LAPORAN TAHUNAN ALDP: 2010
English Bahasa Indonesia

18 November 2008

Potensi Konflik Agama yang Makin Menguat di Papua

Oleh: Andawat

4 November 2008, kembali ummat Kristen di Jayapura, melakukan aksi demonstrasi di kantor Gubernur Papua dan kantor DPRP. Aksi ini adalah sebagai tindaklanjut dari aksi serupa pada 4 Agustus 2008 lalu. Massa Kristen Papua yang dimotori Forum Komunikasi Kristen Indonesia (FKKI) Provinsi Papua dan Persekutuan Gereja-gereja di Papua (PGGP) ini kembali menolak pemberlakuan syariah Islam di Indonesia, terutama di Papua, lalu tuntutan untuk mengganti DR. Ahmad Hatari dari jabatannya sebagai Kepala Biro Keuangan Provinsi Papua, dan beberapa isu lainnya.

Tidak sampai seminggu setelah pelaksanaan demonstrasi ini, tepatnya pada 10 November 2008, beredar selebaran yang berisi Pernyataan Sikap Forum Lintas Ormas/Kelembagaan Islam Provinsi Papua. Intinya adalah, mengutuk keras segala bentuk tindakan yang nyata-nyata menghujat dan mendiskreditkan ummat dan ajaran Islam yang dilakukan pihak mana pun, termasuk FKKI dan komponennya.

Selain itu, komponen yang mengatasnamakan Islam ini juga mendesak Polda Papua untuk memproses secara hukum terhadap oknum-oknum yang terbukti sebagai dalang aksi tersebut. Tuntutan yang sangat keras adalah, jika pihak keamanan tidak segera bertindak, dan aksi penghujatan ini masih terus berlanjut, maka kelompok yang mengeluarkan Pernyataan Sikap ini tidak akan bertanggungjawab jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan di kemudian hari.

Rupanya aksi demonstrasi massa Kristen yang telah dua kali dilakukan ini dianggap telah mencederai rasa persaudaraan dan kerukunan ummat beragama di Papua. Inilah yang melatari pemikiran beberapa ormas Islam di Papua (ICMI, BKPRMI, PII, Fatayat NU, IRM, Al Irsyad Al Islamiyah, Nahdlatul Ulama, Nasyiatul Aisyiah), sehingga merasa perlu untuk mengeluarkan pernyataan sikap ini.

Padahal, kedua kelompok, baik Kristen dan Islam, pada beberapa kesempatan, baik dalam forum mereka masing-masing maupun dalam forum lintas agama, bersepakat bahwa konflik Ambon dan Poso tidak boleh ada di Papua. Semua mengakui bahwa Papua adalah Tanah yang Damai untuk semua ummat Tuhan. Tapi apa yang sedang dipertontonkan ini jelas-jelas justru memupuk permusuhan dan memperbesar potensi Papua sebagai ladang pembantaian manusia atas nama agama, laiknya di Ambon dan Poso. Sangat jelas, dua kelompok atas nama agama, masing-masing tengah membangun sebuah kekuatan di kutubnya masing-masing.

Sebenarnya apa yang terjadi? Sejarah agama-agama di Papua mestinya memberikan kita sebuah pemahaman, bahwa konflik atas nama agama belum sekalipun terjadi di Papua. Yang ada justru konflik antara NU dan Muhamadiyah dalam agama Islam. Menurut Thaha Alhamid, ini terjadi di Fakfak, Kaimana dan Sorong di tahun 1970-an. Ketika itu bahkan ada yang sampai batal menikah hanya karena perbedaan ini.

Thaha Alhamid yang merupakan Penggagas MMP ini juga masih menyambung dengan kisah atas konflik GKI dan Gereja Protestan Maluku (GPM) di tubuh Kristen yang pernah terjadi di Fakfak dan Kaimana. “Belum pernah sekali pun ada konflik antara agama di Papua ini”, tegasnya. Lantas, kenapa sekarang baru terjadi hal ini?

Seorang kawan mengatakan kepada saya bahwa aksi massa Kristen ini akan terus dilakukan selama Ahmad Hatari masih menjabat sebagai Kepala Biro Keuangan. Informasi ini makin meyakinkan saya terhadap isu sebelumnya bahwa ada seseorang yang ingin menggantikan Ahmad Hatari, karena marah setelah mengetahui beberapa proposal untuk agama Kristen tidak disetujui oleh Hatari. Konon kabarnya, dana Otonomi Khusus banyak disalurkan untuk kalangan Islam. Tapi untuk isu terakhir ini, Ahmad Hatari telah membantah hal tersebut.

Pada kesempatan yang lain, seorang kawan memberitahukan kepada saya, bahwa aksi komunitas Islam di Jayapura yang kemudian mengeluarkan Pernyataan Sikap ini sengaja dibuat untuk mem-back up, Ahmad Hatari dari posisinya. Karena itu, kawan yang kebetulan adalah seorang Ketua Umum organisasi Islam di Jayapura ini tidak ingin menandatangani dan tidak ingin terlibat dalam konflik personal ini. Bagi dia, apa yang ada ini hanyalah interest pribadi dari beberapa oknum dan sangat jauh dari hal-hal yang substansial.

