LAPORAN TAHUNAN ALDP: 2010
English Bahasa Indonesia

24 November 2008

Mereka yang Memegang Mikrofon di Jalan

Oleh: Andawat

Suatu siang di tahun 2004, kami bertemu dengan seorang mahasiswa di LP Gunung Sari, Makasar. Dia setia mengunjungi Linus Hiluka dkk, yang dihukum dengan tuduhan membobol gudang senjata milik Kodim Wamena pada 3 April 2003 lalu. Saat itu, anak muda ini masih berstatus mahasiswa di sebuah Perguruan Tinggi swasta di Makassar. Perawakannya tidak beda dengan anak Papua lain. Dari tampilannya, kita tidak cukup kesulitan untuk menebak asal kawan ini. Pasti dari daerah Wamena. Yah, nama kawan ini adalah Buctar Tabuni.

Setelah itu, beberapa kali dia datang ke Jayapura, dan secara khusus turut membantu melakukan konsolidasi di tingkat mahasiswa dan sekaligus membantu proses pemindahan Linus Hiluka dkk, dari Makasar ke Papua. Untuk hal ini, dia pernah menitikkan air mata saat menggambarkan penderitaan yang dialami Linus Hiluka dkk, selama dalam tahanan. Kisah air mata yang menetes ini teradi ketika pertemuan antara mahasiswa, kuasa hukum Linus Hiluka dkk, dan anggota Komisi F DPRP, di ruang tamu pimpinan DPRP, awal tahun 2007 lalu.

Setelah kasus Uncen Berdarah pada 16 Maret 2006 lalu, dia dan beberapa teman mahasiswa lainnya rajin melakukan pertemuan untuk membangun semangat serta mengkonsolidasikan gerakan mahasiswa di Jayapura yang sempat terpuruk dan tercerai-berai akibat kerasnya ‘kutukan’ terhadap kelompok mahasiswa. Ketika itu memang, kutukan terhadap gerakan mereka tidak saja datang dari pihak TNI dan POLRI, tetapi juga bahkan dari masyarakat sipil menyusul terbunuhnya 4 anggota polisi dan 1 anggota TNI AU.

Ada pandangan yang mengatakan Buctar dan kelompoknya terlalu emosional, tetapi ada juga yang berpendapat bahwa apa pun itu, toh kita membutuhkan orang-orang seperti Buctar Tabuni dkk, yang mau menafkahkan hidup mereka untuk ‘memegang mikrofon di jalan’. Apalagi di saat represif makin meningkat dengan wajahnya yang baru seperti sekarang ini.

Dan lepas dari segala macam baik buruknya catatan perjalanannya, kini Buctar Tabuni dkk, menjadi salah satu inspirator kelompok muda di Papua, khususnya di Jayapura.

Sebelum peristiwa 16 Maret 2006, gerakan mahasiswa sempat juga mendapat ujian besar saat peristiwa penembakan Steven Suripati, pada Juli 1998, (juga) di depan kampus Uncen. Peristiwa pembunuhan yang tak pernah terungkapkan itu sempat melahirkan intimidasi psikologis yang panjang bagi gerakan mahasiswa.

Jika kita menghitung mundur, memang sudah hampir tidak banyak tokoh muda, khususnya mahasiswa yang muncul dan mencoba mengambil peran seperti yang sekarang diposisikan oleh Buctar Tabuni dkk. Satu genarasi sebelum Buchtar, ada beberapa ‘anak gunung’ juga, Jefri Pagawak, Cosmos Yual, Selfius Boby juga ada Hans Gebze dan beberapa lainnya.

Pola gerakan mahasiswa akhir-akhir ini sebenarnya agak mengkhawatirkan, sebab hampir dipastikan semua gerakan tersebut terjadi bukan lahir karena proses pengkaderan organisasi mahasiswa, terutama organisasi intra dan ekstra kampus.

Dulu, di Jayapura misalnya, pengaruh organisasi intra kampus semacam senat mahasiswa cukup dominan semasa kepemimpinan Tinus Werimon atau Kaleb Imbiri (alm) di Universitas Cenderawasih, atau Tomas Ondi di STIE Ottow dan Geisler, yang bersinergis kuat dengan organisasi mahasiswa ekstra universiter seperti GMKI dan HMI juga PMKRI. Sebab selain Tinus Werimon atau Kaleb Imbiri, yang waktu itu sebagai Ketua Senat Mahasiswa UNCEN, juga ada banyak nama-nama seperti Willem Mabeyauw (alm), Frits Ramandey, Diaz Kwijangge, Fadhal Alhamid, Rahmat Siregar, Ronald Tapilatu, dll.

