LAPORAN TAHUNAN ALDP: 2010
English Bahasa Indonesia

12 November 2008

TNI vs Polisi di Wamena: Semoga Kita Tidak Lupa

Oleh: Andawat

Bentrokan antara TNI dan Polisi kembali terjadi pada Sabtu, 1 November 2008 di Wamena, Jayawijaya, Papua. Kali ini, bahkan merenggut nyawa Prada La Harirabu, anggota Yonif 756/WMS Wamena. Cukup menggenaskan, karena jenazahnya baru ditemukan tujuh hari kemudian (8 November 2008), mengapung di sungai Baliem. Sedangkan seorang anggota TNI lainnya, Prada Lamek, terkena tembakan di bagian bokong, hingga tembus ke bagian paha.

Sementara dari pihak Polisi, Briptu Jusman mengalami luka di tangan kirinya, bahkan jari kelingkingnya nyaris putus. Sedangkan Brigpol Erik Alvons mengalami luka di bagian belakang kepala, siku sebelah kiri dan pinggang bagian belakang. Keduanya langsung dievakuasi ke Rumah Sakit Bayangkara di Jayapura, keesokan harinya.

Jenazah Prada La Harirabu sendiri telah dibawa ke Jayapura, dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP), Abepura, pada Minggu, 9 November 2008 lalu, setelah sebelumnya dilakukan otopsi terhadapnya. Hasil otopsi jenazah ini juga sangat mengejutkan. Bahwa pada tubuh Prada La Harirabu ditemukan empat lubang bekas tembakan, juga tiga pecahan proyektil di kaki korban. Selain itu, rahang almarhum juga diduga terkena hantaman benda keras. Dugaan lainnya, almarhum meninggal karena tembakan itu sebelum kemudian dibuang ke sungai Baliem.

Apa yang menjadi motif dari insiden pada Sabtu dini hari itu sebenarnya tidak jelas. Pimpinan kedua institusi pemegang sah atas persenjataan ini hanya mengatakan bahwa kedua kelompok terlibat dalam kesalahpahaman, hanya apa inti dari kesalahpahaman itu sendiri, tidak jelas. Dikatakan juga, bahwa perseteruan ini terjadi karena usia para anggota ini masih sangat muda, sehingga emosi mereka juga masih sangat labil.
Apa pun motif yang melatarbelakangi ‘pertempuran’ ini, yang pasti, jika mengacu pada kebiadaban penembak almarhum yang menghujamkan empat butir timah panas ke tubuhnya lalu membuang jasadnya ke sungai Baliem, jelas ini persoalan yang sangat serius.

Menarik untuk menyimak peristiwa tragis ini jika sedikit saja kita menoleh sejenak ke belakang. Bahwa situasi sosial politik di Papua, terutama di Wamena, sejak bulan Agustus lalu cukup menghangat. Kita semua pasti masih ingat dengan peristiwa terbunuhnya Opinus Tabuni di saat masyarakat adat Papua di bawah komando Dewan Adat Papua (DAP), dan masyarakat pribumi di seluruh dunia, melaksanakan peringatan Hari Bangsa Pribumi Internasional yang dipusatkan di lapangan Sinapuk, Wamena, Jayawijaya pada 9 Agustus 2008 lalu.

Bahwa pasca-penembakan misterius tersebut, situasi kota Wamena sedikit tegang. Sebagian masyarakat di kota Wamena (umumnya masyarakat pendatang), ‘mengungsi’ ke kompleks-kompleks kantor keamanan (Kodim Wamena dan Polres Jayawijaya), sempat mewarnai ketegangan menjelang malam di daerah dingin ini. Kebiasaan ‘mengungsi’ ini selalu terjadi jika ada beberapa kasus politik.
Ketika itu, Kepala Kepolisian Daerah (Polda) Papua, Irjen Pol. Bagus Ekodanto, didampingi Kepala Direktorat (Kadit) Reskrim Polda Papua, AKBP Paulus Waterpauw, langsung menuju Wamena dan mengadakan pertemuan dengan beberapa pimpinan DAP. Perlu juga diketahui, ketika itu, beberapa pimpinan DAP dan beberapa masyarakat hendak ditangkap dan langsung diperiksa di Polres Jayawijaya, namun kemudian disepakati bahwa pemeriksaan terhadap mereka akan dilakukan di Polda Papua, di Jayapura.

Di Jayapura, setelah uji balistik terhadap timah panas yang menghujam ke tubuh Opinus dan memeriksa 47 pucuk senjata yang digunakan aparat kepolisian pada saat mengamankan kegiatan tersebut, Polda Papua memberikan keterangan pers: ‘Itu bukan peluru polisi’. Tidak jelas ke arah mana sebenarnya kalimat ini ditujukan. Yang pasti bahwa pihak kepolisian ingin menegaskan kepada masyarakat Papua dan juga dunia internasional, bahwa bukan Polisi pelaku penembakan Opinus Tabuni. Lantas siapa?

Salah seorang anggota penyidik mengatakan bahwa sebenarnya pelaku penembakan ini masih berkeliaran di Wamena. Bahkan konon kabarnya, polisi sebenarnya memiliki gambar seorang laki-laki dengan jaket tebal terlihat sedang memegang senjata laras pendek. Kadit Reskrim Polda Papua, AKBP Paulu Waterpauw, juga mengatakan bahwa pihaknya telah mendapatkan seorang saksi yang melihat kejadian tersebut. Pertanyaannya, kenapa pihak kepolisian tidak memanggil dan memeriksa orang yang memegang senjata yang ada di dalam gambar tersebut, atau orang yang dilihat oleh saksi polisi itu?

Kasus penembakan terhadap seorang masyarakat sipil ini memang terjadi jauh di pedalaman Papua, di negeri yang sebagian penduduknya masih mengenakan koteka. Tapi resonansinya jelas menggema sampai ke dunia dan sangat mungkin ini menjadi topik yang hangat untuk diperbincangkan masyarakat internasional.

Untuk itu, keseriusan dan profesionalisme aparat kepolisian dalam hal mengungkap pelaku penembakan terhadap Opinus Tabuni masih ditunggu, tidak saja oleh keluarga dari Opinus Tabuni yang pasti masih terus berduka, melainkan juga oleh masyarakat Papua secara umum dan juga seluruh masyarakat pribumi internasional, karena insiden ini terjadi ketika masyarakat adat di seluruh kolong bumi ini tengah merayakan hari mereka.

Semoga kasus meninggalnya Prada La Harirabu tidak mengalihkan perhatian kita apalagi membuat kita lupa terhadap insiden penembakan seorang masyarakat koteka di lembah dingin Baliem, Wamena, juga terhadap insiden-insiden kekerasan kemanusiaan lainnya di tanah Papua ini.



Keterangan Foto:
Suasana Peringatan Hari Bangsa Pribumi Internasional di Wamena.
(Theo Hesegem).