Entah karena memiliki pandangan yang sama dengan kawan di atas atau tidak, yang pasti bahwa Keuskupan Jayapura, secara resmi mengeluarkan pernyataan, bahwa secara institusi, Gereja Katholik tidak terlibat dalam aksi yang dikomandoi FKKI ini. Himbauan untuk tidak terlibat dalam aksi massa ini juga diberlakukan kepada seluruh ummat Katholik di Jayapura.

Pikiran saya langsung teringat dengan pesan yang disampaikan oleh Pastor DR. Neles Tebay, Pr, ketika MMP melakukan dialog Agama dan Perdamaian pada 27 September 2008 lalu. Menurut Vicaris Jenderal Keuskupan Jayapura ini, bahwa sering kali agama dipolitisir. Bahwa ketika sebuah daerah dengan mayoritas agama tertentu, maka semua jabatan di daerah tersebut harus dijabat oleh orang dengan agama tertentu tersebut. pimpinannya harus dari orang yang beragama tertentu itu, bangunan ibadahnya juga harus dari agama tertentu itu. “Ini agama sudah dipolitisir, dan ini adalah salah satu sumber yang akan memicu konflik”, tegas pastor yang rajin menulis di harian The Jakarta Post ini.

Sebelumnya, untuk merespon aksi pada 4 Agustus 2008 lalu, kelompok Islam yang dikomandoi Majelis Muslim Papua (MMP), kemudian mendatangi dan melakukan dialog dan komunikasi dengan beberapa kelompok Kristen. Langkah ini diambil untuk menghindari ketegangan di kalangan masyarakat di Papua. Sekretaris Jenderal MMP, Latifah Anum Siregar, mengatakan bahwa di Papua ini ada pluralitas agama dalam etnis dan ada pluritas etnis dalam agama. “Sehingga yang perlu dibangun adalah komunikasi di antara kemajemukan institusi agama yang ada. Pendekatan kekuasaan, apapaun cara dan bentuknya hanya akan memperpanjang kecurigaan dan menghancurkan persaudaraan di Papua”, tegas Latifah.

Untuk itu, menjelang bulan Ramadhan 1429 H lalu, MMP telah melakukan safari Ramadhan dengan mendatangi institusi-institusi keagamaan Kristen yang ada di Jayapura. Pada tanggal 27 September 2008 lalu, MMP telah bertemu dengan pimpinan Forum Kerjasama Umat Beragama (FKUB). Sebelumnya, masih dengan misi yang sama, MMP juga sudah melakukan komunikasi dengan pihak Keuskupan Jayapura. Selain itu, MMP juga sebenarnya telah melayangkan surat kepada Sinode GKI untuk melakukan misi serupa. Juga menyampaikan surat kepada Ketua DPRP (Komisi F) untuk memfasilitasi sebuah dialog antara kelompok Islam dan Kristen.

Sayangnya, pihak Sinode GKI sendiri belum sempat menemui pimpinan dan perwakilan kelompok Islam karena masih banyaknya kesibukan Ketua Sinode. Sedangkan Komisi F sendiri juga belum ada kepastian sampai saat ini. Tapi pada tanggal 27 September 2008 lalu, MMP juga telah mengadakan sebuah perjumpaan agama-agama yang dikemas dalam Dialog Agama dan Perdamaian.

MMP lebih memilih untuk melakukan sebuah ikhtiar yang lebih kondusif, yang jauh dari spekulasi kekerasan sekaligus meminimalisasi potensi konflik yang dikhawatirkan banyak orang akan terjadi di Papua. Karena di saat semua orang bersepakat tidak akan menjadikan Papua sebagai Ambon dan Poso, ketika banyak orang bicara tentang Papua sebagai tanah yang damai untuk semua, tapi perilaku banyak orang untuk menciptakan konflik di Papua juga begitu besar dan sangat nyata.

Semua kita mesti bisa menahan diri. Semua kita harus berani mengedepankan sikap yang teduh, mau mengambil sikap untuk duduk bersama, berdialog dan melakukan komunikasi tentang apa yang baik untuk kita semua.
Jika kita semua sepakat untuk terus mengawal Papua sebagai tanah yang damai dan bermartabat untuk semua, tentu kita semua juga mesti bersedia untuk bersama-sama berbicara dengan mengedepankan nurani dan akal sehat kita sebagai mahluk yang paling mulia di mata Tuhan.


Artikel terkait:
Konflik Agama di Papua
Dialog Agama dan Perdamaian
Papua Terancam Konflik Agama

Keterangan Foto:
Suasana Dialog Agama dan Perdamaian yang digagas Mejelis Muslim Papua
(andawat).