Adat: Kekayaan intelektual Masyarakat Adat Papua

Oleh: andawat

Pada tanggal 24 September 2008, dilakukan peluncuran Buku Panduan Hukum Adat DAS Jouw Warry, setelah tertunda sekitar 3 bulan dari jadwal yang semula direncanakan. Alasan utama dari penundaan ini adalah karena ternyata mengumpulkan dan menyusun berbagai aturan adat yang sekian abad telah menjadi budaya lisan adalah pekerjaan yang sangat sulit, bahkan di akhir pendataan, Tim Kerja merasa masih terdapat beberapa hal yang harus dikumpulkan dan ditulis kembali, hal ini menjadi bagian dari rencana ‘menyempurnakan’ buku tersebut di waktu yang akan datang.

Hari itu, menjadi puncak kerja selama kurang lebih 2 tahun sejak ide pembuatan buku ditawarkan oleh tokoh-tokoh adat masyarakat Demta pada waktu diskusi Identifikasi Masalah dan Perumusan Kebutuhan di Kantor Distrik Demta tahun 2006. Sebenarnya, khusus pembuatan buku ini secara intensif dikerjakan tak lebih dari 9 bulan, terutama setelah Tim berhasil menyusun draft pertama sekitar akhir tahun 2007. Kala itu penundaan bersifat tekhnis, karena kendala biaya, hingga buku berhasil diluncurkan pun banyak sekali kebutuhan tak terduga yang muncul, namun dengan kerja keras dan semangat yang tinggi, ALDP optimis bahwa buku ini bakal menjadi salah satu catatan penting dalam perjalanan hukum adat di Papua, khususnya bagi Dewan Adat Suku (DAS) Jouw Warry di Demta.

Acara peluncuran buku dikemas dalam tradisi adat, khusus kampung Ambora Demta mendatangkan tim penari yang terdiri dari 3 generasi, mereka ditempatkan pada bagian sisi kanan dari panggung, Di bagian depan diletakkan 5 meja kecil yang masing-masing berisi satu ‘piring gantung’ besar, yang di dalamnya terdapat sirih, pinang dan kapur serta pada dinding dihiasi kain tenun adat dan disiapkan kertas warna-warni yang diperuntukkan bagi para undangan untuk menuliskan komentar atau tanggapannya mengenai acara tersebut.
Salah seorang tokoh adat Demta menancapkan tanda adat berupa kayu, daun-daun dan pinang, pas di depan panggung mengiringi prosesi adat yang akan berlangsung.

Acara diawali dengan pengantar kata dari Thaha M. Alhamid, mewakili Dewan Pendiri ALDP. Beliau menyampaikan terima kasih atas dukungan semua pihak, sehingga buku Panduan Hukum Adat DAS Jouw Warry dapat diselesaikan. “Ini hasil dari menulis dengan pena. Setelah ini, yang perlu dilakukan adalah menulis dengan keringat…”, katanya. Menurutnya, pekerjaan ini suatu langkah maju sesuai dengan keinginan masyarakat Papua. Pekerjaan yang sangat konkrit jika dibandingkan dengan dana besar yang dikeluarkan DPRP, konon ada sekitar Rp. 22 M untuk membuat PERDASI dan PERDASUS yang hingga hari ini tidak diketahui hasilnya, dana tersebut entah dipakai ke mana dan oleh siapa.

Setelah itu, dilanjutkan dengan diskusi singkat sekitar 45 menit yang dipandu oleh moderator Amir Siregar. Pembicara dalam diskusi tersebut adalah Ketua ALDP dan Ketua DAP. Ketika ditanya mengapa memilih Demta, Ketua ALDP menjelaskan bahwa ALDP dalam menjalankan program berlandaskan pada 2 strategi, yakni pertama memilih tempat secara sengaja pada kurun waktu tertentu yang relatif panjang. Apabila hanya sesaat pada satu wilayah dan berpindah dari satu isu ke isu yang lain, maka akan sangat sulit untuk mengukur progress dari suatu kegiatan.

Kedua, ALDP selalu mendiskusikan kelompok atau mitra yang potensial untuk diajak bekerjasama, karena terkena berbagai kebijakan dan juga yang sekaligus progresif untuk merespon berbagai perubahan. Menurut ALDP, Masyarakat adat salah satu kelompok yang sangat potensial dengan berbagai permasalahan yang dihadapi, terutama juga persoalan hak asasi manusia yang banyak dialami oleh masyarakat Demta. Karena itu Demta menjadi pilihan yang tepat.

Untuk pertanyaan mengapa perlu dilakukan kodifikasi hukum adat, ALDP memiliki pandangan bahwa ini berdasarkan permintaan masyarakat agar ada dokumentasi berbagai proses musyawarah dan pengambilan keputusan adat, sebagai media transformasi antar generasi. Juga diharapkan dapat membantu semua pihak untuk mengetahui dan memahami hukum adat, sehingga terbangun perilaku untuk mengakui dan menghormati eksistensi masyarakat adat Papua.