Namun setelah itu, organisasi-organisasi tersebut seperti kehilangan perannya, menjadi lemah dalam management, kepemimpinan juga keuangan, hingga konflik internal yang meluas. Ditambah dengan makin kuatnya intervensi kelompok luar, bahkan meluas ke kepentingan politik sehingga teritori mahasiswa yang dulu di kampus, berpindah ke kantor-kantor para politisi, birokrat dan café-cafe di sekitar mall. Targetnya pun menjadi lebih pragmatis, tidak cukup banyak energi lagi untuk berjuang dan berharap, semuanya tersaji dan bisa dinikmati dengan cara instan.

Kelemahan utama dari organisasi mahasiswa (juga kepemudaan) tersebut terletak pada strategi awal dalam merekrut massa, mereka makin tidak populer walaupun jumlah mahasiswa bertambah setiap tahun, akan tetapi penambahan keanggotaan mereka tidak menunjukkan jumlah yang signifikan. Program-program yang ditawarkan pun tidak menjawab langsung kebutuhan dan keinginan anggotanya, malah tawaran-tawaran di tempat lain semakin terbuka.

Dulu, ketika tekanan yang muncul masih dapat dilihat sebagai tekanan dengan wujudnya yang asli (kekerasan), mahasiwa cenderung lebih siap merespon dan melawan. Akan tetapi ketika tekanan berubah menjadi bujukan, justru menggiurkan dan sangat sulit untuk dihindari.

Kelompok mahasiswa dan pemuda makin banyak dan beragam, lantas masing-masing saling mencontoh. Sayangnya, yang dicontoh cenderung bukan hal yang menguatkan kelembagaan, namun paham yang berkembang justru menjadi perilaku yang permisif dalam memperjuangan dan mendapatkan keinginan masing-masing. Mereka lebih bangga kalau ketahuan memiliki relasi yang kuat dengan pemilik kekuasaan. Makin kuat relasi mereka, menunjukan indikator makin kuat posisi dan peran mereka. Transaksi dengan kekuasaan dan juga uang menggiring mereka untuk berperang statement yang bukan berorientasi pada nilai, tapi pada orang atau kelompok tertentu.

Menjelang Pilkada dan juga Pemilu, tentu akan makin banyak gejala seperti itu, sehingga kadang rakyat dibuat bingung, bukan saja oleh kelompok politisi tetapi juga oleh kelompok mahasiswa dan pemuda. Karena hingga saat ini, pemuda dan mahasiswa sangat penting sebagai sumber inspirasi terbesar dari gerakan masyarakat sipil selain bersama rakyat, maka mahasiswa dan pemuda harus mulai melakukan refleksi dan mendefenisikan ulang platform gerakan mereka, mesti menjadi gerakan bersama yang memiliki orientasi atas nilai, menjaga ideologi kerakyatan secara bersama-sama serta memperkuat representasi dukungan dari kekuatan sipil lainnya.

Konsolidasi gerakan harus dibangun secara revolusioner dan berkesinambungan untuk memperkuat basis pemuda dan mahasiswa, baik pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki dan diharapkan bisa menciptakan proses regenerasi, tercipta transformasi ideologi, strategi dan gagasan praktis. Juga membangun pemahaman bersama atas kehidupan sosial kemasyarakatan dan penyelenggaraan pemerintahan.

Pada Temu Konsolidiasi Komite Nasional Pemuda Papua II yang diselenggarakan di Manokwari, pada 20 – 22 November 2008 lalu, diharapkan mulai mengambil peran seperti itu. Pada pertemuan itu, kita masih dapat melihat harapan baru dari generasi mahasiswa dan pemuda.

Ternyata, setelah banyak pintu yang tertutup, masih ada pintu lain yang terbuka, dan di sana kita menemukan sumber inspirasi yang tak pernah kering: orang-orang muda yang energik, cerdas dan vision.


Keterangan Foto:
Butar Tabuni pada satu kesempatan demonstrasi.
(andawat)