Sedangkan Ketua DAP menegaskan pentingnya pendokumentasian hukum adat, agar nilai- nilai adat tidak punah oleh zaman. Masyarakat adat menyadari bahwa mereka telah memiliki hukum sejak dulu kala jauh sebelum hukum Tuhan (agama) masuk ke dalam kehidupan mereka. Ketua DAP menambahkan bahwa adalah prestasi yang membanggakan dari kerja sama ALDP dengan masyarakat adat Papua, khususnya melalui Dewan Adat Papua. Program pendokumentasian ini sejalan dengan program yang diputuskan oleh DAP sebagai salah satu proses penataan dan penguatan masyarakat adat mulai dari tingkat suku, sub suku dan kampung.

Menjadikan hukum adat yang telah lama hidup dalam tradisi lisan, dapat juga ditransformasikan ke dalam tradisi modern. Dengan demikian diharapkan nilai hukum adat tidak terkikis oleh kemajuan jaman dan hilang dari kehidupan masyarakat. Lebih dari itu adat bisa terus diwariskan sebagai kekayaan intelektual dan kearifkan nilai bagi generasi anak adat di masa depan.

Di sela-sela diskusi, moderator mengundang tanggapan dari para undangan yang hadir, seperti Bambang Soegiono dan Kadir Katjong, keduanya staf pengajar di Fakultas Hukum UNCEN, serta mantan Kapolsek Demta yang sejak awal terlibat dalam diskusi pendokumentasian hukum adat ini. Kapolsek Demta menegaskan bahwa hukum adat sangat penting untuk membantu menyelesaikan soal-soal di masyarakat, serta membantu tugas aparat kepolisian di kampung.

Kepala Distrik Demta juga menyambut baik proses pendokumentasian hukum adat, terutama untuk membantu tugas pimpinan adat. menurutnya, DAS Jouw Warry sangat berperan aktif dalam kehidupan masyarakat di distrik Demta dan sebagai mitra dari pemerintah distrik Demta. Menurut Ketua ALDP, sebagai buku yang pertama tentu terdapat banyak kekurangan, kadang proses dari pendokumentasian itu sendiri seperti suatu ‘eksperimen’, mengumpulkan, mengelompokan dan membuat legal draf-tnya. Sebelumnya ALDP sendiri tidak menemukan satu pun referensi tertulis mengenai masyarakat Adat Jouw Warry dan hukum adatnya. Beberapa tanggapan dari diskusi menjadi masukan yang sangat baik untuk memperbaiki proses pendokumentasian di masa yang akan datang.

Setelah diskusi, acara dilanjutkan dengan penyerahan Buku Panduan Hukum Adat ke ketua DAS Jouw Warry yang didampingi oleh para Marar Mataun, Mataun Pan dan Maram Tamsu (kepala pemerintah adat di masing-masing sub suku) dan dari ketua DAS menyerahkan kepada ketua DAP.

Acara yang dilakukan dengan prosesi adat ini diawali dengan tarian adat. Pada tarian itu juga diisi dengan 2 penari khusus dengan bertelanjang dada dan melumuri seluruh tubuhnya dengan lumpur. Ini menggambarkan peran para penegak hukum sebagai pengawas yang bertugas mengingatkan para tua-tua adat agar melaksanakan hukum dengan sebaik-baiknya dan bersikap adil.

Pada kesempatan ini, Ketua DAS Jouw Warry memberikan sambutan singkat dengan menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua masyarakat adat dan juga ALDP yang sudah membantu sehingga proses pendataan berjalan sangat baik serta mengharapkan bahwa proses ini akan menjadi contoh bagi Dewan adat lainnya sebagai bagian dari rasa bangga dan penghormatan kepada hukum adat yang dimiliki sejak turun temurun. Setelah penyerahan buku, acara tari-tarian terus dilanjutkan dengan berbagai musik dan lagu hingga waktu berbuka puasa tiba.

Pada 15 Oktober 2008, di Desa Ambora, distrik Demta, dilakukan acara syukuran yang diprakarsai oleh DAS Jouw Warry dan Distrik Demta, acara diisi dengan aneka musik dan tarian.

Sebuah kerja panjang usai dilakukan, kami akan menyelesaikan kerja-kerja yang lain berikutnya. Memang terasa sulit awalnya, akan tetapi kami percaya bahwa sesudah kesulitan-kesulitan itu, akan ada kemudahan. Terima kasih Tuhan . . .



Keterangan Foto:
Ketua DAP dan Ketua ALDP pada peluncuran Buku Hukum Adat.
(andawat)